Langsung ke konten utama

I'm a sleepyhead and that's okay

I am a sleepyhead and that's okay: a self-acceptance journal of narcolepsy

Here we go again. 

Saya mengetik random things sambil menunggu antrian bersama pasien lain. Ada banyak antrian yang harus ditunggu: di bagian pendaftaran, asesmen awal dengan perawat, sebelum ketemu dokter, dan akhirnya mengantre lagi di bagian farmasi. Biasanya antriannya panjang dan lama, saya jadi punya banyak waktu untuk berpikir. 

Oh ya. Tiap bulan saya harus kontrol ke spesialis saraf di rumah sakit untuk mendapatkan obat hingga sebulan berikutnya. Sakit apa? Well, it's a long story to tell and this note is about me trying to accept and being okay with myself having this. Catatan ini udah jadi arsip setelah sekian lama, selalu bertambah beberapa paragraf tiap saya kontrol di bulan berikutnya, makanya jadi sepanjang ini. Sembari mengetik, saya mengumpulkan potongan-potongan keberanian, penerimaan diri, rasa syukur, apapun yang bisa saya lakukan agar saya merasa lebih baik dengan fakta ini. Sejujurnya, setelah semuanya selesai ditulis, dada saya terasa sedikit lebih longgar.

And who knows maybe someone is fighting the same battle out here? Maybe this note won't help so much, but honestly, who cares? Catatan ini saya tulis lebih untuk diri saya sendiri daripada untuk orang lain. Orang yang paling saya harap untuk mengerti, percaya, mendukung, dan menerima saya seutuhnya adalah diri saya sendiri. Iya, kan? Saya nggak bisa mengharapkan orang lain untuk mengerti kalau bahkan saya sendiri belum yakin.

Jadi gini...

Bukan sekali dua kali. Sering sekali saya terbangun dan menemukan bolpen saya membuat garis-garis belepotan di kitab. Orang-orang di sekitar saya tertawa tertahan, saya meringis pada salah satu di antara mereka dan bilang makasih karena udah dibangunkan. Saya meraih permen di saku (entah udah permen keberapa untuk malam itu) dan mengunyahnya demi mempertahankan kesadaran. Saya ketiduran lagi di tengah ngaji bandongan kitab malam ini. Seperti ngaji tadi sore. Dan tadi siang. Dan ngaji di hari-hari sebelumnya.

*sigh*

Emang perkara ketiduran ini kayak nggak ada habisnya. Mau gimanapun saya berusaha, saya akan kembali menemukan diri saya terbangun bahkan tanpa tau kapan saya mulai ketiduran. Well ketika saya bilang ketiduran disini, yang saya maksud benar-benar nggak sengaja jatuh tidur, hilang kesadaran, kadang-kadang bahkan nggak didahului dengan ngantuk, lalu tau-tau saya terbangun dan bingung, sejak kapan aku tidur?

Perkara ketiduran ini udah dimulai sejak SMP dan makin menyusahkan begitu masuk SMA dan kuliah. Dulu waktu SMP mungkin baru tidur-tidur biasa waktu kelas dan ulangan. Atau ketiduran di angkot. Bahkan saya juga ketiduran saat lomba seleksi OSN. Hahaha.

Waktu SMA melanjutkan ke pondok pesantren, ketiduran saya semakin menjadi-jadi, karena jadwal sekolah dan pondok yang cukup padat membuat beberapa dari kami nggak mendapatkan waktu tidur yang cukup, jadi ketiduran di kelas atau saat ngaji kitab nggak terasa dosa-dosa amat. Santri mana yang nggak pernah ketiduran waktu ngaji? Hahaha. Nggak apa-apa, dima'fu. Calling for my santri fellas out here, kalian pasti pernah ketiduran juga, kan? 

Cuma mungkin frekuensi dan intensitas ketiduran saya sedikit lebih banyak dibanding temen-temen lain. Buat saya, dibangunkan guru atau temen dan waktu melek diliatin orang sekelas lalu diketawain udah jadi pengalaman biasa. Alias iya lah malu, tapi bukan sekali dua kali ini jadi yaudah lah ya. Bahkan waktu kelas 12 saya pernah lagi tanya soal matematika ke Bu Ailin, di tengah-tengah beliau menjelaskan langsung ke saya, saya tiba-tiba makgliyut tidur. Wajah kaget Bu Ailin waktu itu masih keinget sampai sekarang. "Ya Allah Yasmin! Kamu tidur, ta?! Ya Allah!"

