Langsung ke konten utama

kematian selalu begitu dekat

Jarak antara hidup dan kematian ternyata setipis sepersekian detik.

Kemarin banget, saya baru aja melakukan perjalanan pp ke Jogja karena harus kontrol ke salah satu RS di sana. Sebelum berangkat semua orang udah wanti-wanti saya untuk hati-hati. Selain karena perjalanannya nggak deket dan saya ngantukan, juga karena masa pandemi dimana RS yang saya tuju jadi rujukan utama pemeriksaan covid-19 di Jogja.

Singkat cerita semua berjalan baik-baik aja sampai perjalanan pulang dan udah masuk Solo. Leganyaa. Sepanjang jalan sejak berangkat sampai pulang saya nggak berani berhenti sholawatan. Makanya lega banget waktu udah masuk Solo lagi, alhamdulillah hari ini nggak ada kejadian aneh-aneh.

Nah, lalu terjadilah.
Satu perempatan sebelum Solo Square, saya kira udah waktunya belok kiri. Eh, ternyata belum, masih di perempatan depan. Saya minggir ke sebelah kanan, mau ikut ngantri lampu merah. Sayangnya, saya nggak tau kalo di belakang saya ada truk besar. Bokong motor saya nyangkut di bemper truk, saya oleng, lalu jatuh. Saya nggak tau dengan jelas apa yang terjadi setelah itu. Yang saya ingat, saya jatuh bersama motor saya. Saya denger suara motor bergemeretakan terlindas ban truk, saya dan motor saya sempat terseret, truk belum juga berhenti, dan saya menjerit.
Dalam sepersekian detik itu saya pikir, "Abis ini aku mati."

Beberapa detik.
Saya melek dalam posisi tergeletak miring kiri, kaki kiri saya di bawah motor, dan yang saya lihat di depan mata saya adalah pemandangan bagian bawah truk dengan motor saya di bawah ban kanan depan. Yang terlintas di kepala saya waktu itu, "Kayaknya kakiku remuk." Kemudian saya ditarik keluar dari bawah bemper depan truk, dituntun ke pinggir jalan. Barang saya berhamburan.

Puyeng. Kepala saya nyut-nyutan. Saya pusing sekali dan bingung bagaimana caranya saya masih bisa berdiri dan berjalan ke pinggir jalan. Bagaimana bisa tubuh saya masih lengkap. Sampai didudukkan dan diberi minum di depan toko pinggir jalan, saya masih nggak bisa mikir, bisa-bisanya bahkan nggak ada darah mengucur dimana-mana. Saya selamat. Sedangkan motor saya sudah setengah hancur.

Saya ditanya-tanya sesuatu, tapi saya nggak ingat apa itu. Orang-orang bergerombol. Sibuk memeriksa kondisi saya dan motor saya. Kemudian Pak Sopir truk datang bersama kernetnya, dua bapak-bapak bertato dengan wajah garang. Sumpah saya takut. Saya tau saya yang salah. Tapi kemudian Bapak itu mendekat, memeriksa kondisi saya yang ternyata nggak kenapa-kenapa, lalu bilang pada bapak-bapak dan ibu-ibu disana bahwa beliau akan bertanggung jawab penuh.

Hah?

Saya ingat kemarin saya nggak bisa bicara apa-apa selain "nggak papa", "dari jogja", "iya", dan "enggak". Saya baru mengeluarkan HP dan nelfon temen pondok setelah disuruh menghubungi anggota keluarga. Lalu saya cuma diem, ngeliatin motor, megangin kepala dan dengkul kiri yang mulai nyut-nyutan, dan bengong. "Ini beneran aku masih hidup? Beneran nggak kenapa-kenapa?"

