Kamu pasti pernah memaksa diri sendiri untuk tetap terjaga, mungkin waktu nyetir, tengah kuliah panjaang yang membosankan, atau waktu ngerjain tugas deadline sampe tengah malem. Kamu bilang sama diri sendiri, ayo melek dulu, jangan bobok dulu, aduh ngantuk banget tapi jangan tidur sekarang!
Saat itu, kamu sebenernya sedang mengontrol siklus tidur-terjagamu
(sleep-wake cycle). Kamu tahu sekarang bukan waktunya tidur, jadi kamu
berusaha untuk tetap melek. Kamu bisa menyadari bahwa kamu ngantuk dan mengendalikan
tubuhmu untuk tetap terjaga sampai waktunya kamu bisa benar-benar tertidur. Nah,
ada sebuah gangguan, dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengontrol
siklus tidur-terjaga ini, dan gangguan itu disebut narkolepsi. Batas-batas
normal antara tidur dan terjaga jadi kabur, menyebabkan munculnya karakteristik
tidur terjadi saat orang itu benar-benar terjaga.
Kok bisa?
Dalam otak kita ada sekelompok neuron (sel saraf) khusus
yang tugasnya membantu kita meningkatkan keterjagaan. Neuron ini tersebar dari
hipotalamus lateral ke berbagai bagian otak seperti Reticular Activating System
(RAS). Sayangnya, orang dengan narkolepsi punya lebih sedikit neuron perangsang
ini dibanding orang kebanyakan, dan setiap neuronnya membawa lebih sedikit
neuropeptida orexin A dan B, atau bisa disebut juga hipokretin 1 dan 2.
Apa lagi sih, neuropeptida?
Setiap neuron punya molekul-molekul protein kecil (peptida) yang
tugasnya mengirimkan sinyal dari satu neuron ke neuron lain. Ada banyak macam
dan tugasnya, salah satunya adalah orexin/hipokretin yang bertugas untuk
menjaga kesadaran agar kita tetap terjaga dan awas. Selain itu dia juga
bertugas mencegah transisi yang nggak tepat ke kondisi tidur. Ketika kadar orexin
rendah, gejala gangguan tidur akan muncul dan mengganggu kondisi terjaga
seseorang.
Gejala narkolepsi biasanya baru muncul di usia remaja atau
dewasa awal, dan ditandai dengan 2 gejala kunci:
Pertama, serangan kantuk yang parah di siang hari,
dimana orang dengan narkolepsi bisa makgliyut kesirep, tiba-tiba ketiduran
dengan sedikit atau bahkan tanpa tanda-tanda sama sekali, biasanya dengan cara
yang nggak tepat. Kalau orang kebanyakan bisa merasakan ketika mereka mengantuk
dan mau tidur, orang dengan narkolepsi bisa jadi langsung ketiduran hanya setelah
merasa ngantuk sebentar atau bahkan tanpa kantuk sama sekali. Gliyut. Lho,
tiba-tiba dah kesirep. Dan ini bisa terjadi dalam kondisi apa saja: tengah
duduk mendengarkan kuliah, menunggu antrian, sedang ngobrol langsung atau di
telepon, tengah mengunyah makanan, bahkan mengemudi. Sebenernya orang dengan
narkolepsi biasanya tidur hanya sekitar 1 jam lebih lama dari rata-rata, tapi
yang paling mendefinisikan kondisi mereka adalah ketidaksesuaian momen datangnya
episode-episode tidur ini. Bisa anytime and anywhere, alias sakwayah-wayah
dan saknggon-nggon.
Normalnya, waktu yang dibutuhkan seseorang untuk berpindah dari
keadaan terjaga sepenuhnya hingga tertidur adalah 10-20 menit. Waktu ini
disebut latensi tidur. Sedangkan orang dengan narkolepsi bisa jatuh tertidur
dengan sangat cepat alias mereka memiliki latensi tidur yang pendek, rata-rata
cuma 2-5 menit. Bahasa gampangnya pelor alias nempel langsung molor.
Nggak perlu lama-lama memposisikan diri, tau-tau udah molor aja.
Begitu juga dengan perbedaan latensi tidur REM, dimana normalnya
seseorang butuh waktu 50-150 menit untuk sampai di tahap tidur REM, orang
dengan narkolepsi cuma butuh waktu sekitar 5-15 menit aja.
Tunggu dulu, emangnya tidur ada tahap-tahapnya? Tidur REM
itu apa lagi?
Singkatnya, ada 5 tahap yang dilalui seseorang selama dia
tidur. Tahap 1 dan 2 NREM (non rapid eye movement) adalah tahap tidur
ringan. Di tahap 1, kita sedang dalam transisi dari terjaga ke tidur, masih kliyep-kliyep
tidur ayam. Tubuh mulai rileks, tapi masih gampang terbangun karena gangguan
suara-suara di sekitar. Masuk ke tahap 2 NREM, ketika denyut jantung dan napas
melambat, kini kita butuh stimulus yang lebih kuat untuk bisa terbangun. Tubuh
kita sedang siap-siap untuk tidur nyenyak. Tahap ini bisa mencapai 45-55% dari keseluruhan
episode tidur malam kita.
Tahap 3 dan 4 NREM adalah tahap tidur dalam (deep sleep),
dimana pertumbuhan otot dan perbaikan sel-sel tubuh terjadi. Di tahap 3 yang
hanya berlangsung sebentar, gelombang otak kita akan semakin melambat. Lalu memasuki
tahap 4, yang biasanya berlangsung selama 20-40 menit di siklus pertama dan membentuk
10-15% dari keseluruhan waktu tidur kita. Di tahap ini kita akan sulit
dibangunkan dan biasanya mengalami disorientasi alias bingung kalau tiba-tiba terbangun.
