Langsung ke konten utama

Putra Ketujuh untuk Mamah



Revi, Si Gudang Adik. Begitulah teman-temanku memanggilku. Tidak salah memang, mereka memanggilku begitu. Karena aku anak pertama dari 6 bersaudara. Kaget? Umur kami berenam rata-rata hanya terpaut 2 tahun. Aku umur 13 tahun, Rizal 11 tahun, Dyas 9 tahun, Ubay 7 tahun, Rika 5 tahun, dan Hilya 4 tahun. Kami hidup dan dibesarkan oleh Mamah dan Papah. Mamah hanya ibu rumah tangga, sedangkan Papah seorang pegawai negri.

“Mamah… Kak Rizal nakal!” rengek Rika.


“Rizal… Jangan ganggu adikmu!” seru Mamah.

“Mamah, ini dibaca apa?” Hilya datang membawa buku belajar membaca.

“B-u bu, k-u ku, buku.” Jelas Mamah.

PYAR!!                                                        

“Mamah… Kak Dyas pecahin gelas kesayangan Ubay!!!” teriak Ubay dari dapur.

“Revi… Tolong bersihkan pecahan gelasnya! Bahaya!” seru Mamah.

Yah, seperti itu kira-kira keadaan rumah kami setiap harinya. Rame dan sumpek. Karena aku anak pertama, semuanya dibebankan padaku. Huuuft… Agak sebal juga, kadang-kadang.

“Revi,” ujar Mamah saat semua adik-adikku sudah tertidur. Mereka tidur di kasur lesehan yang ditata berjejer dalam satu ruangan. Seperti penampungan itu, lah.

“Ya, Mah?”

“Apa kamu tau,” Mamah diam sebentar, “Dulu waktu Mamah masih kecil, Mamah ingin 7 orang anak!”

“7 anak, Mah?!” aku tersentak. Banyak sekali!

“Iya… Sudah punya 6 anak Mamah bersyukur. Tapi rasanya kurang lengkap tanpa kehadiran putra ketujuh. Kapan ya, Tuhan kehendaki Mamah hamil lagi?” Mamah menerawang jauh.


Aku hanya mengangkat bahu. Kupejamkan mata, dan malam berlalu seperti biasanya.

@@@

Mamah memasuki ruang bersalin. Kami berenam menunggu di ruang tunggu sambil harap-harap cemas. Apa yang terjadi? Mamah akan melahirkan. Sudah 7 bulan Mamah mengandung adik keenamku atau putra ketujuh Mamah dan Papah. Mamah bahagia sekali saat mengetahui bahwa beliau hamil. Papah dengan antusias mengeluarkan baju-baju bayi bekas yang dulu digunakan Hilya. Sedangkan kami berenam bersorak-sorai menanti putra ketujuh. Tapi itu 5 bulan yang lalu, saat kandungan Mamah masih berumur 2 bulan. Jam 5 pagi tadi, Mamah mengalami pendarahan. Papah khawatir sekali dan segera membawa Mamah beserta kami berenam yang masih setengah sadar ke salah satu rumah sakit bersalin terdekat.

Sambil memangku Hilya yang tidur, aku terus memanjatkan doa agar Mamah dan adik keenamku selamat. Papah sudah masuk ke ruang bersalin untuk menemani Mamah. Ubay menangis, katanya, “Kalau adik bayi lahir selamat mau langsung aku cubit pipinya!” Tapi kenapa menangis? Ah, lupakan saja, lah.

Oke, kembali ke permasalahan awal. Aku belum mendengar tangisan adik keenamku. Tunggu, ini masih bulan ketujuh kehamilan Mamah! Adik keenamku premature! Wah, semoga saja tidak apa-apa.

“Oee…!!”

Ah, itu dia! Aku dan semua adik-adikku (kecuali Hilya dan Rika yang tidur) terlonjak berdiri mendengar suara tangisan bayi dari ruang bersalin. Ubay langsung jatuh dan menangis meraung-raung. Idih, kenapa sih, anak itu? Sambil menangis pun masih sempat berujar, “Mana pipinya adik bayi??? Mau Ubay cubitin sampe towel!!”

“Kak Revi, aku boleh masuk nggak? Aku mau liat Mamah sama adik bayi!” Rizal yang biasanya nakal dan jahil menatapku dengan matanya yang merah berkaca-kaca.

“Belum, Zal. Mungkin sebentar lagi,” jawabku lemah. Kulihat Dyas yang terkantuk-kantuk mencoba mengintip di pintu ruang bersalin.

Beberapa saat kemudian, seorang suster keluar dari ruang bersalin Mamah sambil menggendong adik keenamku. Tubuhnya kecil. Mungkin akan dimasukkan ke incubator. Anak premature kan biasanya kecil dan dimasukkan ke incubator. Aku mencoba masuk ke ruang bersalin untuk melihat kondisi Mamah. Terdengar tangisan Papah. Pasti tangisan bahagia karena adik bayi lahir selamat. Tapi…

“Dik Mira…!! Dik…!!” kudengar suara Papah dari pintu ruang bersalin. Apa yang terjadi?! Ingin rasanya segera masuk ke ruangan itu. Saat aku hendak masuk, Papah keluar.

“Ada apa, Pah??” tanyaku cemas.

“Mamah… Mamahmu berjuang keras sekali… Mamah mempertaruhkan nyawanya untuk adik bayi… Dan nyawa Mamah pergi setelah Mamah mencium adik bayi…” cerita Papah sambil menahan tangisnya yang akan pecah lagi.

Aku bergetar hebat. Tersentak, terkejut. Mamah meninggal? MENINGGAL??

“Papah……,” Aku segera memeluk erat Papah meskipun Hilya ada digendonganku. Lalu Rizal dan Dyas yang sudah terisak ikut berpelukan. Sedangkan Ubay masih menangis meraung-raung sambil memukuli keramik ruangan itu. Dan Rita? Tidur di kursi.

Ternyata, perjuangan Mamah untuk adik keenamku memang besar sekali. Setelah mencium adik bayi, beliau meninggal. Mamah pasti sudah di surga. Pasti. Dan aku, aku harus menjaga semua adik-adikku. Aku harus menjadi kakak yang baik. Membuat mereka tidak sedih lagi akan kepergian Mamah. Akan kukembalikan senyum mereka untuk Mamah.

Mah, impian Mamah waktu kecil sudah terwujud. Sekarang Mamah akan tenang di surga sana. Revi yang akan jaga adik-adik, Mah. Percayakan pada Revi dan Papah, Mah. Selamat jalan, Mamah.


Komentar