Aku
melengos. Sudah satu jam lebih aku menunggu Ibu di gerbang sekolah. Hari ini
ada pertemuan wali murid kelas 9. Tapi, entah untuk yang keberapa kalinya, Ibu
tak hadir. Hampir semua temanku telah pulang bersama orang tua mereka. Dan
sepertinya hanya tersisa aku disini. Sendiri. Tanpa ditemani Ayah maupun Ibu.
“Hai!
Melamun, ya?”
Aku
tersentak oleh sebuah tepukan yang cukup keras di bahuku.
“Linda?”
Gadis
itu tersenyum lebar.
“Belum
pulang, Dik?” tanyanya sembari bersandar di sebelahku, “Mana orang tuamu?”
Aku
hanya mengangkat bahu. Lalu, kami sama-sama diam. Linda menengadah, mata coklat
berkilaunya menerawang jauh, seakan menembus awan, dan melayang-layang bersama
angin.
“Tak
perlu sedih, orang tuaku juga tak hadir hari ini.” Katanya tenang.
Aku
menoleh sebentar, melihat matanya yang masih menjelajah di antara kumpulan
awan. Aku memilih diam, menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.
“Juga
pertemuan esok dan seterusnya. Mereka tak akan hadir. Tak akan pernah.”
Tiba-tiba
kilauan kecil mengalir dari mata indahnya. Mengalir tenang melewati pipi, dan
jatuh tergesa ke tanah. Matanya terpejam sebentar, bibirnya masih
menyunggingkan senyum. Aku salah tingkah melihatnya menangis. Tak mungkin aku
mengusap air matanya. Jadi, lagi-lagi aku memilih untuk diam.
“Dik,
aku rela membayar berapa pun asal aku bisa berada di posisimu. Asal aku masih bisa
tertawa bersama ayah, menangis pada ibu, memeluk mereka berdua, bercanda,
bergurau… Apapun akan kuberikan untuk semua itu, Dik.”
Aku
masih kaku. Apa yang terjadi? Ada apa dengan Linda?
“Sayangi
kedua orang tuamu, Dik, selagi Tuhan masih memberimu kesempatan. Selagi kau
masih bernafas, selagi orang tuamu masih bisa menemanimu, melindungimu,
mendoakanmu, dan menangis untukmu. Kelak, suatu saat, kesempatan itu akan
hilang…
“Ketika
ibu tak lagi bisa bangun di sepertiga malam untuk berdoa dan menangis untukmu,
ketika ayah tak lagi bisa mengusap keringatnya setelah bekerja seharian
untukmu, ketika mereka tak lagi bisa berdebat panjang saling merencanakan masa depanmu,
ketika mereka tak lagi bisa bercerita bangga pada tetangga tentang
keberhasilanmu, ketika mereka hanya bisa diam, bahkan sekedar tersenyum pun tak
mampu. Asal kau tau, saat itulah kau merindukan cubitan sayang ibumu, sentakan
tegas ayahmu, dan semua hal tentang mereka berdua, apapun itu. Kau hanya bisa
mengenang mereka, dan ketika kau ingin bertemu mereka, kau hanya akan
dihadapkan sepasang batu nisan. Percayalah, karena aku telah merasakannya…”
Kilauan
yang keluar dari kelopak mata Linda semakin deras, mengalir membasahi pipinya.
Aku baru mengerti, kenapa orang tua Linda tidak akan pernah datang di pertemuan
wali murid. Pemisah mereka, lebih rumit dari apapun.
Linda
mengusap air matanya. Kemudian tersenyum lebar dengan mata yang masih basah. Wajahnya
menoleh adaku, menatapku mataku dalam tapi tenang.
“Tak
datang di pertemuan wali murid itu sepele. Kau masih bisa bertemu mereka di
rumah, nanti.” Tangan kecilnya menepuk pundakku, “Tak perlu sedih, Dik. Kadang
kau juga harus memikirkan kesibukan orangtuamu.”
Aku
hanya mengangguk kecil.
“Buat
mereka bangga selagi kau bisa. Bahagiakan mereka. Kau tau, hal baik tak selalu
datang dua kali.”
Linda
menarik tangannya. Ia tersenyum simpul, lalu berbalik dan berjalan menjauh.
Linda sukses membuatku berfikir panjang, menasihatiku, bahkan tanpa aku
mengucapkan sepatah kata pun.
Ia
meninggalkanku termenung di gerbang sekolah bersama jejak langkahnya yang mulai
tersapu angin.
Komentar
Posting Komentar