Maaf, Bu Ailin:(

Saya bukannya bodo amat dengan penjelasan guru di kelas atau nggak berusaha tetep melek, ya. Saya udah coba macam-macam, mulai dari wudhu atau cuci muka (yang kemudian saya bisa ketiduran lagi dengan muka yang masih basah), makan permen atau kacang (dan saya bisa ketiduran lagi dengan kacang setengah terkunyah di dalam mulut), ngolesin freshcare ke sekitar mata (akhirnya malah saya nggak bisa melek karena pedes banget woi tulung), sampai berusaha menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas nggak jelas, belum ada yang bener-bener efektif membuat saya tetap terjaga. Orang-orang jadi dengan mudah mengasosiasikan yasmin dengan "ngantukan" atau "tukang tidur". Waktu itu sih saya buat santai aja, toh emang saya tukang ketiduran.

Setelah lulus SMA dan lanjut kuliah ke Solo, ternyata perkara ketiduran ini nggak menunjukkan tanda-tanda membaik alias sama aja. Tapi kali ini temen-temen sekelas saya nggak ada yang tukang tidur juga, jadi saya sendirian ketiduran di kelas. Tapi untungnya, saya bersyukur banget satu kelas dengan para calon psikolog kayak mereka. Emang di satu setengah tahun pertama, mereka hobi banget menjadikan saya yang ketiduran dengan kepala berayun-ayun sebagai konten instastory mereka, dan membiarkan saya terlelap sampai kuliah selesai. Tapi sejak saya cerita bahwa ketiduran itu nggak disengaja dan saya butuh bantuan mereka untuk membangunkan saya, mereka jadi sangat suportif. Sebenernya terharu juga kalau diingat-ingat. Siapapun yang duduk di sebelah atau di belakang saya otomatis jadi punya tugas tambahan untuk mencolek, menepuk pundak, ngejiwitin, sampe ngaplok saya demi nggak ketauan dosen kalo saya ketiduran. Rupanya saya ngerepotin juga ya. Hehe. Untungnya temen-temen saya adalah orang-orang yang belajar psikologi, saya nggak perlu extra effort menjelaskan karena mereka bisa dengan mudah mengerti. 

Semester 4, saya mendapatkan kuliah Psikologi Abnormal dan what a coincidence, dalam pembagian tugas presentasi kelompok saya kebagian bab Gangguan Makan, Obesitas, dan Gangguan Tidur. Tentu saja saya menggarap bagian gangguan tidur. Dalam proses pengerjaannya saya jadi banyak belajar, ternyata gangguan tidur nggak cuma insomnia aja. Ada hipersomnia, narkolepsi, somnambulansi, sleep apnea, dan kawan-kawan. Waw. Sambil membaca gejalanya satu persatu, saya mulai self-asses tipis-tipis, dan mendapatkan gambaran umum bahwa beberapa gejala saya cocok dengan gejala hipersomnia.

Waktu presentasi, tiba di bagian narkolepsi saya menyertakan sebuah video 'what narcolepsy really looks like' dan seorang teman di kelas nyeletuk bahwa mungkin saja saya narkolepsi. Then we were laughing. Jahat banget sih, aku nggak separah itu kali. Lalu saya menepis bahwa narkolepsi biasanya disertai dengan katapleksi, kelumpuhan otot sementara dan tiba-tiba, dimana hal ini membuat orang dengan narkolepsi bisa tiba-tiba jatuh gedebuk tertidur bahkan di tengah aktivitas fisik seperti senam atau jalan-jalan, dan biasanya gejala ini dipicu oleh reaksi emosional seperti terlalu sedih, kaget, terlalu senang. Gejala lain yang mencolok adalah adanya halusinasi hipnogogik atau hipnopompik, halusinasi yang terjadi sesaat sebelum jatuh tertidur atau sesaat akan bangun tidur, disebabkan tahapan tidur REM yang abnormal. Thank God these symptoms never come to me, and that's why I never actually consider myself having narcolepsy. 

Dan di semester ini pula, saya dapet advice dari beberapa dosen untuk coba cari pertolongan profesional, berhubung mereka melihat sleep-attack saya sebagai hal yang sulit saya kendalikan. Ini nih enaknya punya dosen psikolog dan ilmuwan psikologi, they help you not just in academic purpose. I feel soooo blessed.