Singkat cerita Pak Sopir yang ternyata buaik buanget itu bener-bener tanggung jawab penuh. Beliau mau nganter saya ke rumah sakit (dan segera saya tolak karena saya nggak kenapa-kenapa), mau ngangkutin motor saya ke bengkel, dan bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya perbaikan. Bahkan sampe mau ngasih KTP beliau sebagai jaminan. Nggak ada marah-marah. Nggak ada bentak-bentak. Sama sekali nggak ada namanya nyalahin saya bawa motor ngawur. Gila nggak. Padahal jelas-jelas saya yang salah. Malah waktu saya sesopan mungkin minta maaf dan menolak karena kecelakaan ini kesalahan saya, beliau maksa dengan bilang, "Ndak papa, Mbak. Nggak ada yang salah namanya musibah. Yang penting mbaknya sehat nggak kenapa-napa, masalah motor nggak usah dipikir biar saya aja."

Astaghfirullah. Padahal tadi saya sempat suudzon. Heran banget masih ada orang sebaik itu.

Setelah semua urusan selesai, saya pulang dijemput temen sepondok. Saya masih bisa naik tangga walaupun dengan pincang-pincang sedikit. Setelah saya cek, cuma ada memar-memar di sekujur tubuh dan luka-luka kecil di kaki. Nggak ada luka terbuka. Nggak ada patah tulang. Nggak ada bibir sobek atau gigi patah, seperti terakhir kali saya kecelakaan bulan September lalu. Nggak ada darah menetes-netes. Saya sehat, lengkap. Dan saya takjub dengan kenyataan itu.

Ini bukan kali pertama. Iya, mungkin saya emang ceroboh dan kurang ati-ati. Nggak terhitung berapa kali saya jatuh atau kecelakaan, baik tunggal atau dengan orang lain, dari yang kepleset sendiri di depan fotokopian sampai tabrakan betulan, dari yang akibatnya cuma malu sampai harus jahit bibir dan sambung gigi, saya cukup berpengalaman di bidang kecelakaan motor. Nggak terhitung berapa uang yang sudah keluar untuk biaya bengkel. Nggak terhitung berapa kali saya memar-memar dan pijet karena badan sakit semua setelah kecelakaan. Tapi baru kali ini saya bener-bener merasa begitu dekat dengan kematian.

Saya nggak akan selamat kalau bukan karena pertolongan Allah. Di kepala saya masih berputar-putar berbagai skenario terburuk yang mungkin terjadi kemarin. Coba Allah telatkan kesadaran Pak Sopir untuk mengerem truk 1 detik aja, mungkin badan saya sudah ikut hancur terlindas ban. Telat sepersekian detik, mungkin kaki saya yang hancur. Atau kalau Allah ubah sedikiit aja posisi jatuh saya, kalau Allah tambahkan sedikit aja kecepatan truk, mungkin keseluruhan ceritanya akan sama sekali berbeda. Mungkin saya nggak akan bisa menulis catatan ini sambil rebahan di kamar pondok dengan tenang, cuma butuh koyo dan counterpain, bukannya kruk atau gips.

Sampai saat saya menulis ini, masih terbayang pemandangan yang muncul saat saya pertama kali melek setelah jatuh. Saya di bawah bemper truk. Motor setengah hancur di bawah ban. Astaghfirullah.

Ternyata jarak kematian benar-benar sedekat itu. Setipis itu. Sedikiiiit aja Allah ubah kondisi kemarin, selesai sudah.

Dan kesadaran itu datang.

Dari sekian kali Allah menyelamatkan saya setiap kali kecelakaan, seharusnya jadi pelajaran bagi saya: kamu salah dan Allah kasih sedang kasih kamu kesempatan, yas. Allah bisa ambil nyawa kamu sekarang tapi nyatanya tidak. Dan dengan kesempatan-kesempatan itu, bisa-bisanya kamu masih menyia-nyiakan kemurahhatian Allah?

