Langsung ke konten utama

Narcolepsy: what and how?

Kamu pasti pernah memaksa diri sendiri untuk tetap terjaga, mungkin waktu nyetir, tengah kuliah panjaang yang membosankan, atau waktu ngerjain tugas deadline sampe tengah malem. Kamu bilang sama diri sendiri, ayo melek dulu, jangan bobok dulu, aduh ngantuk banget tapi jangan tidur sekarang!

et et ngantuk bgt dah
source: giphy.com

Saat itu, kamu sebenernya sedang mengontrol siklus tidur-terjagamu (sleep-wake cycle). Kamu tahu sekarang bukan waktunya tidur, jadi kamu berusaha untuk tetap melek. Kamu bisa menyadari bahwa kamu ngantuk dan mengendalikan tubuhmu untuk tetap terjaga sampai waktunya kamu bisa benar-benar tertidur. Nah, ada sebuah gangguan, dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengontrol siklus tidur-terjaga ini, dan gangguan itu disebut narkolepsi. Batas-batas normal antara tidur dan terjaga jadi kabur, menyebabkan munculnya karakteristik tidur terjadi saat orang itu benar-benar terjaga.  

Kok bisa?

Dalam otak kita ada sekelompok neuron (sel saraf) khusus yang tugasnya membantu kita meningkatkan keterjagaan. Neuron ini tersebar dari hipotalamus lateral ke berbagai bagian otak seperti Reticular Activating System (RAS). Sayangnya, orang dengan narkolepsi punya lebih sedikit neuron perangsang ini dibanding orang kebanyakan, dan setiap neuronnya membawa lebih sedikit neuropeptida orexin A dan B, atau bisa disebut juga hipokretin 1 dan 2.

Apa lagi sih, neuropeptida?

Setiap neuron punya molekul-molekul protein kecil (peptida) yang tugasnya mengirimkan sinyal dari satu neuron ke neuron lain. Ada banyak macam dan tugasnya, salah satunya adalah orexin/hipokretin yang bertugas untuk menjaga kesadaran agar kita tetap terjaga dan awas. Selain itu dia juga bertugas mencegah transisi yang nggak tepat ke kondisi tidur. Ketika kadar orexin rendah, gejala gangguan tidur akan muncul dan mengganggu kondisi terjaga seseorang.

Gejala narkolepsi biasanya baru muncul di usia remaja atau dewasa awal, dan ditandai dengan 2 gejala kunci:

Pertama, serangan kantuk yang parah di siang hari, dimana orang dengan narkolepsi bisa makgliyut kesirep, tiba-tiba ketiduran dengan sedikit atau bahkan tanpa tanda-tanda sama sekali, biasanya dengan cara yang nggak tepat. Kalau orang kebanyakan bisa merasakan ketika mereka mengantuk dan mau tidur, orang dengan narkolepsi bisa jadi langsung ketiduran hanya setelah merasa ngantuk sebentar atau bahkan tanpa kantuk sama sekali. Gliyut. Lho, tiba-tiba dah kesirep. Dan ini bisa terjadi dalam kondisi apa saja: tengah duduk mendengarkan kuliah, menunggu antrian, sedang ngobrol langsung atau di telepon, tengah mengunyah makanan, bahkan mengemudi. Sebenernya orang dengan narkolepsi biasanya tidur hanya sekitar 1 jam lebih lama dari rata-rata, tapi yang paling mendefinisikan kondisi mereka adalah ketidaksesuaian momen datangnya episode-episode tidur ini. Bisa anytime and anywhere, alias sakwayah-wayah dan saknggon-nggon.

Normalnya, waktu yang dibutuhkan seseorang untuk berpindah dari keadaan terjaga sepenuhnya hingga tertidur adalah 10-20 menit. Waktu ini disebut latensi tidur. Sedangkan orang dengan narkolepsi bisa jatuh tertidur dengan sangat cepat alias mereka memiliki latensi tidur yang pendek, rata-rata cuma 2-5 menit. Bahasa gampangnya pelor alias nempel langsung molor. Nggak perlu lama-lama memposisikan diri, tau-tau udah molor aja.

Begitu juga dengan perbedaan latensi tidur REM, dimana normalnya seseorang butuh waktu 50-150 menit untuk sampai di tahap tidur REM, orang dengan narkolepsi cuma butuh waktu sekitar 5-15 menit aja.

Tunggu dulu, emangnya tidur ada tahap-tahapnya? Tidur REM itu apa lagi?

Singkatnya, ada 5 tahap yang dilalui seseorang selama dia tidur. Tahap 1 dan 2 NREM (non rapid eye movement) adalah tahap tidur ringan. Di tahap 1, kita sedang dalam transisi dari terjaga ke tidur, masih kliyep-kliyep tidur ayam. Tubuh mulai rileks, tapi masih gampang terbangun karena gangguan suara-suara di sekitar. Masuk ke tahap 2 NREM, ketika denyut jantung dan napas melambat, kini kita butuh stimulus yang lebih kuat untuk bisa terbangun. Tubuh kita sedang siap-siap untuk tidur nyenyak. Tahap ini bisa mencapai 45-55% dari keseluruhan episode tidur malam kita.

Tahap 3 dan 4 NREM adalah tahap tidur dalam (deep sleep), dimana pertumbuhan otot dan perbaikan sel-sel tubuh terjadi. Di tahap 3 yang hanya berlangsung sebentar, gelombang otak kita akan semakin melambat. Lalu memasuki tahap 4, yang biasanya berlangsung selama 20-40 menit di siklus pertama dan membentuk 10-15% dari keseluruhan waktu tidur kita. Di tahap ini kita akan sulit dibangunkan dan biasanya mengalami disorientasi alias bingung kalau tiba-tiba terbangun. Tahap ini adalah tahap tidur terdalam kita.

