Langsung ke konten utama

thoughts on Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan

Beberapa waktu lalu, saya baru aja mengkhatamkan sebuah buku yang bener-bener memberikan sudut pandang baru tentang psikologi feminisme. Mungkin judulnya udah sering terdengar seliweran dimana-mana karena sempet hype waktu awal rilis. Yak, buku ini berjudul Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan.

this is it.


Hal pertama yang membuat buku ini menarik, seenggaknya untuk saya pribadi, adalah karena covernya warna ungu. Hehe maap. Awalnya cuma iseng-iseng baca pengantarnya aja waktu lagi main ke salah satu toko buku di Jogja. Iya, judulnya emang main, bukan belanja. Karena setelah menghabiskan waktu berjam-jam di sana sampe kaki kemeng dan kesemutan, saya akhirnya keluar tanpa beli apa-apa alias numpang baca-baca doang. Gatau diri banget, nggak sih? Tapi ya gimana, sama toko bukunya juga difasilitasi satu-dua buku dari tiap judul yang udah dibuka segelnya. Tujuannya emang buat dibaca disana, kan? (haha iya ini ngeles, sih.)

Nah, setelah baca sinopsis dan pengantarnya, saya jadi tertarik banget buat menuntaskan seluruh isi buku ini. Penulisnya adalah seorang psikolog yang udah cukup lama berpraktik, sekarang tinggal di Prancis, dan dia bilang buku ini ditulis berdasarkan perjalanan penyelidikan diri dia + cerita dari klien-klien yang dipercayakan padanya. Kedengarannya sedap banget, ya?

Saya putuskan untuk langsung beli. Tapi dasar calon mak-mak perhitungan ya, saya liat dulu harga bukunya, lalu saya bandingkan dengan harga di online store, dari toko yang sama. Lah, murah yang online. Mana gratis ongkir, dapet potongan pengguna baru pula. Yaudah sikat banget nggak, sih?


Singkat cerita, buku ini udah ada di tangan saya. Baru saya baca beberapa hari kemudian. Sekhatamnya baca, kepala saya penuh dengan pikiran-pikiran tentang isi buku ini, dan saya ngerasa harus banget ngecebret biar ndak ruwet pikire. Jadi sebenernya catatan ini sebagian besar isinya udah saya tulis di thread akun twitter saya pada awal Juni lalu. Di second account, sih, soalnya masih belum cukup pede buat ngecebret banyak-banyak di first account. Terus kenapa dipost ulang di sini? Ya nggak kenapa-kenapa, diarsip aja biar nggak hilang. Kalo ada yang kurang valid ya semoga nanti ada yang mau bantu koreksi hehew.


Yak, jadi secara umum, buku ini terbagi menjadi 3 bagian besar.


Bagian pertama.

Psikologi Feminis: Apa & Bagaimana


Sebagaimana judulnya, bagian ini banyak mengulas sejarah perkembangan psikologi feminis dan bentuk-bentuknya. Bagaimana disiplin ini nggak banyak dibahas di perkuliahan psikologi, tapi sebenernya punya peran yang cukup vital dalam perkembangan teori psikologi dan penerapannya.


Hal-hal yang baru saya tahu adalah, bahwa ternyata psikologi di awal perkembangannya bisa dibilang andosentris, kebanyakan ilmuwan yang mengembangkan laki-laki, dan didasarkan pada penelitian terhadap kehidupan laki-laki. Contohnya Freud yang sampe dianggap misoginis karena teori-teorinya mengenai perkembangan psike perempuan cenderung negatif: neurotik, histeria, rendah diri, temperamental, dan lain-lain. Perempuan dianggap versi gagalnya laki-laki, disebut the other gender. Dia bahkan bilang nggak akan mampu menyelami psike perempuan yang disebutnya "kontinen gelap", dan minta ke kolega-kolega perempuannya untuk mengeksplorasi jiwa perempuan.

Contoh lain, yang saya juga baru tahu, Erikson dengan teori perkembangan sosialnya yang didasarkan atas penelitiannya terhadap tiga orang remaja, dan tiga-tiganya laki-laki. Kecuali untuk perkembangan anak-anak, dia pakai subjek dari 2 suku pedalaman di Amerika, namun tetep fokus ke anak-anak laki-laki. 


