Langsung ke konten utama

Reply 1988: sebuah cara mengapresiasi masa lalu

Malam ini, entah udah yang ke berapa kalinya sejak beberapa bulan terakhir, Reply 1988 jadi trending topic lagi di twitter. I find it hard to read the tweets, karena jujur aja saya susah banget move on sejak pertama kali nonton drama ini. Saya baru nonton sekitar lima bulan lalu. Iya, udah telat banget emang. Drama ini dirilis tahun 2015, orang-orang udah pada heboh sejak jaman kapan, temen saya pun udah merekomendasikan drama ini sejak lama, dan saya baru nonton sekitar bulan Mei lalu. There was no specific reason to not watch it earlier, saya cuma sulit untuk mulai nonton drama karena saya tau akan susah berhenti, kepikiran terus. I hate being emotionally unstable for such a long time, cause I am easily emotionally-messed-up for movies or dramas.


Geng Ssangmundong yang siap memporak-porandakan batin.
source: pinterest


Dan bener aja. Di episode pertama saya udah ngakak-ngakak sampe mewek jelek. Soundtracknya udah terngiang-ngiang di kepala, saya mulai melihat wajah Deok-sun waktu lagi ngaca, dan parahnya lagi wajah Taek mulai muncul dimana-mana: di layar laptop, di buku, tembok kamar, ubin masjid. Ini cukup menyiksa karena saya nggak bisa binge watching menyelesaikan seluruh episode dengan cepat (karena sinyal smrtfrn yang lemotnya minta ampun, posisi masih di pondok, dan lagi bulan puasa pula), so it was frustrating. So much. Agak nyesel juga mulai nonton di bulan puasa. Saya lalu berjanji pada diri sendiri untuk nggak nonton lebih dari 1 eps/hari tapi tentu aja dilanggar sendiri. Yaudah intinya drama ini buagus banget, sesuai sama testi temen saya yang bilang "DRAMA TERBAIK YANG PERNAH AKU TONTON!!", dan saking bagusnya, it was so hard to resist the temptation to watch another episodes until it get finished.


Tapi setelah semua kehangatan yang diberikan drama ini hingga di episode terakhirnya, justru ketika udah tamat saya jadi merasakan kekosongan yang... menyakitkan(?).  Udah. Udah selesai cerita Gang Ssangmundong-nya. Mereka udah nggak ada, the end. Sekarang yang ada cuma tinggal kamu, menatap kosong layar laptop yang gelap, hidup di jamanmu sendiri dengan ceritamu yang gitu-gitu aja. Then I just felt so empty.

Berhari-hari saya berusaha menyelami kondisi emosional saya sepeninggal Reply 1988 yang selalu terasa nggak nyaman. Kenapa sih sebenernya? I found that I was sad. So sad. But was I sad because I lost them? Or because the story wasn't ended well? Or because my life is so boring compared to Deok-sun's?.....

Lalu saya sadar. Saya sedih karena hidup Deok-sun ini walaupun mlarat dan lain sebagainya, tapi dia menjalani masa mudanya to the fullest, dikelilingi tetangga yang asik dan perhatian (plus ganteng-ganteng jangan lupa), punya keluarga yang asik dan hangat, dia sendiri juga selalu bahagia dan menikmati hidupnya to the fullest (ok I said it again I'm sorry). Membanyangkan jadi Deok-sun dewasa, nggak ada penyesalan di masa mudanya, semuanya dia syukuri dan dia kenang dengan manis. Kayak puas banget, nggak sih?

Kemudian kesadaran ini membawa saya ke kesadaran lain. Sebenernya kenapa masa muda si Deok-sun dkk ini terasa berkilau-kilau, bukan cuma karena cerita mereka emang asik dan penuh liku, tapi juga karena dia menghargai masa mudanya dengan baik. Nggak ada yang membuat suatu hal jadi spesial kecuali diri kita sendiri, kan?

Sepotong lagu galau misal, hanya akan jadi lagu cengeng yang norak buat sebagian besar orang, tapi bisa jadi cuma dengan denger dua baris lirik awalnya aja hatimu jadi ngilu clekit-clekit dan matamu jadi panas. Entah kenapa lagu itu melemparkanmu ke jaman SMP dimana hatimu yang polos pertama kalinya dibuat patah oleh temen sekelasmu. Cinta monyet yang nggak berjalan dengan baik, mungkin? Buat kamu lagu itu adalah bukti sepotong masa SMPmu yang manis-sedih-alay, sepotong proses pendewasaanmu, tapi buat orang lain, itu kan cuma lagu galau yang cengeng.