Maret 2018, setelah pergolakan batin dan beberapa upaya meyakinkan Abi Ibuk, saya akhirnya memeriksakan diri ke dokter spesialis saraf di RSUD. Saya dijadwalkan untuk menjalani EEG (electroenchepalography), semacam tes untuk merekam aktivitas elektrik di otak dengan menempelkan sensor-sensor kecil ke kulit kepala. Ini pertama kalinya saya di EEG dan dengan kabel-kabel menempel di kepala, saya ngerasa kayak mau dicuci otak. Haha.

kira-kira seperti ini
source: google

Dua pekan kemudian hasilnya keluar dan saya didiagnosis absence seizure. Ini artinya otak saya memproduksi gelombang abnormal (epileptik) yang menyebabkan kejang. Disini saya baru belajar bahwa yang dimaksud dengan "kejang" nggak selalu berarti jatuh berkelejatan di lantai dengan mulut berbusa. Orang dengan absence seizure mengalami "kejang" berupa hilang fokus atau konsentrasi singkat, kadang cuma terlihat kayak lagi bengong atau dalam kasus saya, kata dokter, adalah hilangnya kesadaran tiba-tiba kayak ketiduran. Waw. That was new. Saya diresepkan obat (yang sayangnya saya lupa namanya) warna abu2 sebesar satu buku jari kelingking. Jujur aja waktu itu saya takut mau minum. Dokter bilang diobservasi dulu seminggu, apakah cukup efektif dan apakah ada efek samping atau engga. Karena kepo, saya googling nama obat itu dan terkaget-kaget baca indikasi sama efek sampingnya. My bad. Jangan pernah percaya apa kata google lebih dari apa kata dokter. Karena setelah itu saya jadi ragu, begitu juga dengan Ibuk, lalu saya memutuskan untuk nggak perlu minum obat dulu. Lagipula saya udah terbiasa ketiduran dimana-mana, saya masih bisa melanjutkan hidup dengan gangguan ini, pikir saya waktu itu. Ibuk pun bilang mungkin kita cari second opinion dulu biar yakin. Okay. Saya pun melanjutkan hidup seperti sebelumnya, masih tetep ngantukan, tapi kali ini dengan pengetahuan baru bahwa sleep-attack saya terjadi bukan semata-mata karena time and self-management saya yang buruk, tapi juga karena ada sesuatu dari otak saya yang nggak bisa saya kendalikan.

Did that even give any difference? Oh yea.. I didn't push myself too hard like I used to before, and it became easier to forgive myself when something bad happened because of my sleepiness.

Tapi dengan kesadaran ini, lama-kelamaan saya ngerasa bersalah karena nggak melakukan upaya apapun sementara simptom-simptomnya nggak menunjukkan perubahan baik. Saya ketiduran saat ngunyah makanan, di tengah-tengah rapat, dan bahayanya: waktu naik sepeda motor. Selain bahwa saya beberapa kali hampir njungkel di boncengan belakang, waktu menyetir pun masih sempet-sempetnya nggliyut. Untung nggak sampe bener-bener jatuh. Lalu akhirnya, saat magang di RSJ pertengahan 2019, sebulan di rumah membuat Abi Ibuk punya banyak kesempatan mengobservasi saya dan puncaknya, pada suatu siang di meja makan, kami lagi enak-enak ngobrol sambil makan siang dan tiba-tiba saya ketiduran. Ibuk kaget, Abi kaget, saya juga makjenggirat kaget. That was the point when I realized I have to do something. Again. And seriously.

Bulan Agustus 2019 akhirnya saya memutuskan untuk kembali memeriksakan diri, kali ini ke rumah sakit berbeda demi dapat second opinion. Saya dirujuk ke RSJD Magelang, diperiksa EEG sekali lagi dan whops, kali ini nggak ada gelombang epileptik yang muncul. Dokter bilang ini kasus langka dan harus dirujuk ke RS Sardjito di Jogja karena alat disana lebih lengkap dan ada dokter konsultan spesialis gangguan tidur. Bahkan Sardjito punya subpoli sendiri untuk gangguan tidur. Mantap.

