Langsung ke konten utama

Agatha Christie, Conan Doyle, Dan Brown, dan sebuah review serabutan untuk 3 mahakarya

Saya menemukan sebuah notes di hape saya bertanggalkan 2 Juni 2020, waktu liburan lebaran kalau nggak salah. Lebaran di masa pandemi memberikan kita buanyak waktu luang: nggak ada anjang sana anjang sini silaturahim ke tetangga dan keluarga, padahal biasanya kita (atau kami) bisa menghabiskan berhari-hari di jalan untuk melakukan budaya ini, touring dari satu kota ke kota lain menemui keluarga jauh.

Oke tapi tulisan ini bukan tentang lebaran, tapi tentang buku-buku yang saya baca demi mengisi waktu longgar karena nggak ngapa-ngapain selama lebaran. Buku apa? Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang nggak bertanggung jawab, bukannya nyicil baca-baca literatur atau buku saintifik yang berguna, tentu saja saya malah baca buku-buku fiksi. 

Daripada review, mungkin tulisan di bawah akan lebih mirip ringkasan dan komentar serabutan terhadap tiga buah buku, yang sebenernya, adalah mahakarya para penulis agung di dunia fiksi thriller. Saya nggak ingin lupa gimana saya tercengang-cengang selama baca buku-buku ini, beserta momen-momen "hah?" "lah?" "lho?" dan "haaaah?!" yang rasanya kok sayang kalo menguap begitu aja. Maka saya ucapkan pada diri saya sendiri:

Selamat! Kamu berhasil baca buku-buku di bawah ini sampai selesai! Mari tulis kesan-kesanmu biar apa yang kamu baca nggak menguap gitu aja!

(Ah ya, friendly reminder. If you haven't read these books and you hate spoiler, then please just stop reading by now.)

4.50 from Paddington (Agatha Christie) 

(Pinjem punya temen dan sampe sekarang belum dibalikin juga haha. Dibaca selama berhari-hari karena terpotong-potong kegiatan lain (termasuk males-malesan), selesai kalo ngga salah sekitar tanggal 27 Mei)

Tentang kasus pencekikan wanita yang dilihat Mrs. Gillicuddy di perjalanan naik kereta dari Paddington, dan nggak dipercayai siapa-siapa (petugas kereta, polisi, kepala kereta api), cuma Miss Marple yang percaya dan menganggap serius ceritanya. Miss Marple yang gemes karena ngga ada mayat ditemukan juga, akhirnya nyelidikin sendiri dengan bantuan Lucy Eyelesbarrow yang diminta jadi asisten rumah tangga di Rutherford Hall, rumah gede punya keluarga bangsawan Crackenthorpe yang cuma dihuni sama Mr. Luther sama Emma, anak cewenya.

Akhirnya mayatnya ketemu di sarkofagus di gudang panjang yang masih dalam kawasan tanah keluarga Crackenthorpe. Jadilah kasus. Anak-anak Crackenthorpe pada kumpul dan mereka dicurigai sebagai pembunuh. Akhirnya Alfred sama Harold (salah dua dari anak-anak bani Crackenthorpe) mati juga, tersisa Cedric sama Bryan (mantu) yang dicurigai. Setelah penelurusan yang panjang, akhirnya *jeng jeng jeng* ternyata pembunuhnya adalah dr. Quimper, dokter keluarga Crackenthorpe yang pengen dapet kekayaan warisan karena ngerasa punya peluang buat menikah sama Emma. Karena dia katolik taat, dia harus menyingkirkan istrinya dulu sebelum nikah sama Emma (wtf is this logic). Setelah bunuh istrinya, dia jadi semakin serakah dengan menginginkan semua harta warisan keluarga Crackenthorpe, lalu dibunuhlah Alfred dan Harold (sebenernya dia mau bunuh Mr. Luther tapi teh beracunnya malah diminum Alfred huhu kesian).

Well, overall saya menikmati petualangan Lucy, Miss Marple, dan Inspektur Craddock dalam menguak misteri siapa wanita yang terbunuh beserta identitas pembunuhnya, dan gimana caranya. Sepanjang cerita, Agatha Christie berhasil bikin saya ikut mikir juga kok bisa ya, siapa ya, gimana ya dan itu yang bikin jadi nggak bisa berhenti sebelum sampe di akhir. Bahkan sampe detik-detik sebelum pembunuh terkuak, saya hampir-hampir nggak curiga sama dr. Quimper sama sekali, karena selain identitas wanita itu juga masih belum ada titik terang sampe akhir, juga karena secara keseluruhan dr. Quimper selalu dinarasikan sebagai seorang dokter paruh baya yang mendedikasikan sepenuh waktu dan energinya untuk pekerjaannya, dan cukup perhatian sama Emma. Emma pun suka sama dr. Quimper.