Tahap ini adalah tahap tidur terdalam kita.
Kemudian masuk ke tahap tidur REM (rapid eye movement),
kita mengalami peningkatan aktivitas: detak jantung dan napas yang semakin
cepat, gerakan mata yang agresif dan cepat, juga peningkatan aktivitas otak
ditandai dengan munculnya mimpi. Setelah kira-kira 10 menit di tahap ini, otak
akan kembali mengulangi siklus tidur dari tahap nonREM.
Begitulah dalam semalam, tubuh kita bisa mengalami 4-5 kali
siklus di atas, dengan proporsi tidur NREM lebih banyak di awal, sedangkan di siklus
selanjutnya akan lebih didominasi oleh tahap tidur REM.
Kembali lagi ke gejala orang dengan narkolepsi. Ketika normalnya
orang sehat membutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk sampai di tahap tidur REM,
orang dengan narkolepsi bisa langsung melompat ke tahap tidur REM kurang
dari 5 menit sejak jatuh tertidur. Makanya mereka bisa mengalami mimpi yang jelas
walaupun kayaknya baru tidur sebentar.
Gejala kedua yang paling umum dari narkolepsi adalah
munculnya cataplexy, kelumpuhan otot mendadak yang biasanya dipicu
oleh emosi yang kuat, bisa positif seperti senang dan tawa, atau negatif
seperti marah dan takut. Otot yang mendadak lumpuh atau lemah ini biasanya parsial
(terjadi hanya di wajah, leher, atau lutut aja) namun nggak menutup kemungkinan
dalam episode yang parah menyebabkan kelumpuhan tubuh total, sampai jatuh pingsan.
Biasanya gejala katapleksi ini akan hilang sendiri dalam beberapa menit.
Selain 2 gejala utama itu, orang dengan narkolepsi biasanya
mengalami 3 gejala lain, hypnagogic dan hypnopompic hallucinations, dan
sleep paralysis. Hypnagogic hallucinations adalah halusinasi yang terjadi
saat seseorang tertidur, terasa jelas dan menakutkan, bisa berupa visual,
auditori, atau sentuhan (taktil). Halusinasi ini mungkin terjadi karena bercampurnya
kesadaran dan mimpi dalam tahap tidur REM yang tiba-tiba. Sama dengan hypnopompic
hallucinations, cuma bedanya yang satu ini terjadi saat seseorang baru bangun
tidur. Sedangkan yang terakhir adalah sleep paralysis, dimana terjadi kelumpuhan
otot atau ketidakmampuan untuk bergerak saat seseorang baru aja tertidur atau sesaat
setelah bangun tidur. Biasanya sleep paralysis ini terjadi bebarengan dengan
halusinasi hipnogogik atau hipnopompik, menyebabkan sensasi yang lebih
menakutkan lagi, atau bekennya biasa kita sebut dengan istilah ketindihan.
Bayangin aja halusinasi auditori denger suara ketawa kuntilanak, atau
halusinasi visual liat laba-laba besar di pojokan kamar, tapi badan kita nggak
bisa digerakin jadi nggak bisa lari kemana-mana.
Yak, tapi memang sebenernya begitulah cara tubuh kita
bekerja untuk melindungi kita. Seperti yang udah disinggung sebelumnya, di
tahap tidur REM ini otak kita aktif, tapi tubuh kita dibuat lumpuh sementara
untuk menghindari cedera akibat respon tiba-tiba terhadap mimpi, seperti tiba-tiba
lari atau lompat.
Nggak semua orang dengan narkolepsi mengalami seluruh gejala
yang udah disebutkan di atas. Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders), diagnosis narkolepsi bisa ditegakkan dengan kriteria
utama adanya periode berulang dari kebutuhan yang tak tertahankan untuk tidur,
pingsan, atau tidur siang, yang terjadi setidaknya tiga kali seminggu selama 3
bulan terakhir. Kriteria kedua adalah munculnya salah satu dari 3 gejala:
katapleksi; defisiensi hipokretin; atau hasil PSG (polysomnography) tidur malam
menunjukkan latensi tidur REM < 15 menit atau hasil MSLT (multiple
sleep latency test) menunjukkan rata-rata lantensi tidur < 8
menit.
Jadi, seseorang bisa didiagnosis narkolepsi meskipun dia
nggak mengalami katapleksi, atau mengalami katapleksi tapi nggak mengalami defisiensi
hipokretin.
Jadi,
Jika sepanjang kamu baca tulisan di atas kamu ngerasa relate
(ya ampun ini aku banget, heh aku juga kayak gini) atau kamu kebayang
seseorang yang kayaknya struggling dengan masalah yang sama (ih si A
kayaknya kaya gini deh, lho si B kan juga suka tiba-tiba ketiduran sampe bahaya
gitu), dan sampai menimbulkan masalah atau mengurangi keberfungsian sehari-hari,
saya rasa cukup bijaksana untuk mulai mempertimbangkan bertemu atau mencari
pertolongan profesional.
That’s okay. Nggak perlu ngerasa malu. Nggak perlu ngerasa halah
gitu doang aja periksa?
Kesulitan yang dialami orang dengan narkolepsi itu valid,
nyata, dan berhak mendapatkan penanganan profesional :) Apakah prosesnya sulit?
Nggak juga kok, kamu bisa baca pengalaman saya di sini.
Terakhir, semoga kita semua selalu bahagia dan sehat lahir batin!
---
*Tulisan ini dibuat sebagai ikhtiar belajar memahami diri
sendiri.
**Referensi
Video Osmosis: Narcolepsy
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-5)
Pienel &
Barnes. (2018). Biopsychology. Columbia, USA: Pearson.
Kushida. (2013). Encyclopedia of Sleep. London, UK:
Academic Press.
Komentar
Posting Komentar