Ini juga Cerpen yang dimuat di Spenada Magazine, edisi Agustus. Let's read it :)
***
Hari sudah sore, mentari sudah lelah bersinar dan hendak
tidur di ujung barat. Penumpang terakhir di bis kecilku baru saja turun.
Saatnya untuk pulang ke rumah dan menyambut anak istriku dengan segepok uang
hasil membawa bis kecil ini keliling jalanan.
Di jalan, seorang wanita yang kepalanya terselubungi kain
melambai-lambaikan tangannya. Kupikir dia hendak menaiki bisku ini. Maka
kuhentikan bisku di depannya. Dan benar saja, wanita itu naik dan duduk manis
di bangku paling belakang.
“Turun mana, Bu? Saya habis ini mau pulang ke rumah.”
Tanyaku pada wanita itu karena rumahku sudah pada jarak 1 km lagi. Terlebih,
hari sudah gelap dan bulu kudukku menari ketakutan di belakang leherku.
“Kiri...” katanya lirih, tetapi masih bisa ku dengar. Aku
segera memutar stir ke kiri. Wanita itu lalu turun dan memberikan selembar uang
ribuan padaku. Tangannya dingin sekali. Kali ini, bulu kudukku sudah jumpalitan
tak tentu membuatku menelan ludah ketakutan.
Sepeninggal wanita itu, aku tancap gas secepat mungkin
kembali ke rumah.
***
Setelah shalat isya, aku menuju halaman depan rumah yang
kugunakan untuk memarkirkan bis kecilku. Dengan membawa kemoceng dan kain lap,
aku membersihkan bisku. Saat membersihkan bangku belakang, aku menemukan sebuah
payung dan dompet. Saat mengambilnya, kurasa bulu kudukku kembali memulai
pentas tari balet. Aku jadi merasa tahu siapa pemilik kedua benda itu. Payungnya,
payung souvenir kawinan tetangga. Sedangkan di dalam dompet, terdapat selembar
KTP pemiliknya. Aninda Bugarwati. Nama yang aneh sekali. Sekejap rasa takutku
hilang tergantikan rasa geli. Bugarwati. Sejarahnya, baru kali ini aku dengar
nama sedemikian rupa. Foto wanita disitu manis, mungkin umurnya sekita 20-25
tahun. Kasihan sekali pemilik dompet ini. Jangan-jangan wanita penumpang
terakhir tadi. Kupikir perlu mengembalikan dompet ini pada pemiliknya. Tanpa
menunda lagi, aku mengendarai motor butut etekewerku menuju alamat yang tercantum
di KTP pemilik dompet.
Aku sampai di depan rumah kecil bercat merah. Jl. Cendana
no. 13. Seharusnya benar jika pemiliknya belum pindah. Dengan mantap, aku
mengetuk pintu rumah itu.
“Assalamu’alaikum...” sapaku begitu ada seorang
kakek-kakek membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam... Siapa, ya?” tanya kakek itu lemah.
“Bukan siapa-siapa, Kek...”
“Oh ya sudah,” Kakek itu memotong kalimatku dan hendak
menutup pintu kembali.
“Eh!”
“Ada apa? Katanya tadi tidak ada siapa-siapa..” kata
kakek itu lugu. Atau mungkin terlalu lugu.
“Maksud saya bukan siapa-siapa, bukannya tidak ada
siapa-siapa. Saya hanya hendak mengembalikan dompet dan payung ini. Tadi ada
penumpang yang barangnya tertinggal, dan berdasarkan alamat di KTP dalam
dompet, disinilah rumahnya.” Jelasku pada kakek itu.
“Oo... Makasih, Pak.” Kakek itu membuka-buka dompet yang
baru aku berikan. Dan tanpa disangka tak dinyana, kakek itu menangis di depanku
dan menggunakan pundakku untuk mengusap ingunya.
“Ada apa, Kek?” tanyaku kaget.
“Mari masuk, Pak...” Kakek itu menyeret tanganku untuk
masuk ke dalam ruang tamunya.
Di ruang tamu, telah duduk seorang ibu membawa senampan
teh hangat.
“Pak, kok baru diajak masuk tamunya?” tanya ibu itu.
“Ini... Bapak ini menemukan dompet Ninda, Nduk...” Kakek
itu menyerahkan dompet tadi, yang langsung dilihat-lihat isinya oleh ibu tadi.
Ibu tadi juga ikut menangis saat membaca KTP dan surat-surat keterangan lain.
“Sebenarnya ada apa, Kek? Bu?” tanyaku heran.
“Ninda itu cucuku... Dia meninggal tertabrak bis 4 bulan
yang lalu. Mayatnya sulit dikenali karena selain badannya sudah tak berbentuk,
juga karena tidak ditemukan dompet atau sumber lain yang berisi identitasnya. Baru
dikenali setelah 3 minggu...” Kakek itu berhenti bercerita, “Teruskan, Nduk.
Aku tidak kuat melanjutkannya..”
“Ninda meninggal sepulang dari menghadiri kawinan
tetangga. Entah kenapa, dompetnya itu lho, menghilang. Padahal jelas ia
berangkat bawa dompet ini. Dan ternyata ada di bismu, Pak... Apa Anda yang
menabrak Ninda, Pak? Kenapa, Pak? Kenapa Anda tega begitu? Dia anak saya
satu-satunya! Bapak jahat sekali menabrak anak saya!” Ibu itu menangis
meraung-raung. Belum juga kujawab tanyanya, dia menghujamku dengan pertanyaan
hiperbola seperti di sinetron.
“Maaf, Bu. Tapi bukan saya. Teman saya yang menabrak.
Sekarang dia sudah berhenti jadi sopir bis lagi karena takut membahayakan orang
lain,” jawabku tenang.
“Oh... Ya, ya.. Maaf kalau begitu.” Ibu itu minta maaf
dengan sedikit canggung, “Terima kasih sudah mengembalikan dompet ini kepada
saya.”
“Ya, Bu. Sama-sama. Saya pamit pulang dulu. Terima
kasih... Assalamu’alaikum!” aku keluar dari rumah itu dan menyalakan mesin
motor untuk mengendarainya pulang. Sebelum aku tancap gas, seorang wanita
tersenyum dari balik pohon mangga padaku. Aku tak sempat membalas senyumnya
karena bulu kudukku sekarang mulai konser Rock ‘n Roll dan motor etekewerku
sudah membawaku pergi.
***
Komentar
Posting Komentar