Sejuknya
tetes embun yang tertinggal pada kelopak-kelopak bunga dengan lembut membasahi
tanganku. Kupu-kupu berterbangan dengan riangnya seolah menyambut kedatanganku.
Aih, sudah lama aku tak merasa setenang ini. Mungkin sekitar…tiga bulan?
Entahlah—aku tak begitu peduli. Aku sudah terlarut dalam sejuknya embun pagi
dan hangatnya mentari yang mulai bersinar dengan lembut.
“Asyel!”
“Asyel!” sentakan Ustadzah Lia sekali lagi
membangunkanku, “Ayo sing mole mau turu
berarti wis paham, to? Ayo kene maju![1]”
Mati
aku. Aku baru saja ketiduran di kelas mengaji kitab imrithi.
“A,
anu, ustadzah—“
Seketika
aku menyadari seluruh pipi dan tanganku basah penuh dengan cairan-kau-tahu-apa.
Maka tawa yang begitu keras memecah gendang telingaku.
***
Tiga
bulan. Bayangkan. Tiga bulan penuh derita di tempat kotor alias pondok
pesantren ini, berjejalan dengan makhluk menyebalkan tukang ghosob bernama
santri—dan sayangnya kini aku termasuk salah satu dari mereka. Terima kasih
sebesar-besarnya kepada Papa atas jasa beliau yang tak ternilai, dengan
keputusan konyolnya memasukkanku ke tempat seperti ini. Keputusan sepihak yang
kejam. Papa bilang aku harus belajar ilmu agama apalah, menghafal Quran apalah,
omong kosong dengan itu semua. Aku tahu ia hanya tak sudi merawatku di rumah,
makanya aku dibuang ke tempat ini. Aku juga sangat tahu bahwa ia malu memiliki
putri nakal dan urakan sepertiku, maka ia menyembunyikanku dari semua koleganya
dengan dalih “Asyel sedang mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur”, pasti
terdengar “wah” sekali. Haha. Papaku itu memang pintar.
Sekarang
aku terjebak di sini, sementara Papa menikmati masa-masa tenangnya tanpa aku di
rumah. Pasti ia sedang menyeruput kopi panas dengan nyaman di depan rumah
sambil membawa Quran buluknya, sementara aku mengantri mandi di sini.
Sore
ini, bel pulang telah berbunyi namun aku malas sekali kembali ke asrama. Di
luar mendung menggelayut manja, membuat semua orang semakin tergesa
meninggalkan sekolah. Aku? Menyetel musik keras-keras dari laptop. Tak ada yang
peduli. Yah, memang tak ada yang peduli padaku. Aku pun tak repot-repot peduli
pada orang lain. Kini, jam di laptopku menunjukkan pukul 17.21. Hujan yang tadi
sempat turun kini telah reda, namun langit mulai menjingga. Aku segera
menyimpan laptopku dan berjalan dengan santai kembali ke asrama.
Adzan
maghrib berkumandang tepat ketika aku memasuki gerbang asrama. Di saat yang
sama pula, segurat wajah yang amat kukenal menyambutku dengan tangan terlipat.
Ialah Ustadzah Lia dengan alisnya yang bertaut.
Aku
tahu aku akan ditakzir lagi.
***
“….Dengar mboten[4],
Mbak Asyel?”
“Hah?”
aku tersadar dari lamunanku dan aku tak mendengar apapun yang Ustadzah katakan
dari tadi.
“Astaghfirullahal’adzim..”
Ustadzah mengelus dadanya, “Bingung aku kudu
ngandani sampean koyok opo maneh[5],
mbak..”
Aku
diam.
“Wes, mene takziran nyapu mushalla lanang,
sekalian bapak sampean tak panggil mrene, cek weruh koyok opo sampean ndek kene[6],”
ujar Ustadzah lalu meninggalkanku sendirian.
Bagus,
lah. Biar Papa tahu, kemanapun aku pergi, sejauh apapun ia membuangku, aku tak
akan membuatnya bangga. Tak akan pernah.
Lagipula..
menyapu mushalla laki-laki? Gampang.
