Langsung ke konten utama

Jika Ini Bukan Cinta, Lalu Apa ?

Aku tertegun menatap matanya.

Sayu. Namun tajam. Melemparkan ingatanku pada masa lalu, ketika aku pertama kali belajar bagaimana caranya mencintai.

Ketika aku pertama kali belajar bagaimana caranya merelakan, dan bagaimana caranya berdamai dengan hati dan memori. 

Bagaimana ini, Tuhan?


Setelah sekian lama aku menutup hatiku, setelah sekian lama aku berdamai dengan kenangan menyakitkan di masa lampau, setelah akhirnya aku merelakan Engkau ambil dia dari sisiku, bagaimana bisa Engkau tega-teganya menghadirkan seorang lagi, yang sialnya, memiliki mata yang persis sama dengan mata seseorang yang Kau ambil paksa dariku sekian tahun lalu? Bagaimana bisa Engkau tega-teganya menghadirkan mata dengan tatapan yang dapat meruntuhkan benteng pertahanan yang telah aku bangun berdarah-darah bertahun-tahun lamanya, hanya dalam waktu sepersekian detik saja? Bagaimana bisa Engkau setega ini, Tuhan?

Aku benci keadaan ini.
Aku benci dengan hatiku yang begitu lemah.
Aku benci tatapan itu.
Aku benci tatapan yang, ya Tuhan, membuatku jatuh hati sekali lagi.

Apakah aku berdosa mencintai seseorang hanya karena matanya memiliki pesona yang sama dengan seseorang di masa lampau?

Ya Tuhan, aku sungguh benci dengan keadaan ini.

Meski segenap akalku melakukan penolakan, mereka bilang, "Ini bukan cinta, ini sama sekali bukan cinta. Kau hanya terjebak dalam kenangan. Ini sama sekali bukan cinta."

Namun secuil hatiku katakan, "Jika ini bukan cinta, apakah ada penjelasan atas seluruh sistem syarafku yang mogok bekerja seketika hanya dengan menatap matanya saja? Jika ini bukan cinta, apakah ada penjelasan atas degup jantungku yang berpacu begitu cepat hanya karena mengingat senyumnya? Jika ini bukan cinta, apakah ada penjelasan mengapa sorot matanya selalu hadir tiap aku menutup mata meski hanya sepersekian detik saja?"

Ya Tuhan..

Apa yang harus kulakukan?

***

Pun pagi ini Kau tega sekali, Tuhan. Mempertemukanku kembali dengan pemilik mata itu, aku tak tahu apakah ini anugerah atau bencana. Yang aku tahu hanyalah, jelas-jelas pertemuan ini kembali mengobrak-abrik seluruh pertahananku.

Aku tersihir sekali lagi.

Ia diam saja, menengadah menatap langit pagi. Sama sekali tak menyadari ada seseorang terpaku hanya karena sorot matanya, meski dari radius belasan meter. Napasku tertahan. Otakku macet. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku tak bisa menggerakkan anggota tubuhku sama sekali.

Matanya terpejam beberapa lama. Terlihat dari tempatku berdiri, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia membuka matanya, lalu menoleh ke arahku.

Matanya. Ya Tuhan. Sepertinya aku benar-benar jatuh hati lagi.

***

Ralat. Aku bukannya jatuh hati lagi, tapi hatiku jatuh lagi, terbanting keras dan hancur berkeping-keping. Sakitnya tak terperikan. 

Mungkin ini hukuman karena aku menjatuhkan hatiku pada sepasang mata hanya karena mata itu mirip dengan mata milik seseorang di masa lalu. Mungkin ini hukuman karena aku tak bisa membersihkan memori dengan baik, dan mengulangi kesalahan yang sama.

Pemilik mata itu, ia telah memiliki seseorang untuk menemani harinya, seseorang untuk mengisi hatinya. Orang itu selalu ada di sisinya, tertawa bersamanya, mendukungnya --secara nyata. Dan orang itu bukan aku. Bukan aku yang hanya bisa memandanginya dari jauh, bukan aku yang bahkan tak bisa bergerak hanya karena matanya.

Sekali lagi. Aku jatuh hati lalu tersakiti.

Sepertinya aku memang tidak Kau bolehkan untuk jatuh hati lagi, ya, Tuhan?

***

Ditulis untuk Di, kura-kura jantan milik Gus Adys (gus kecil HQ, 5th), dan teman hidupnya, Aira, si betina. Terima kasih telah membuka luka lama dan kenanganku tentang alm.Totong.

Who's Totong? Cek di sini

Komentar