Langsung ke konten utama

Senja Ketujuh

Ini cerpen yang juga dimuat di SpenMagz edisi Mei 2011. Let's enjoy it :D
***
Rieka masih duduk di bangku bambu depan rumah ketika adzan maghrib berkumandang. Matanya menyorot tajam ke jalan setapak dari arah kiri, jalan dimana Bapak muncul setiap adzan maghrib hendak berkumandang. Ibu menatap lemah ke wajah Rieka, yang sekarang mulai duduk resah sembari memilin-milin bagian bawah kaosnya.
“Masuk dulu, Rieka… Kita tunggu Bapak di dalam…” bujuk Ibu.
“Tunggu sebentar lagi, Bu… Bapak akan datang kurang dari sepuluh men, BAPAK!!!” Bocah sembilan tahun itu tersentak berdiri melihat Bapak yang datang dari arah kiri, sesaat begitu Rieka menoleh pada Ibu, Bapak datang.
“Rieka…,” Ibu menggeleng kecil melihat putri kecilnya yang begitu antusias menyambut bapaknya.
“Wa’alaikum salam… Ayo masuk saja, Riek,” ajak Bapak sembari menggendong putrinya ke dalam rumah. Ibu tersenyum lembut menatap mata Bapak.
Mereka lalu menunaikan shalat Maghrib berjamaah di mushala rumah yang sempit, namun menentramkan hati.
***
Esoknya, Bapak kembali berangkat kerja, beliau adalah kuli bangunan, sementara Rieka berangkat sekolah. Sebelum Rieka berangkat sekolah, Rieka membisikkan sesuatu di telinga Bapak, “Pak, pulang lebih awal, ya. Rieka nanti mau kasih Bapak sesuatu yang istimewa! Ingat ya, Pak. Jangan sampai telat satu jam pun, apalagi seminggu.”
Bapak hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Bapak pun mengucapkan salam untuk beranjak pergi, yang tidak diketahui Rieka maupun Ibu, bahwa itu adalah salam perpisahan Bapak untuk selama-lamanya.
Saat senja menjelang, Rieka duduk di bangku bambu depan rumah dengan senyum merekah di wajahnya. Ia membawa kardus kecil yang dibungkus agak awut-awutan, tapi itu paling rapi yang bisa ia lakukan. Adzan maghrib telah berkumandang, dan Rieka masih duduk di bangku. Ibu telah beberapa kali membujuknya untuk masuk dan menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu. Ibu terus saja meneteskan air mata, dan berusaha sekuat tenaga menyembunyikannya dari Rieka. Tapi kelopak mata Ibu yang membengkak dan air muka yang begitu kentara tak bisa membohongi Rieka.
“Kenapa, Bu?” Tanya Rieka khawatir. Betapapun ia menyayangi Bapak, ia juga amat menyayangi Ibu.
“Oh, Ibu hanya kelilipan. Mari, Nak, kita shalat dulu. Sebentar lagi isya’, Nak..” bujuk Ibu sekali lagi. Rieka mengalah, dan akhirnya shalat terlebih dahulu.  Seusai shalat, Rieka bergegas kembali lagi ke bangku dan duduk gelisah menunggu Bapak. Wajahnya yang berseri-seri terhapuskan dengan wajah cemas dan khawatir. Ia tak mengetahui Ibu terus-menerus menangis tertahan di belakang gorden ruang tamu. Ibu menyembunyikan sesuatu yang jika diketahui Rieka, pasti akan membuat hati Rieka hancur berkeping-keping. Ia juga akan menghancurkan kejutan kecil Rieka yang telah disiapkannya. Ibu tak mau merusak kesenangan Rieka. Tapi, bagaimanapun juga, hal ini tak mungkin terus disembunyikan. Cepat atu lambat, Rieka pasti akan mengetahui kebenaran…
Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam, dan Rieka belum mau masuk ke rumah. Akhirnya, Rieka tertidur di bangku dan Ibu menggendongnya ke ranjang.
Rieka kembali menunggu pada senja-senja berikutnya. Selalu saja, pada akhirnya Rieka akan tertidur di bangku sampai malam menjemput. Itu terjadi 6 kali berturut-turut. Rieka kembali menunggu pada senja ketujuh. Tapi, berbeda dengan senja sebelumnya, Rieka tersentak berdiri saat adzan maghrib usai berkumandang. Senyum manisnya merekah, ia segera berlari ke halaman dan berteriak senang, “Ibu!! Bapak datang! Bapak datang!”
Ibu yang sedang menutup jendela ruang tamu kaget, dan berjalan ke halaman depan. Dilihatnya Rieka bercakap-cakap sendiri di halaman. Dengan senang, ia meletakkan bungkusannya ke tanah.
“Rieka? Apa yang kamu lakukan, Nak?”
“Bapak pulang, Bu,” Rieka berlari kembali ke rumah, “dan Bapak bilang, Bapak akan pergi lagi ke suatu tempat yang indaaaaah sekali. Bapak pamit dulu sama Rieka. Rieka bilang, tidak apa-apa. Karena kata Bapak, suatu hari nanti Rieka pasti akan menyusul Bapak ke tempat itu. Ya sudah, sekarang kita shalat dulu yuk, Bu!”
Ibu membeku di tempatnya. Air matanya menetes pelan membasahi pipi. Rieka bisa melihat bapaknya, pikir Ibu.  Sejenak, Ibu menatap kotak yang diletakkan Rieka di tanah. Angin membuat pitanya melambai syahdu.
“Jaga Rieka untukku,”
Ibu tersentak, dan perlahan, senyum merekah di bibirnya. Ia tahu, itu suara Bapak. Karena saat Ibu menutup pintu, bungkusan Rieka telah menghilang, dan hanya terdengar angin malam yang berhembus tenang.
***


Komentar