Begitu ke Sardjito, saya dijadwalkan untuk menjalani pemeriksaan PSG (polisomnografi) dan MSLT (multiple sleep latency test) karena ada indikasi narkolepsi. Karena alat terbatas sedangkan pasien yang perlu melakukan pemeriksaan ada banyak, saya baru bisa melakukan PSG dan MSLT bulan depannya, tanggal 20 September 2019. Sebelum masuk ruang periksa, saya ditempatkan dulu di bangsal khusus saraf. Baru sekitar jam 8 atau 9 malam kalau nggak keliru, saya dibawa ke ruang pemeriksaan di bagian elektromedik. PSG kurang lebih sama dengan EEG, cuma kali ini ada lebih banyak kabel. Kalau EEG cukup di kepala aja, PSG juga memasang elektroda di dada, lengan, telunjuk, perut, bahkan kaki. Karena selain merekam gelombang otak, PSG juga merekam kadar oksigen dalam darah, denyut jantung, pergerakan kaki dan tangan selama tidur. Saya bahkan udah ketiduran sebelum pemeriksaan dimulai karena pemasangan alat PSG butuh waktu lama.

kurang lebih seperti ini, cuma lebih banyak kabel di kulit kepala juga
source: google

Setelah seperangkat alat terpasang dengan benar, saya diminta tidur seperti biasa. Awalnya saya agak waswas takut kalau-kalau dengan banyak kabel centang perenang di tubuh saya, saya jadi grogi dan nggak bisa tidur seperti biasa. Tapi tentu aja ketakutan saya percuma karena saya langsung lepas landas begitu kena bantal. Tau-tau saya dibangunkan perawat jam setengah 6 pagi, alat-alat dilepas, dan saya dibawa kembali ke bangsal.

Sekitar jam 9 atau 10 siang kalau nggak salah, saya dibawa kembali ke ruang pemeriksaan elektromedik untuk menjalani MSLT. Sama, alat-alat dipasang dan saya diminta tidur berbaring selama 30 menit, nanti saya dibangunkan dan harus tetap terjaga selama 2 jam, lalu tidur lagi 30 menit, lalu dibangunkan lagi, begitu seterusnya sampai 5 kali. Baiklah. Sepertinya tetap terbangun selama 2 jam nggak susah-susah amat. MSLT pun berjalan lancar, saya pulang.

Hasil PSG dan MSLT baru bisa saya terima di bulan Desember karena hasilnya panjang sekali jadi proses pembacaannya butuh waktu lama.



Hasil PSG menunjukkan bahwa persentase tidur nyenyak dan tidur REM saya sangat kecil. Tapi alhamdulillah nggak ada gangguan pernafasan atau detak jantung. 



Hasil MSLT menunjukkan bahwa dari 5x siklus tidur siang yang direkam, saya cuma membutuhkan waktu 1-5 menit dari pertama rebahan sampai jatuh tidur. Bahasa mudahnya: saya pelor alias begitu nempel bantal langsung molor. Mau udah tidur berapa jam juga kalo nempel bantal tetep bakal tidur lagi.

Seperti yang udah diperkirakan dokter, hasil PSG dan MSLT menunjukkan bahwa saya narkolepsi. Saya, yang sebelumnya berusaha belajar dan baca-baca lagi tentang narkolepsi, menanyakan semua keresahan saya ke dokter. Untunglah beliau mau menjelaskan pelan-pelan dan lembut, sehingga waktu itu saya sama sekali nggak merasa dihakimi atau disepelekan (karena ilmu saya yang masih cetek atau karena terlihat sotoy). Ooh.. Jadi nggak semua narkolepsi selalu disertai gejala katapleksi atau halusinasi. Siklus tidur malam saya nggak normal. Mau berapa lamapun saya tidur, saya nggak banyak menghabiskannya di fase tidur dalam dan REM, hal itulah yang kemudian membuat saya mengalami episode sleep attack di pagi atau siang hari. Sedangkan ketika mengalami sleep attack, saya nggak melalui tahapan tidur 1, 2, 3, dengan benar, tapi langsung loncat ke tahap tidur REM, itulah kenapa saya bisa tiba-tiba ketiduran makgliyut di tengah aktivitas seperti naik motor, ngobrol, atau makan, dan bisa mimpi walaupun cuma tidur berapa menit. Ada yang nggak beres dengan neurotransmitter yang mengatur siklus tidur di otak saya. Ketika otak orang lain bisa menahan kantuk dan memberikan sinyal untuk mempersiapkan tubuh sebelum jatuh tertidur, otak saya nggak. Kurang lebih semacam itu.