Jadi, kata Mbak Ester di buku ini, baik teori Freud atau Erikson ini nggak bisa digeneralisasikan dan dipakai di masyarakat sekarang dengan kondisi sosial-budayanya yang udah jauuuh beda. Teori mereka adalah hasil refleksi dari budaya dalam setting ruang waktu yang sangat patriarkis, dan didasarkan pada hasil penelitian yang sangat bias gender. Maka ketika kita melakukan generalisasi teori-teori tersebut di masa ini, untuk laki-laki dan perempuan, sebenernya kita sedang melakukan kesalahan metodologis.

Tapi Mbak Ester nggak serta merta menegasikan usaha peneliti-peneliti ini seluruhnya. Imho dia lagi berusaha jelasin ke pembaca kalau teori yang selama ini kita pelajari ternyata bias gender dan karena itu jangan sampe kita sebagai perempuan menginternalisasi nilai-nilai bias gender itu karna kita nggak tau sejarah dan latar belakangnya.


Menarik banget sih ini.

Disini penulis juga cerita soal Sabina Spielrein, psikiater dan dokter anak dari Rusia yang lebih dikenal sebagai mantan pasien yang juga perempuan keduanya Carl Gustav Jung, yang ternyata justru banyak memengaruhi pemikiran Freud dan Jung dalam penemuan teori-teori mereka.

Spielrein nggak mengembangkan satu teori atau metode tertentu, dia lebih kayak jadi pemantik gitu, lho. Contohnya kayak gimana pemikiran Spielrein tentang pulsion of destruction jadi inspirasi teori dorongan kematian Freud dan pemikirannya tentang psike perempuan jadi ilham Jung dalam mengonsep anima-animus. Sayangnya ia kurang diakui karena Freud, Jung, dan ilmuwan lain kayak Anna Freud dan Melanie Klein nggak memberikan kredit yang layak dalam karya-karya mereka yang diinspirasi oleh Spielrein. 


Daaaan,

Satu lagi yang menarik di bagian pertama adalah, Mbak Ester juga menulis tentang perdebatan neurolog soal gendered brain. Penelitian-penelitian lawas yang mengungkap perbedaan otak cowo cewe udah dipatahkan sama penelitian terbaru, bahwa ternyata... *jeng2* sebenernya nggak ada bedanya otak cowo cewe, tuhh..

Kayak soal belahan otak mana yang lebih aktif, perbedaan ketebalan corpus collosum (yang katanya punya cewe lebih tebel jadi lebih bisa multitasking), macem-macem, lah. Ternyata ya itu, sakjane podo wae. Penelitian yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir menentang teori belahan otak berdasarkan jenis kelamin, membuktikan bahwa kedua belahan otak terus berada dalam komunikasi permanen dan nggak ada yang berfungsi secara terpisah. Nggak ada perbedaan antara otak bayi laki-laki dan perempuan.

Jadi, soal bagian mana yg lebih aktif sebenernya lebih ke stimulasi aja. Interaksi anak dengan lingkungan sosial secara afektif dan kultural, berperan penting dalam pembentukan otak. Misal, kalau cowo dari kecil udah distimulasi buat suka main di luar yang banyak gerak dan mainannya pun banyak yang berbentuk kendaraan kayak truk, tamiya, pesawat, ya kecerdasan spasialnya otomatis lebih berkembang dari pada cewe yang distimulasi buat lebih suka main di dalem rumah kayak masak-masakan, barbie, atau rumah-rumahan.

Ketika orang tua lebih banyak nyuruh anak cowonya ngerjain hal-hal yang butuh banyak gerak dan kerja fisik, sedangkan anak cewe lebih ke masak, bersih-bersih, jagain adek, kerjaan-kerjaan domestik gitu ya akhirnya kecerdasan yang berkembang masing-masing anak akan spesifik ke apa-apa yang udah ditumbuhkan orang tuanya sejak kecil. Itulah akhirnya kenapa pas diteliti jadinya bagian otak yang lebih aktif antara cowo dan cewe bisa aja keliatan beda. 

God didn't create a gendered brain, society did. Kalau kata Rippon dalam bukunya, "A gendered world will create a gendered brain." 🤯


Apa pentingnya bahas ini?

Soalnya orang tuh kalo dijelasin hasil penelitian bentuk otak atau fungsi fisiologis cowo cewe yang beda gitu jadi membentuk belief bahwa "ya emang udah dari sononya kayak gini, ya emang diciptainnya buat bisanya ini dan nggak bisanya itu", akhirnya jadi excuse buat membenarkan praktik-praktik bias gender di masyarakat yang arahnya cenderung menuju pelemahan perempuan.