***
Esoknya,
Jumat pagi yang tenang, aku kembali dipanggil ustadzah. Dibekali sebuah sapu,
aku dikawal dua ustadzah menuju mushalla laki-laki.
“Sapu
dulu seluruh mushalla ya, Mbak Asyel. InsyaAllah dua jam lagi ayah sampean datang.” Ujar Ustadzah Annis.
Satu
jam. Seluruh mushalla sudah selesai kusapu bersih. Lalu ustadzah membawaku ke
mushalla putri untuk menjalani takziran tahap kedua, menulis surat al-Kahfi
dalam sekali duduk.
Dua
jam. Surat al-Kahfi sudah sempurna tersalin di lembar folioku. Sudah dua jam,
seharusnya Papa sudah datang sekarang. Tapi, peduli apa. Datang maupun tidak,
aku sungguh tidak peduli.
Lima
jam. Ternyata aku ketiduran tiga jam di mushalla. Apa Papa belum datang juga?
Atau ia memang tidak datang? Aku melamun saja di mushalla, menunggu seseorang
menjemputku, menjatuhiku hukuman lain, atau membawaku ke ndalem menghadap Papa
dan Ummi, namun tak ada. Papa benar-benar tak datang. Aku tahu ia tak akan rela
membuang waktunya yang berharga untuk memenuhi panggilan atas kenakalanku, aku
tahu ia tak akan mau mempermalukan dirinya sendiri karena ulahku. Aku tahu.
Tujuh
jam. Aku sungguh-sungguh tahu bahwa Papa tak akan datang. Ia tak akan pernah datang.
Dan aku sungguh-sungguh tidak akan peduli.
***
Baru
saja aku merebahkan tubuhku di pojokan kamar ketika salah seorang pengurus
berteriak di pintu memanggil namaku.
“Cepat
ke ndalem sekarang!” teriaknya sekali lagi. Seisi kamar yang tadinya riuh
rendah seketika hening dan semua orang menatapku dengan tatapan
jangan-melongo-saja-dan-cepat-berdiri-sana. Maka aku cepat-cepat mengenakan
kerudung dan mengikutinya menuju ndalem.
Sesampainya
di ndalem, Ummi segera mengalihkan pandangan dari tamunya---tunggu! Itu Tante
Ani!
“Ayo
ikut tante pulang sekarang,” tiba-tiba adik Papaku itu berdiri dan meremas
pundakku keras.
Tak
mengerti apa yang terjadi, aku menatap semua orang di ruang tamu; tante, Ummi,
Abi, kedua ustadzah, seorang pengurus yang tadi menjemputku, semua menatapku
dengan pandangan yang tak dapat kumengerti. Katakan padaku apa yang terjadi.
***
Maka
tante mengatakan padaku apa yang terjadi, tepat ketika aku kebingungan melihat
gang masuk rumahku terdapat bendera putih berkibar sendu.
Dan
ketika Tante Ani mengatakannya, jantungku terasa seperti melorot ke perut.
Semua
berjalan begitu cepat; aku masuk rumah disambut histeria tangisan dari
keluargaku, mereka memelukku, mengatakan agar aku sabar dan sebagainya,
mengantarkanku ke kamar tempat Papa baru saja dimandikan dan dikafani, aku
berganti pakaian serbahitam, ikut mengantarkan Papa ke persemayaman
terakhirnya, lalu tiba-tiba sekarang aku ada di ranjang lama Papa yang masih
bau kapur barus, ditemani Tante Ani. Kami sama-sama diam. Semenjak datang tadi
aku tak merasakan apa-apa, hatiku kebas, otakku berhenti bekerja, aku tak dapat
mencerna apapun yang orang-orang sekitarku katakan kecuali bahwa Papa meninggal
dalam perjalanan menuju pondokku karena bertabrakan dengan truk pengangkut kayu
gelondong. Papa tewas di tempat.
“Asyel,”
Tante Ani menepuk pundakku, “Kamu baik-baik saja, kan?”
Entahlah.
Aku tak bisa merasakan apa-apa. Sudah kubilang, hatiku kebas.