Ada teori cukup menarik yang dinyatakan sama Miss Marple, yaitu (kurang lebih) bahwa manusia, seunik apapun mereka, sebenernya punya kecenderungan saling menunjukkan kemiripan atau kesamaan satu sama lain (harus baca lagi bukunya buat ngutip bagian ini dari Miss Marple dengan lebih akurat). Cukup menarik, karena sebenernya Miss Marple sedang mencoba mengatakan bahwa manusia punya kecenderungan berkepribadian tertentu dan menunjukkan serangkaian perilaku tertentu. Kadang-kadang kecenderungan ini membuat mereka hampir bisa diprediksi perilakunya. 

Ah ya, satu hal yang bikin saya gemes setelah baca buku ini adalah, saya sebel karena sama sekali nggak bisa menebak dengan siapa akhirnya Lucy nikah? Siapa? Cedric atau Bryan? Waktu saya searching karena saking keponya, saya malah tambah gemes karena ada banyak versi tebakan dengan analisisnya masing-masing, dan tiba-tiba ada yang bilang kalau Lucy nikah sama Inspektur Craddock (???).


Sherlock Holmes: The Hound of Baskervilles (Sir Arthur Conan Doyle)


(Selesai dalam 2 atau 3 hari, khatam tanggal 30 Mei).

Ini adalah novel kedua Conan Doyle sedangkan novel pertamanya yang Study in Scarlet malah saya belum baca wkwk. Baru sadar ternyata saya ngoleksi novelnya kebalik alias The Four Signs dulu, baru The Valley of Fear, terus ini, dan Study in Scarlet malah belum. Kali ini saya baca yang dari Immortal Publisher, sedangkan buku-buku Sherlock Holmes lain yang saya punya adalah dari penerbit Shira Media, dan kali ini saya ngerasa bahasanya lebih gampang dipahami. Sebelumnya, kadang-kadang saya harus ngulang baca beberapa kalimat atau paragraf karena masih belum paham apa maksudnya. Tapi kali ini lebih mudah. Entah karena penerjemahnya atau kapasitas kognitif saya aja emang belum nyampe waktu baca yang kemarin-kemarin haha. Intinya kali ini saya lebih bisa menikmati ceritanya.

Oke, jadi buku ini nyeritain tentang kasus kutukan anjing setan di Baskerville Hall yang menimpa sekeluarga Baskerville yang kaya raya akibat perbuatan Hugo Baskerville, si lelaki pemarah jahat yang memburu anak gadis petani di rawa-rawa samping Baskerville Hall dengan melepas anjing-anjing pemburu. Akhirnya perempuan itu mati, jatuh ke jurang, di sampingnya Hugo juga mati, dan ketika temen-temen Hugo menemukan mayat mereka, ada seekor anjing hitam besar yang mengoyak leher Hugo. Sejak itu, legenda itu dipercayai orang-orang setempat.

Di awal cerita ini, Sir Charles, anak kedua Hugo, meninggal di rawa-rawa dan ditemukan jejak kaki anjing buesar berjarak 2 yard dari mayatnya. Dr. Mortimer, dokter keluarga Baskerville, minta Holmes bantu kasih dia saran apa tindakan terbaik berkaitan dengan datangnya Sir Henry, ponakan Sir Charles  dari Amerika, sebagai keturunan terakhir dan pewaris utama. Semua kejadian dan fakta-fakta awal dalam kasus ini selalu mengarah ke legenda mistis anjing setan, sedangkan Holmes dan dr. Watson berusaha keras menyelidiki dengan tetap mempertahankan rasionalitas mereka.

Sampe akhirnya diketahui ternyata pelakunya adalah Stapleton si tetangga pecinta alam, yang emang punya anjing hitam besar ganas, dan menggunakan istri (yang disamarkan sebagai adik perempuannya) dan Lady Lyons sebagai umpan, ceritanya masih asik dan bikin deg-degan dengan gimana caranya menangkap si Stapleton jahat ini. Conan Doyle emang bikin penasaran dengan menyajikan setiap keping puzzle pelan-pelan bersamaan dengan informasi-informasi lain yang saya ngga tau apakah relevan dengan kasus atau enggak, atau gimana caranya memproses semua informasi itu sehingga bisa mendukung penyelidikan. Kita akan lebih mengerahkan energi kita untuk mikir gimana rangkaian peristiwa sebenernya, daripada siapa pelakunya. Ya mungkin karena emang fakta-fakta yang diberikan nggak cukup kuat untuk mencurigai siapapun sih. Sekalinya potongan puzzle udah mulai keliatan membentuk gambaran besar kasus ini, waktu dr. Watson akhirnya menemukan ternyata selama ini Holmes memata-matai mereka dari bukit lalu mendiskusikan hasil analisis keduanya, kita langsung dapet gambaran bahwa Stapleton lah pelakunya. Dan ya, lalu kita disibukkan dengan mikir gimana caranya membuktikan Stapleton bersalah dan gimana caranya menangkap dia. This book is delicious until the very last bite.

Btw, trik ngasih makan anjing pake makanan yang dicampur cat fosfor sejak pertengahan cerita udah ketebak, karena (entah disengaja atau enggak), salah satu cerita di komik Deteketif Conan juga ada yang tentang anjing setan dilumuri cat fosfor. Makanya bisa menyala-nyala seakan-akan dia menyemburkan api dari mulutnya atau matanya berkobar-kobar.