Padahal kan nggak gitu. Kenapa pas diteliti muncul hasilnya begitu? Ya karena ketika penelitiannya dilakukan, subjeknya hidup dalam konteks budaya yang udah terbentuk. Otaknya bukan "udah terbentuk begitu" tapi "dibentuknya begitu".


Bagian kedua. 

Psike Perempuan: Semesta yang Tak Terlihat.

Bagian ini yang paling menarik! Jujur aja beberapa kali ngerasa tertampar di bagian ini:') Setelah ngomongin sejarah psikologi feminis, disini Mbak Ester menyampaikan pikiran-pikirannya (yang dikaitkan sama teori dan penelitian juga) tentang gimana perempuan udah terlalu jauh dan dalam dibentuk sama masyarakat untuk begini begitu.


Judul bab pertama di bagian ini sama kaya judulnya. Jadi apa maksudnya serigala perempuan? ini dia:



Mbak Ester mendorong perempuan buat jadi liar, dalam artian menyatu dengan alam: tegas, autentik, berani, mandiri, dan punya kapasitas mencintai yang besar, just as wolves. Sedangkan yang terjadi selama ini, perempuan terlalu keras berusaha jadi perempuan baik-baik.

Dimana citra "perempuan baik-baik" ini adalah naif, penurut, harus cantik sealami mungkin (tapi jangan sampe terlalu keliatan kalo berusaha jadi cantik), menjalankan peran sebagai ibu dan istri, adalah mitos kesempurnaan yang dibentuk masyarakat, dan diinternalisasi oleh perempuan sendiri. Kalo satu dari beberapa syarat yang dikonstruksikan budaya masyarakat itu nggak tercapai, perempuan jadi rentan terjebak dalam rendahnya self-esteem, dimana buntutnya panjang banget: hilang semangat buat aktualisasi diri, terjebak toxic relationship, nggak bisa saling support sesama perempuan, depresi, dll.

Jebakan harga diri ini sekali masuk, susah keluarnya. Soalnya semua keputusan yang diambil jadi lebih karena mau memenuhi tuntutan masyarakat (sehingga kalau nggak sesuai menimbulkan rasa takut nggak diterima), dari pada karena dorongan kemauan dan kesadaran perempuan sendiri:( Bahkan perempuan jadi suka bingung, "sebenernya mauku tuh apa?"

yaAllah iya bener:(


Salah satu cara buat melawan budaya yang sakit ini, Mbak Ester bilang, bisa pake cara reinterpretasi atas pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup. Pengalaman negatif ngga serta merta bikin ngga sejahtera, asal bisa diinterpretasi ulang sampai 6 aspek ini terpenuhi: 



Ini sih. Ngena banget. 

Penutup dari esai panjang "Aku Perempuan, Aku Tidak Sempurna": 

menjadi perempuan sejahtera bukanlah menjadi perempuan yang sempurna(!)


Ada lagi yang menarik.

Perempuan tu hobi banget saling hujat, saling nyinyir.

Kalau cantik tapi dandan "ya pantes", kalau ngga cantik terus dandan "udah jelek mau diapa-apain ya tetep jelek", kalau ngga cantik terus ngga dandan "mbok ya macak sitik ben sing nyawang ra emosi", kalau cantik tapi ngga pinter "cantik sih, tapi bego", kalau ngga cantik dan lagi beropini "udah jelek, belagu lagi", dan lain seterusnya yang nggak ada habisnya. Pokoknya mah adaaa aja yang kurang. Sebenernya itu manifestasi dari harga diri yang "terancam", dimana perempuan belum merasa aman dan nyaman sama diri sendiri.

Liat perempuan lain sukses, bawaannya insecure. Lah. Padahal kalau dipikir-pikir, apa ruginya kita kalau orang lain sukses, ya kan? *menampar diri sendiri*

Keberhargaan diri perempuan masih sangat ditentukan dan dipengaruhi faktor eksternal, belum merdeka, belum bisa sepenuhnya yakin sama fitur-fitur pribadi yang dimiliki.

Termasuk gerakan self-love yg selama ini digaungkan dengan mendorong setiap perempuan merasa cantik dengan cara mereka sendiri, sebenernya perlu ngga sih?