“Sebelum
berangkat ke pondokmu, sebenarnya Papamu hendak mengirim surat ini melalui pos.
Tapi… yah, Tante rasa surat ini tetap harus kau baca.”
Aku
menerima amplop putih yang disodorkan Tante Ani. Tante lalu meninggalkanku
sendirian di kamar Papa, dan aku pun mulai membaca.
Assalamualaikum, anakku.
Bagaimana kabar Asyel di pondok? Ini
bukan basa-basi karena selama tiga bulan di pondok Asyel sama sekali tak
memberi kabar. Papa sudah beberapa kali menelepon melalui telepon asrama, tapi
entah kenapa Asyel tak pernah ada. Maka Papa kirim surat ini sebagai gantinya.
Tak banyak yang akan Papa tulis.
Papa hanya ingin meminta maaf. Mungkin
Asyel masih marah pada Papa karena Papa memasukkanmu ke pondok. Belakangan Papa
sadar, keinginan Papa agar Asyel tumbuh menjadi hafidzah dan ustadzah seperti
Mamamu, tak sejalan dengan keinginan Asyel. Padahal Asyel ingin jadi arsitek,
ya? Ternyata Papa egois. Maafkan Papa, nak.
Maafkan Papa karena Papa terlalu sibuk
mengurusi yayasan, sehingga tidak cukup mengerti Asyel dengan baik. Papa juga memaksakan
kehendak agar Asyel bisa menjadi hafidzah dan ustadzah. Papa sadar, keinginan
Papa ini hanyalah bentuk kerinduan Papa yang terlalu besar pada Mama di surga
dan melampiaskannya pada Asyel. Papa sungguh-sungguh minta maaf.
Maafkan Papa, Asyel. Sekarang Papa akan
mendengarkan Asyel. Katakan saja pada Papa, apa yang Asyel inginkan. Karena
Asyel satu-satunya alasan Papa sulit tidur setiap malam. Memikirkan Asyel
kesulitan di pondok, Papa benar-benar kacau.
Terakhir, meskipun Asyel tidak ingin
jadi ustadzah, Papa masih benar-benar berharap Asyel menjadi hafidzah. Papa
ingin Asyel selamat di dunia maupun akhirat. Tapi Papa tidak akan memaksa. Apa
yang Asyel inginkan, katakan pada Papa dan Papa akan mengusahakannya untuk
Asyel.
Terima kasih Asyel sudah membaca surat
Papa sampai akhir. Terima kasih telah menjadi putri kesayangan Papa selama ini.
Terima kasih telah menjadi semangat Papa, motivasi Papa, dan sahabat kecil
Papa.
Papa sayang Asyel.
Semoga Asyel sehat dan baik-baik saja.
Telepon Papa, ya. Papa kangen suara cempeng Asyel.
Wassalamualaikum.
Papa
Kertas
putih di tanganku sudah basah dimana-mana. Aku tak bisa menahan tangisku. Semua
ini terlalu kejam. Kenapa aku baru menyadarinya setelah Papa telah pergi? Papa
tidak membuangku. Sama sekali tidak membuangku.
Aku
meremas surat Papa dan menangis meraung-raung di ranjang Papa, memeluk bantal
Papa, memeluk guling Papa, namun aku tau, sekuat apapun aku memeluk bantal
guling Papa, Papa tak akan kembali.
Maafkan
Asyel juga, Pa. Asyel akan berjuang mulai sekarang, melanjutkan mondok, dan
Asyel akan menjadi hafidzah suatu saat nanti. Lihat bagaimana Asyel
mewujudkannya, ya, Pa.
Asyel
juga sayang Papa.
[1] “Ayo yang dari tadi tidur berarti sudah paham, kan? Ayo sini maju!”
[2] cepat
[3] Itu air liurmu dibersihkan dulu
[4] tidak
[5] Aku bingung harus menasehatimu seperti apa lagi
[6] Sudahlah, besok takziran menyapu mushalla laki-laki, sekalian
bapakmu kupanggil ke sini agar tahu seperti apa kamu di sini
Komentar
Posting Komentar