Selembar piagam juara 3 lomba OSN tingkat kota milikmu, misal, yang kamu dapatkan melalui perjalanan panjang bimbingan yang bikin pusing, guru pembina yang bersemangat menggrujukimu dengan materi yang nggak ada habisnya, bersama temen-temen satu bimbinganmu yang entah waktu itu kalian saling melemparkan tanggung jawab (untuk jadi perwakilan sekolah di tingkat kota) atau malah diem-diem bersaing, dan jangan lupa bahwa untuk bimbingan itu kamu harus kelewatan pelajaran di kelas, sehingga kamu malah kelabakan sendiri waktu menjelang UAS karena kamu nggak ngerti materi sama sekali. Selembar piagam itu membawamu pada serentetan memori masa SMAmu yang melelahkan tapi kamu jadi bangga sama dirimu sendiri karena pernah berjuang sekeras itu. Tapi buat orang lain, itu kan cuma selembar kertas.

Misal lagi, jersey sepak bola jaman SMAmu, yang walaupun sekarang udah nggak muat lagi karena kebetulan perutmu mblendung secara fantastis sejak sibuk skripsian, masih kamu simpan dengan baik di lemari. Setiap buka lemari baju dan pandanganmu nggak sengaja jatuh ke jersey yang warnanya nyentrong itu, otakmu otomatis memutar scene lapangan, dipenuhi teriakan chants dukungan yang kadang-kadang liriknya agak maksa, temen-temenmu berjajar di luar lapangan dengan berbagai riasan heboh, menggebug penuh semangat drum, galon, ember, botol, atau apapun yang bisa digebug demi terciptanya keributan, lengkingan peluit wasit, tendangan penalti yang dramatis dan mendebarkan, derai air mata, dan kamu yang berpelukan dengan teman-teman satu timmu. Kalah atau menang, kalian akan tetap menangis karena emang begitulah sebuah pertandingan bersejarah harus diakhiri. Sekarang kamu mungkin udah nggak lagi kontakan dengan teman-teman setimmu, tapi kamu tetap akan tersenyum  ketika mengingat semua itu. Buat kamu, jersey itu adalah sepotong masa lalumu yang heboh dan dramatis, tapi buat orang lain, itu kan cuma sepotong seragam olah raga.

Boneka kecil yang udah buluk dan kucel di pojok ruang tidurmu, misal, sudah tertimbun boneka lain yang seiring kamu menua kamu mulai berhenti memeluk mereka sebelum tidur karena hari yang melelahkan membuatmu jadi tidur sembarangan. Suatu saat ketika kamu bersih-bersih dan menemukan boneka itu, kamu menyadari bahwa sebelah matanya copot, dan bulunya mulai menggembel. Padahal kamu ingat dulu teman-temanmu patungan beli boneka itu, lalu merencanakan surprise kecil untukmu. Kamu dibohongi dan kamu percaya, meninggalkan tasmu di kelas untuk memenuhi panggilan palsu mereka. Saat sadar ternyata semuanya bohong dan kamu merasa bodoh, kamu kembali ke kelas dengan marah, langsung pulang dengan kesal. Malu pada dirimu sendiri karena udah GR mau disurprise ulang tahun lengkap dengan kue dan tiup lilin, ternyata teman-temanmu lupa bahkan nggak ada yang menyalamimu, kamu kesal sampai malam. Tapi kemudian waktu kamu beberes tas untuk menyiapkan jadwal besok, kamu baru sadar ada kotak yang terbungkus serabutan nggak rapi di tasmu dan waktu membukanya, kamu menemukan boneka kecil itu, lengkap dengan selembar surat dari teman-temanmu. Hatimu kembang kempis saking bahagianya, kamu memotretnya, mengupload di instagram dengan hashtag #BestFriendForever. Walaupun teman-teman sepertongkronganmu di kantin itu sehari-hari emang suka nyebelin, tapi mereka jugalah tempatmu berani menunjukkan sisi konyolmu, saling menoyor satu sama lain tanpa perlu ada yang marah, saling menyalin PR di jam-jam kritis sebelum bel masuk berbunyi, saling berbagi rahasia soal siapa naksir siapa, saling mengandalkan saat kerja kelompok, saling main ke rumah masing-masing sekedar untuk makan siang atau menghabiskan waktu di akhir minggu. Melihat boneka buluk itu kamu jadi merindukan masa sekolahmu yang koplak, tanpa beban, dan dipenuhi cekikik jahil. Ketika masalah terberatmu hanya karena buku PRmu ketinggalan atau karena rangkingmu merosot gara-gara kebanyakan main. Boneka itu mengingatkanmu pada teman-temanmu yang lucu dan masa lalumu yang sederhana, tapi buat orang lain itu kan cuma sebuah boneka yang udah buluk.