Jawabannya: sebenernya sih enggak.

Karena mau gamau "cantik" ini udah susah dilepaskan dari standar-standar yang dikonstruksi sama masyarakat. Kenapa kita memaksa diri buat merasa cantik, sementara kita udah menetapkan kriteria yang kejam untuk menilai kecantikan? Ya cantik wajahnya, cantik hatinya, intelektualnya, kemampuan sosialisasinya, religiusitasnya, ...hasemeleh hasemeleh dan seterusnya. Kurang satu aja udah jadi batal cantiknya. Cancelled. Sedangkan nggak mungkin banget memenuhi semuanya. Akan selalu ada perempuan lain yang lebih cantik dari kita dalam setiap aspek yang banyak banget itu tadi.

So, why bothering ourself? Pada akhirnya: 

kemampuan untuk jujur dan tulus dengan diri sendiri dan membebaskan diri dari pandangan orang lain adalah dasar dari cinta diri.


.....

*menghela napas panjang*

Tapi beneran. Baca buku ini rasanya kayak ada bagian-bagian dari hati kecil yang teriak-teriak, "tuh! dengerin!", atau "hayolo yas, kamu selama ini mikir kaya gitu kan, ngaku kamu~", yang akhirnya mau nggak mau jadi mempertanyakan kembali nilai-nilai yang selama ini saya yakini, keputusan-keputusan yang selama ini saya ambil, pola pikir yang selama ini saya bangun, emosi-emosi yang selama ini saya rasakan..

Karena ternyata, 

Tanpa sepenuhnya saya sadari, lebih banyak yang didikte sama faktor eksternal (pandangan orang-orang di sekitar saya, ketakutan ngga diterima, standar masyarakat, dll) dari pada berangkat dari diri saya sendiri: apa yang sebenernya saya mau, kenapa saya mau itu, apakah saya bener-bener butuh, apakah saya nyaman dengan itu, apa saya bener-bener siap dengan konsekuensi yang mengikutinya, dll.

Pun sampe sekarang:(

Masih susah melepas faktor eksternal dan bener-bener tanya ke diri sendiri.


Tapi ya gapapa.

Pola pikir yang kaya gitu kan udah dibentuk sejak kecil (pola asuh, budaya masyarakat, tuntutan lingkungan), dan berusaha mengubahnya adalah sebuah PR besar. Ngga bisa makbedunduk. Ya gapapa, seenggaknya sekarang udah disadari, itu udah cukup jadi langkah pertama. Pelan-pelan aja.

Makanya, mulai sekarang harus lebih sering rajin nanya ke diri sendiri,

apa kamu bener-bener mau ini?

gimana perasaanmu?

apa kamu nyaman?

apa kamu yakin sama konsekuensinya?


Mungkin banyak pilihan dan keputusan kurang bener, kurang adaptif, yang saya ambil di masa lalu. Gapapa, sekarang saya harus siap sama konsekuensi-konsekuensinya. Iya, pasti ruwet dan melelahkan. Gapapa ya yas, kita belajar hadapi pelan-pelan. Yang ikhlas, yang kuat, yang teges. 

Terima kasih dah belajar, aku! :)


Bagian ketiga.

Mari Kita Bicarakan Kekerasan terhadap Perempuan.

Diawali dengan paparan sejarah perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, lengkap dengan sajian data statistik kasus-kasus kekerasan yang membangongkan. Sedih banget baca soal perkosaan di luar/dalam RT, sunat perempuan, pelecehan seksual, KDRT, sampai honour killing:((


Yang menarik:

Disini diceritakan kalo anak-anak yang pernah jadi korban kekerasan seksual cenderung menampilkan gambaran kepribadian yang khas, yang diistilahkan penulis sebagai "kepribadian tersayat", semacam perpaduan antara pasif-agresif, borderline, dan paranoia.

Karena anak-anak masih belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi dengan tubuh mereka, saat atau setelah kekerasan seksual itu terjadi mereka merasa ngga nyaman, takut, pengen berhenti, tapi kesulitan mengekspresikannya secara eksplisit.

Dengan segala kecamuk emosi yang masih sulit dikenali ini, anak jadi gelisah dan bingung. Akhirnya muncul deh, perilaku negatif kayak rewel, kasar, agresif, memberontak, yang sebenernya itulah ekspresi kegelisahan mereka. Tapi sayangnya ngga semua orang dewasa bisa menangkap sinyal itu:(


Karena pengalaman itu traumatis, perubahan perilaku anak (kalo ngga tertangani dengan baik sejak awal), cenderung akan bertahan sampai mereka dewasa, membentuk kepribadian mereka yang "tersayat".