Kemudian masuk ke tahap tidur REM (rapid eye movement), kita mengalami peningkatan aktivitas: detak jantung dan napas yang semakin cepat, gerakan mata yang agresif dan cepat, juga peningkatan aktivitas otak ditandai dengan munculnya mimpi. Setelah kira-kira 10 menit di tahap ini, otak akan kembali mengulangi siklus tidur dari tahap nonREM.

Begitulah dalam semalam, tubuh kita bisa mengalami 4-5 kali siklus di atas, dengan proporsi tidur NREM lebih banyak di awal, sedangkan di siklus selanjutnya akan lebih didominasi oleh tahap tidur REM.

Kembali lagi ke gejala orang dengan narkolepsi. Ketika normalnya orang sehat membutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk sampai di tahap tidur REM, orang dengan narkolepsi bisa langsung melompat ke tahap tidur REM kurang dari 5 menit sejak jatuh tertidur. Makanya mereka bisa mengalami mimpi yang jelas walaupun kayaknya baru tidur sebentar.

Gejala kedua yang paling umum dari narkolepsi adalah munculnya cataplexy, kelumpuhan otot mendadak yang biasanya dipicu oleh emosi yang kuat, bisa positif seperti senang dan tawa, atau negatif seperti marah dan takut. Otot yang mendadak lumpuh atau lemah ini biasanya parsial (terjadi hanya di wajah, leher, atau lutut aja) namun nggak menutup kemungkinan dalam episode yang parah menyebabkan kelumpuhan tubuh total, sampai jatuh pingsan. Biasanya gejala katapleksi ini akan hilang sendiri dalam beberapa menit.

Selain 2 gejala utama itu, orang dengan narkolepsi biasanya mengalami 3 gejala lain, hypnagogic dan hypnopompic hallucinations, dan sleep paralysis. Hypnagogic hallucinations adalah halusinasi yang terjadi saat seseorang tertidur, terasa jelas dan menakutkan, bisa berupa visual, auditori, atau sentuhan (taktil). Halusinasi ini mungkin terjadi karena bercampurnya kesadaran dan mimpi dalam tahap tidur REM yang tiba-tiba. Sama dengan hypnopompic hallucinations, cuma bedanya yang satu ini terjadi saat seseorang baru bangun tidur. Sedangkan yang terakhir adalah sleep paralysis, dimana terjadi kelumpuhan otot atau ketidakmampuan untuk bergerak saat seseorang baru aja tertidur atau sesaat setelah bangun tidur. Biasanya sleep paralysis ini terjadi bebarengan dengan halusinasi hipnogogik atau hipnopompik, menyebabkan sensasi yang lebih menakutkan lagi, atau bekennya biasa kita sebut dengan istilah ketindihan. Bayangin aja halusinasi auditori denger suara ketawa kuntilanak, atau halusinasi visual liat laba-laba besar di pojokan kamar, tapi badan kita nggak bisa digerakin jadi nggak bisa lari kemana-mana.

Yak, tapi memang sebenernya begitulah cara tubuh kita bekerja untuk melindungi kita. Seperti yang udah disinggung sebelumnya, di tahap tidur REM ini otak kita aktif, tapi tubuh kita dibuat lumpuh sementara untuk menghindari cedera akibat respon tiba-tiba terhadap mimpi, seperti tiba-tiba lari atau lompat.

Nggak semua orang dengan narkolepsi mengalami seluruh gejala yang udah disebutkan di atas. Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), diagnosis narkolepsi bisa ditegakkan dengan kriteria utama adanya periode berulang dari kebutuhan yang tak tertahankan untuk tidur, pingsan, atau tidur siang, yang terjadi setidaknya tiga kali seminggu selama 3 bulan terakhir. Kriteria kedua adalah munculnya salah satu dari 3 gejala: katapleksi; defisiensi hipokretin; atau hasil PSG (polysomnography) tidur malam menunjukkan latensi tidur REM < 15 menit atau hasil MSLT (multiple sleep latency test) menunjukkan rata-rata lantensi tidur < 8 menit.

Jadi, seseorang bisa didiagnosis narkolepsi meskipun dia nggak mengalami katapleksi, atau mengalami katapleksi tapi nggak mengalami defisiensi hipokretin.  

 

Oke kayaknya sampe disini saya dah nulis kepanjangan. 

Jadi,

Jika sepanjang kamu baca tulisan di atas kamu ngerasa relate (ya ampun ini aku banget, heh aku juga kayak gini) atau kamu kebayang seseorang yang kayaknya struggling dengan masalah yang sama (ih si A kayaknya kaya gini deh, lho si B kan juga suka tiba-tiba ketiduran sampe bahaya gitu), dan sampai menimbulkan masalah atau mengurangi keberfungsian sehari-hari, saya rasa cukup bijaksana untuk mulai mempertimbangkan bertemu atau mencari pertolongan profesional.

That’s okay. Nggak perlu ngerasa malu. Nggak perlu ngerasa halah gitu doang aja periksa?

Kesulitan yang dialami orang dengan narkolepsi itu valid, nyata, dan berhak mendapatkan penanganan profesional :) Apakah prosesnya sulit? Nggak juga kok, kamu bisa baca pengalaman saya di sini.

Terakhir, semoga kita semua selalu bahagia dan sehat lahir batin!

---

*Tulisan ini dibuat sebagai ikhtiar belajar memahami diri sendiri.

**Referensi

Video Osmosis: Narcolepsy

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5)

 Pienel & Barnes. (2018). Biopsychology. Columbia, USA: Pearson.

Kushida. (2013). Encyclopedia of Sleep. London, UK: Academic Press.

Komentar