Sepotong lagu, selembar piagam, jersey yang udah kekecilan, boneka buluk, mungkin sebuah diary, hasil photobox di dompetmu yang mulai rusak, sebuah status alaymu di facebook, foto-foto di folder laptopmu, atau apapun, kita semua pasti punya benda itu. Benda-benda yang bisa melemparkan kita pada potongan-potongan masa lalu yang kalau diingat kembali akan membuat kita otomatis menarik sudut bibir. Entah potongan itu lucu, konyol, mengharukan, nyebelin, malu-maluin, bahkan sedih, pada akhirnya ketika semua udah berakhir dan terlewati sebegitu jauhnya, kita akan mengenangnya kembali dengan tersenyum. Apalagi kalau benda-benda itu kamu simpan dengan baik. Walaupun memori yang tersimpan sebenernya nggak spesial-spesial amat, toh kamu mengapresiasinya dengan baik. Kamu menyimpannya, nggak membuang benda-benda itu hanya karena masa itu udah terlewat. Poin terpentingnya adalah, kamu mengapresiasi kenangan-kenangan itu dengan baik.

Seiring kamu menua dan memori kelucuan masa mudamu mulai luntur, digantikan dengan berbagai masalah orang dewasa yang pelik soal ekonomi, kerjaan, keluarga, bahkan mungkin soal sosial politik, aku takut bahwa kamu mungkin akan lupa caranya menikmati dan mensyukuri hidup, yas. Aku takut kamu lupa bahwa hidupmu pernah semenyenangkan itu. Bahwa masa mudamu begitu berkilau dengan tawa, persahabatan, pengalaman-pengalaman berharga dengan macam-macam orang di macam-macam tempat, bahwa kamu pernah berhasil dalam banyak hal, atau gagal dan belajar dalam lebih banyak hal lagi. Kamu nggak perlu hidup yang fantastis dan spektakuler, cukup kenangan-kenangan kecil yang saling berkelindan satu sama lain, bersama-sama menyusun masa lalu yang sederhana tapi manis.

Jadi ketika suatu saat kamu menua dan hidupmu dirundung masalah ini-itu, kamu nggak akan terlalu keras mengutuk hidup dan Tuhan. Sama seperti masalah-masalah di masa lalumu yang dulu pun terasa berat dan tidak mungkin, pada akhirnya toh sekarang kamu telah melewatinya. Terlepas masalah itu berhasil kamu selesaikan atau enggak, sadar nggak sadar sebenarnya kamu udah belajar, sedikit demi sedikit jadi lebih kuat. Dan lagipula hidup kan emang perjalanan serentetan masalah(?). Kamu bukan peserta lomba yang cuma tau soal menang atau kalah, berhasil atau gagal. Kamu adalah traveller yang (seharusnya) menikmati perjalananmu. Enjoy every moment. Kamu nggak perlu buru-buru memenangkan semua masalahmu, dan terlalu sibuk berlari sampai nggak bisa memperhatikan pemandangan di kanan-kirimu yang ternyata begitu indahnya. 

Ketika kamu sampai di akhir perjalananmu, apa yang ingin kamu kenang? Apakah tentang betapa cepatnya kamu berlari dan berapa banyak lukamu akibat terlalu sering jatuh tersandung? Atau tentang betapa indahnya pemandangan yang kamu nikmati selama perjalanan, dan perhentian-perhentian istiharatmu yang menguatkanmu hingga sampai di garis akhir?

Percayalah yas, hidupmu indah kalau kamu mau berusaha mengingat dan mengapresiasinya dengan benar. Allah Maha Baik, Allah Maha Indah, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Mengapresiasi hidup adalah salah satu bentuk syukur. 

Ayo, yas, mulai sekarang bertekadlah untuk selalu berusaha mengapresiasi apapun yang terjadi di hidupmu, entah baik atau buruk, entah besar atau kecil, karena sejatinya semua itu tetap nikmat. 

Kamu nggak perlu jadi tokoh utama drama Reply 1988 untuk jadi Sung Deok-sun yang bahagia. Kamu adalah tokoh utama dalam hidupmu, yang setiap scenenya Allah tulis sebegitu sempurnanya, tinggal kamu jalani dengan penuh kesadaran dan rasa syukur :)


Ah, leganya~

Ini semua udah berputar-putar di kepala saya sejak beberapa waktu terakhir, membuat sesak karena nggak tersampaikan dengan benar. Sekarang dada saya terasa lebih enteng dan mungkin saya akan lebih ikhlas saat rewatch atau melihat foto-foto scene Reply 1988 yang berseliweran dimana-mana. I'm okay now. 

Saatnya kembali ke hidup saya yang biasa-biasa aja tapi spesial ini :)


bonus: Taek yang ganteng banget sampe bikin pusing
source: pinterest 


Komentar