Langsung ke konten utama

Pak Senyum, Tebar Kebahagiaan Melalui Pentol

*Note: latar dan tokoh nyata, namun cerita fiksi. Dibuat untuk memenuhi tugas membuat contoh feature pada sebuah pelatihan jurnalistik setahun silam. 

***

Sore hari di jalan utama Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan, Jombang selalu ramai oleh para santriwan dan santriwati yang pulang dari sekolah ke asrama masing-masing. Jalan sepanjang Sungai Njoso penuh oleh canda tawa, mengudara di antara para santri yang ribut tergesa kembali ke asrama, membeli jajanan, hingga mengantri wartel untuk menelepon bapak ibu di rumah. Di antara kerumunan santriwati, berdirilah seorang lelaki paruh baya dengan senyum merekah lebar yang sedang sibuk melayani pesanan dari para pembelinya, menyunduk pentol-pentol ke dalam plastik, lalu menambahkan saus dan kecap sebagai penyedap.

Pak Senyum, begitulah para santri biasa memanggilnya. Ia bersama sepeda dan gerobak merah jambunya hampir tak pernah absen menyediakan pentol-pentol untuk dinikmati santriwan santriwati Ponpes Darul Ulum setiap hari. Pada gerobaknya pun terdapat tulisan “Pentol Pak Smile” yang dilukis dengan cat warna hijau terang, sehingga hampir semua santri Darul Ulum memanggilnya Pak Smile atau Pak Senyum.

Tak banyak yang mengetahui dan menanyakan nama aslinya, karena begitu sinkronnya nama itu dengan pribadi Pak Senyum. Urat-urat di wajahnya seakan tercetak untuk selalu tersenyum lebar. Ketika ia melayani para pembeli, baik ketika menanyakan pesanan, menyunduk pentol ke dalam plastik, menerima uang, hingga menyerahkan kembalian, senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Lelah dan penat santriwan santriwati belajar seharian pun luruh seketika, terhapus oleh senyum lebar Pak Senyum dan pentolnya yang luar biasa enak.

Pentol yang Pak Senyum sajikan selalu dijaga kualitasnya, baik dari segi rasa, tekstur, hingga komposisi yang tak pernah ditambahkan bahan-bahan berbahaya demi larisnya dagangan. Satu prinsip yang ia pegang teguh selama 16 tahun perjalanannya menyediakan pentol untuk para santri adalah, “Aku iki dodolan gae santri, gae arek-arek sing golek ngelmu. Isoku gur nggae pentol, pokoe sehat lan enak, sing maem podo seneng, aku yo melok seneng (Aku ini berjualan untuk santri, untuk anak-anak yang mencari ilmu. Yang aku bisa hanya membuat pentol, pokoknya sehat dan enak, orang yang memakannya menjadi senang, aku juga ikut senang).” Ungkapnya dengan senyum lebar, lalu tertawa kecil.

Pak Senyum tertawa geli ketika ditanya nama aslinya, dan beberapa kali mengelak sebelum akhirnya menyebutkan, “Jenengku Kasan. Cak Kasan (namaku Kasan. Cak (sebutan untuk pengganti mas atau pak di daerah Jawa Timur-red.) Kasan),” masih disertai dengan tawa renyahnya yang khas. Ia mengaku lupa kapan tepatnya para santri berhenti memanggilnya dengan nama asli. Ketika semua santri memanggilnya dengan nama Senyum dan Smile, ia sama sekali tidak keberatan dan malah menuliskan nama tersebut di gerobak pentolnya. Justru Pak Senyum bahagia dan bersyukur, menganggap nama tersebut sebagai penanda bahwa para santri nyaman berinteraksi dengannya. Ia juga menggunakannya sebagai self-reminder agar tak lupa untuk selalu tersenyum dan ramah melayani pembeli.

Ketulusan Pak Senyum dalam melayani dan menebarkan kebahagiaan kepada para santri Ponpes Darul Ulum layak diapresiasi. Namun ternyata Pak Senyum sendiri telah menganggap kebahagiaan santri sebagai bentuk apresiasi terbesar untuknya. Pendapatan yang berkisar antara 200-300rb per hari baginya tak lebih berarti dari kebahagiaan para santri ketika menyantap pentol jualannya. “Rejeki iku wis ono sing ngatur, pokoe arek-arek seneng ae (rejeki itu sudah ada yang mengatur, yang penting anak-anak senang saja),” ucapnya dengan senyum lebar.

Komentar