Paranoia: anak jadi gampang curigaan dan merasa kalo orang lain mau menyakiti dia, yang lalu bikin mereka jadi overprotective sama diri sendiri (sulit menerima kritik, merasa paling bener, cenderung membangun benteng dengan orang lain).

Pasif-agresif: sebagai bentuk defense, anak bersikap kasar ke orang lain terutama yang dianggap menyakiti (dalam hal fisik, psikis, harga diri, dll). lalu mereka menyesal, minta maaf, tapi kemudian merasa tersakiti lagi dan diulangi lagi. Agresivitasnya ini bisa macem-macem bentuknya: sarkasme, nyinyir, menyimpan dendam.

Borderline: merasa takut diabaikan, tapi di saat yang sama akan menarik diri dari orang lain, berperilaku impulsif, sering mood swing, dan berpandangan kalo manusia terbelah sebagai kelompok jahat dan baik, sehingga perilaku mereka akan berubah-ubah secara ekstrem mengikuti pola pikir ini.


Sedih banget lah pokoknya:( 

Proses healing dari pengalaman traumatis ini adalah perkerjaan seumur hidup. Mereka jadi sangat fragile, membutuhkan kehadiran orang lain untuk membatu mereka bertahan dan bangkit, tapi di saat yang sama orang-orang akan cenderung menjauh dari mereka karena capek kan barengan sama orang yang punya bad vibes kaya gitu:(


Ohya, di sini Mbak Ester juga cerita bahwa proses healing korban pemerkosaan atau kekerasan seksual lain, nggak harus dengan cara bicara. Meskipun bisa jadi melegakan buat sekelompok besar orang, tapi buat korban yang belum siap bicara malah boleh jadi memperparah luka. Padahal siapa yang tau kapan dia bener-bener siap apa belum?

Jadi terapis-terapis menawarkan metode terapi kayak terapi seni, terapi karate, dan terapi-terapi yang mendorong rekoneksi antara pikiran, tubuh, dan jiwa. Karena korban merasa seperti "kehilangan tubuhnya" setelah mengalami kejadian traumatis itu, jadi untuk memulihkannya perlu dikoneksikan kembali dulu.


Pada akhirnya, mereka akan lebih mudah memeluk luka-luka mereka, menyadari bahwa waktu ngga berhenti di saat mereka mengalami pemerkosaan. Masih ada besok. Dan pemerkosa yang udah menghancurkan masa lalu mereka, nggak sekuat itu untuk menghancurkan masa depan juga:)


***

Yeay! Bukunya udah selesai dibaca, and I have to admit that this book gave me a new refreshing perspective, forced me to re-question a lot of things I've always believed in, about this world, this society I'm in, and especially about myself: what do I truly want, feel, and think?


Would I recommend this book?

Well, I'd rather ask first, suka psikologi? Suka isu-isu feminisme? Kalau iya, the answer is YES!

Soalnya buku ini disajikan dengan cukup ilmiah, terutama bagian pertamanya yang banyak mendebat teori-teori dasar di ilmu psikologi. Di bagian-bagian berikutnya pun penulis juga selalu mengaitkan dengan hasil penelitian dan teori dari tokoh-tokoh psikologi yang, kadang-kadang, ngga dijelaskan secara detil (karena bakal jadi panjang banget sih). Jadi akan ada istilah-istilah yang perlu dicari sendiri, ini apa ya maksudnya. So it'll need an extra effort. 

But still, it doesn't reduce the delicacy of this book.


Sesuai banget sama bagian terakhir sinopsisnya,

"Selamat menyelidiki diri, selamat menemukan kekuatan yang menantimu di sana."


Yap, karena ada serigala betina dalam diri setiap perempuan 🐺✨


*disclaimer: saya pun nggak banyak mengecek atau membaca ulang referensi-referensi yang dicantumkan penulis dalam buku ini, jadi sangat mungkin kalau catatan yang saya tulis ini kurang valid. Kalau kalian menemukan kekurangan atau kekeliruan dalam tulisan ini, please kindly tell me, ya :) I'll be so glad to discuss it further!

Komentar