Bahkan kamu sadar nggak, selamat dari kecelakaan kemarin bukan berarti Allah nggak menyelamatkan kamu di hari-hari lain. Setiap hari, yang rasanya biasa-biasa aja, nggak ada hal spesial, nggak ada kejadian aneh-aneh, sadar nggak kalau di setiap hari itu sebenernya Allah sedang dan selalu menyelamatkanmu? Kamu bisa aja celaka saat naik tangga, kesrimpet rok, lalu jatuh kepentok anak tangga. Kamu bisa aja kepleset di kamar mandi lalu jatuh kejedot bak. Kamu bisa aja lagi enak-enak berangkat kuliah naik motor lalu tiba-tiba ketiduran dan jatuh lalu ketabrak mobil. Kamu bisa aja tiba-tiba keracunan abis jajan pentol pinggir jalan. Kamu bisa aja lagi enak-enak tidur lalu tiba-tiba ada gempa bumi dan kamu ketimbun dinding kamar yang roboh. Bahkan tanpa perlu kejadian khusus luar biasa, Allah bisa banget langsung tarik nyawa kamu sekarang. Banyak hal buruk yang mungkin terjadi setiap hari tapi nyatanya Allah lebih banyak menghindarkan kamu dari skenario-skenario terburuk itu. Kurang baik apa Allah sama kamu, yas?

Kematian itu selalu begitu dekat, yas. Sedekat dan semudah Allah katakan "mati," dan matilah kamu. Bisa-bisanya kamu nggak menyadarinya dan hidup semaumu dari hari ke hari? Kamu sadar nggak yas, setiap detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari, tahun demi tahun yang kamu lewati selama ini, setiap waktunya, adalah kesempatan yang Allah kasih ke kamu untuk bertaubat? Sadar nggak? Allah kasih kamu umur, kasih kamu waktu untuk terus bangun di pagi hari selanjutnya, kasih kamu kesehatan, kelapangan, kemudahan, semuanya Allah kasih ke kamu dari detik demi detik, adalah bentuk kasih sayang Allah ke kamu. Allah sayang sama kamu. Allah Maha Tahu, kamu belum siap. Amal kamu belum cukup. Kebermanfaatanmu masih nol. Allah Maha Tahu kamu belum benar-benar menemukan alasan dan tujuan untuk apa kamu hidup di dunia. Makanya Allah kasih kesempatan kamu bernafas lagi, kasih kamu waktu lebih panjang, buat kamu berproses menyadarinya.

Penyakit orang-orang muda itu emang ngerasa jauh dari kematian. Padahal sebaik-baik guru adalah kematian. Kalau dengan ingat kematian kamu nggak juga paham dan sadar, nggak akan ada lagi yang bisa kasih kamu pelajaran, yas.

Semoga catatan ini bisa selalu jadi pengingat buat kamu untuk nggak lagi hidup semaumu, yas. Jangan sampai ada hari-hari terlewat begitu aja tanpa ada manfaat atau amal, jangan sampai ada lagi hari-hari yang akan kamu sesali kelak. Semoga dengan ingat kamu pernah tergeletak di bawah bemper truk bikin kamu sadar bahwa kamu harus jauh lebih hati-hati, dan bisa jadi hidupmu sekarang ini adalah nikmat berupa kesempatan kedua (atau kesekian) yang Allah kasih, dan betapa kufurnya kamu kalau masih nggak tobat-tobat juga. Dan semoga kesadaran ini nggak berhenti sampai hari ini aja, semoga sampai besok, lusa, dan seterusnya, kamu bisa selalu sadar dan ingat.

Allah selamatkan kamu hari ini. Allah selamatkan kamu kemarin. Allah selamatkan kamu setiap detik, setiap hari, selama ini. Ayo diangen-angen. Kira-kira buat apa, yas? 

Pak Sopir yg luar biasa baik 

Komentar

  1. Alhamdulillah belajar dr cerita Sang Ning Tilem (Putri Tidur- khas pesantren), Tuhan menyelamatkan kita semua. Tuhan sudah memastikan yang terbaik bagi kita semua ! TERBAIK
    Tunggu, kenapa masih ada yang meronta, tidak menerima? banyak yang kecewa, mereka tidak merasakan keadilan Nya ? ! Tuhan ampuni KAMI. .

    BalasHapus

Posting Komentar