 

Digital Fortress (Dan Brown)


Akhirnya! Saya udah hampir lupa gimana rasanya deg-degan waktu baca buku dan akhirnya.. saya rasakan lagi! Tbh it feels so satisfying! wkwkwk seneng banget akhirnya bisa nyelesaiin satu buku Dan Brown lagi. Harus diakui emang buku-buku dia selalu bikin kita penasaran dan tensenya udah kerasa bahkan sejak beberapa belas halaman pertama. Seluruh isi bukunya adalah konflik! Semakin dibaca akan semakin menekan, dan baru akan berakhir di ujung cerita. Bahkan dengan topik-topik yang sama sekali beda di setiap bukunya, Dan Brown tetap selalu brilian!

Digital Fortress nggak menceritakan Robert Langdon, kali ini Dan Brown mengisahkan Susan Fletcher, seorang kepala kriptografer di NSA, National Security Agency, ceritanya sih sebuah agensi intelejen paling kuat di Amerika--bahkan di dunia. Dia dipanggil wakil direktur, Komandan Strathmore yang bingung karena harus menangani kasus besar yang mengancam keamanan semua orang, bahwa Ensei Tankado, kriptografer jebolan NSA yang dipecat karena membocorkan ke pers tentang TRNSLTR, komputer megamilyar punya NSA yang bisa menyadap dan "menguping" semua data di seluruh dunia. Dia memperjuangkan hak-hak privasi. Buat balas dendam, dia bikin program Digital Fortress, yang intinya program itu bisa bikin semua data terenkripsi dan terlindungi dari mesin pelacak apapun karena dia memberi kode keamanan berotasi yang mustahil dipecahkan. Setelah berbagai pergulatan, ternyata Digital Fortress nggak nyata, dia cuma worm yang dienkripsi, siap membocorkan data utama NSA yang mega super rahasia. Dan akhirnya, di saat-saat kritis, 3 detik setelah semua benteng keamanan hancur, Susan dan David (tunangannya yang terlibat karena ternyata Strathmore cinta mati sama Susan dan pengen mewujudkan mimpinya bikin program mencengangkan sekaligus nikah sama Susan jadi dia berusaha melibatkan David biar dia mati dibunuh Hilohot di Spanyol), berhasil memecahkan kode penghancur worm yang ternyata cuma angka 3. Nyebelin ga.

Sepanjang baca rasanya nafas saya selalu tertahan dengan fakta-fakta baru yang mencengangkan atau dengan hipotesis-hipotesis tentang siapa, kenapa, atau gimana. Saya nggak nyangka ternyata Strathmore, di samping rasa nasionalismenya yang luar biasa, juga seorang bucin yang dibutakan mimpi, kehormatan, dan cinta. Ensei Tankado yang perfeksionis tapi sederhana, yang memperjuangkan kemanusiaan dengan cara yang sulit dipahami, dan gimana dia berusaha membalas dendam secara terhormat (seenggaknya menurutku sih gitu ya). Dan Susan, yang punya segala syarat untuk jadi tokoh utama: cantik, baik, cerdas, setia, hidupnya sempurna, mencintai dan dicintai sepenuh hati, berhasil menyelamatkan dunia di saat-saat terakhir secara dramatis bersamaan dengan tunangannya. Nggak kelewatan Fontaine, Midge, Jabba, Brinkerhove, Hale, tokoh-tokoh yang semuanya menarik, semenarik dinamika emosi dan hubungan antara satu dengan yang lain. Di samping teka-teki techno-thrillernya yang mendebarkan, Dan Brown juga menghadirkan drama yang luar biasa apik dan rapi. Sama sekali nggak kerasa dipaksakan. Mantap lah.

Entah kenapa di tengah jalan, waktu para tokoh menjelaskan bahwa untuk mencoba menebak pass key Digital Fortress harus mengutak-atik Gauntlet secara manual karena dia punya rentetan apalah yang dianggap virus jadi dia nggak diijinkan diproses sama TRNSLTR, saya mulai firasat kalo jangan-jangan ini semua akal-akalan biar waktu Gauntlet dibuka, si pelaku sebenernya lagi ngincer data utama. Tbh saya agak bangga waktu tau akhirnya Tankado sebenernya emang menargetkan data utama haha. Soal Hale yang bukan North Dakota, saya rasa itu cukup jelas, sih.

Yah, intinya, saya puass banget bacanya! Ini agak berbahaya karena saya mulai ketagihan. Ada semburat-semburat godaan untuk baca buku Dan Brown yang lain, dimana mereka semua cukup memakan waktu dan energi --yang seharusnya saya pake buat ngerjain skripsi.


Yak, ketiga buku di atas, semuanya sama-sama mantap dan waw dengan caranya masing-masing. Mau nggak mau kita dipaksa ikut mikir dan selalu tercengang pada akhirnya, entah karena bangga bahwa deduksi kita nyerempet-nyerempet dikit, atau karena deduksi kita sama sekali meleset dan yang terjadi bener-bener di luar apa yang mampu kita pikirkan. These books (I'll say it once again) are very delicious until the very last bite! 

Komentar