Beliau lalu menjelaskan apa saja yang harus saya lakukan demi mencegah efek negatif narkolepsi. Karena kaitannya dengan otak, obat aja nggak akan cukup. Saya harus kasih nutrisi ke otak alias makan bergizi setiap hari dengan teratur (sampai sekarang masih susah banget karena ya gitulah mahasiswa:) harus tidur yang cukup, maksimal tidur jam 9 malam dan harus ada tidur siang maksimal 30 menit. Ini juga susah banget diterapin karena tuntutan tugas dan kegiatan pondok, apalagi kalo tidur siang biasanya gabisa 30 menit doang. Bisa tau-tau bablas sampe ashar:)

Saya diresepkan obat methylpenidate yang harus saya minum setiap hari dalam jangka panjang. Obat ini termasuk jenis stimulan, dia akan merangsang sistem saraf pusat sehingga membantu saya mempertahankan kesadaran di pagi dan siang hari. Narkolepsi ini emang nggak bisa sembuh, tapi bisa ditangani. Bisa diminimalisir efek negatifnya. Nah, disitulah obat ini bekerja.

Suatu hari waktu saya nunggu antrian pengambilan obat setelah pemeriksaan pertama di Sardjito sama Ibuk, saya pernah tanya. Waktu itu kami baru selesai melakukan booking untuk jadwal PSG dan MSLT. Saya, yang mulai menyadari bahwa masalah pertiduran ini jadi semakin serius, tiba-tiba jadi ragu, apakah semua usaha ini benar-benar dibutuhkan? Apa ini nggak berlebihan? Kalau dipikir-pikir, saya cuma sering ketiduran aja di waktu dan tempat yang nggak biasa. Iya, saya emang kesulitan karenanya tapi toh selama ini saya bisa bertahan dan baik-baik aja. Saya cuma perlu berusaha sedikit lebih keras dari orang lain untuk tetap terjaga. Ketiduran nggak lantas membahayakan nyawa saya. Iya sih, saya pernah ketiduran waktu naik motor tapi toh nggak pernah sampai benar-benar jatuh juga, saya selalu bisa segera bangun sebelum benar-benar nggelebak jatuh. Memang kadang-kadang sulit, tapi nyatanya selama ini saya bisa bertahan.

Tapi jawaban Ibuk waktu itu bener-bener bikin saya ayem.

"Sebenernya kenapa sih kita harus selalu jaga kesehatan, Mbak Kik? Kenapa kita mau repot-repot berobat? Karena ketika kita sehat, kita bisa lebih khusyuk ibadah ke Gusti Allah. Repotnya kita jaga kesehatan nggak sebanding sama repotnya ketika kita sakit. Coba sekarang, Mbak Kik sering ketiduran kayak gini sampek naik motor tidur, makan tidur, waktunya kuliah tidur, waktunya ngaji tidur, waktunya dzikir tidur, susah kan? Sekarang mungkin Mbak Kik bisa atasi masalah-masalah kecilnya, tapi apa mau nunggu sampek ada masalah serius baru Mbak Kik mau periksa? Allah kasih penyakit itu selalu sama obatnya. Sekarang ngapain kita repot-repot periksa begini? Ya biar tau sebenernya apa yang salah. Kalau udah ketemu apa yang salah, jadi bisa tau apa solusinya. Kan gitu. Ketika kita dikasih kelapangan sama Allah bisa periksa dan dapet obatnya, kenapa nggak dimanfaatkan? Justru malah jadi kufur. Yang penting niatnya. Mbak Kik juga harus diinget-inget terus, berobat ini niatnya biar bisa sehat, jadi kalau sehat bisa lebih khusyuk ibadahnya."

Sejak itu saya bertekad untuk nggak ragu-ragu lagi buat meneruskan proses pemeriksaan, meskipun belibet dan butuh waktu serta energi ekstra.

Sampai saat ini saya masih menjalani proses pengobatan rutin. Dari kontrol terakhir, Dokter bilang enam bulan lagi saya akan diobservasi ulang untuk melihat perkembangan pengobatan selama ini, yang kemudian nanti akan berpengaruh ke pengobatan selanjutnya, apakah dilanjut seperti sebelumnya, dikurangi, atau ditambah dosisnya.

Meskipun udah minum obat rutin, nggak serta merta membuat saya bisa terus terjaga. Tetep ada banyak episode-episode tidur seperti sebelumnya. Tapi seenggaknya udah ada perkembangan. Kalau sebelumnya saya nggak butuh waktu sepuluh menit untuk mulai ketiduran di kelas, mungkin sekarang saya bisa bertahan sampai 15 menit atau bahkan 30 menit lebih. Kalau sebelumnya saya bisa ketiduran saat tengah-tengah ngobrol sama orang, sekarang saya udah bisa ikut rapat tanpa ketiduran sama sekali. Kalau sebelumnya saya bisa ketiduran waktu nyetir motor, sekarang mungkin saya akan ketiduran waktu dibonceng aja. Nggak apa-apa. Seenggaknya udah ada progres.

Ah ya, sebenernya ada hal yang mengganjal setelah saya menjalani proses panjang pemeriksaan ini. Mengetahui urusan ketiduran dan ngantukan yang selama ini saya kira cuma karena kecapekan atau kurang istirahat ini ternyata adalah sebuah gangguan saraf dan bahkan punya namanya sendiri, bikin saya ngerasa.... different and uneasy. Bahwa ada bagian dari tubuh ini yang nggak bisa saya kendalikan, dan itu adalah otak. Juga bahwa umumnya orang lain nggak begini. Kadang-kadang saya jadi merasa agak berbeda dan sulit.

Tapi kamu tau apa bagian terbaiknya? Setelah berbagai usaha yang pernah saya coba dan belum berhasil, ternyata setelah periksa saya jadi tau ada yang bisa saya lakukan sebagai ikhtiar untuk menanganinya. I got meds. Ya, obat-obat itu emang harus diminum jangka panjang. Tapi sejauh ini belum ada efek samping berarti dan saya bisa merasakan nikmatnya berfungsi optimal di siang hari. Sebelumnya, ngaji atau kuliah full melek adalah sebuah kemewahan dan pencapaian besar buat saya. Tapi sekarang, meskipun masih sering ketiduran juga, tapi udah jauuh lebih mudah untuk mempertahankan kesadaran. This is waaaay better than before. And I feel blessed for this.

Beberapa orang masih ngetawain saya ketika ketiduran waktu ngaji sampe kepala muter-muter. Beberapa orang masih heran dan nanya-nanya (kadang-kadang karena bener-bener penasaran, kadang-kadang agak judgemental juga) kenapa saya sampe periksa ke dokter dan minum obat cuma karena ngantukan, sedangkan mereka kenal orang lain yang ngantukan parah juga tapi masih santai-santai aja. Ya nggak apa-apa. Periksa atau engga, minum obat atau engga, itu kan pilihan masing-masing. Kalau emang sulit dan berat, dan punya kesempatan untuk mendapatkan pertolongan profesional, kenapa engga?

Tapi tetep balik lagi, semuanya kan pilihan masing-masing. Asal udah dipertimbangkan dengan baik dan nggak saling merugikan, nggak ada keputusan yang buruk. Cuma kadang perlu diliat dari sudut pandang yang beda-beda aja, kan.

Yah, this is the end of the story.
Semoga semua orang selalu sehat lahir batin dan bahagia dengan caranya masing-masing. Tapi kalau ada seseorang di luar sana yang sedang menghadapi kesulitan, jangan terlalu memaksakan diri. Mencari atau mendapatkan pertolongan bukan berarti kita lemah, kok. Justru kita belajar kuat dari situ. Mari menjadi dan mencintai diri kita sendiri. Be and love the best version of yourself.

Yes, I am a sleepyhead and that is okay. 

*ps. if you are struggling the same problem and need somebody to share your story with, let me know and feel free to hit my dm:)

Komentar

  1. kisah yang sangat menginspirasi. ini menunjukkan bahwa tidak ada usaha yang sia2, bahwa semua masalah ada solusinya, bahwa setiap penyakit ada obatnya (eventhough in this case, ngga bisa bener2 sembuh, tp bisa diatasi), bahwa hal kecil yg kelihatannya ngga berguna ato ngga worth it ttp selalu ada hikmahnya. i'm with you mbak, we're with you. bismillah, Allah beri kemudahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin, semoga kita semua selalu sehat lahir dan batin yak 🤗💜 terimakasi💜

      Hapus

Posting Komentar