Aku selalu
bahagia ketika sore datang. Ketika matahari beranjak pulang ke peraduan, ketika
para petani membawa pulang cangkul dan kerbau mereka dari sawah, ketika para
buruh mengayuh sepeda mereka keluar dari tempat parkir pabrik yang sumpek,
ketika para bebek berbaris riuh digiring pulang ke kandang, ketika para bujang
dan anak-anak lelaki membawa pulang bola plastik mereka setelah lelah bermain
di latar dekat rumah Pak RT sedangkan para anak perempuan sudah cantik dan
menebarkan wangi sabun.
Aku selalu
bahagia ketika sore datang. Pukul setengah lima, dan aku masih di sini.
Menunggu bocah-bocah berlarian gaduh menuju masjid kecil desa kami, berdebat
tentang siapa yang pertama kali menyentuh cagak masjid. Lalu kena hardik Haji
Maimun, dilarang ribut-ribut di rumah Allah, katanya. Mengkeret, mereka mulai
memposisikan diri dengan rapih, siap sorogan al-Qur’an,
menyetorkan bacaan ngaji mereka pada Haji Maimun sesuai kaidah tajwid yang
telah diajarkan dulu-dulu. Bacaan bocah-bocah polos itu mengudara di atmosfer
desa kami, menebarkan kehangatan luar biasa.
Selain itu,
masih ada dua hal lagi yang membuatku lebih bahagia. Pertama, lihatlah, di
antara belasan bocah yang masih menunggu giliran sorogan sambil
sibuk saling kejar, menjahili, dan bermain-main, gadis kecil dengan kerudung
merah jambu itu sedang mengajari seorang kawannya untuk mengeja huruf dla’. Ialah
Halimah, dengan senyumnya yang selalu hangat. Aku selalu bahagia melihatnya
tersenyum, khusyu’ mengaji, dan ringan hati membantu kawannya.
Kedua,
ialah Sholeh, bocah yang sedang asyik bermain laser kecil—baru beli tadi siang
di MI, mengarahkan lasernya tepat ke mata Halimah sehingga Halimah kesal, namun
tertawa juga. Kelihatannya memang seperti bocah nakal kebanyakan, namun ketika
tiba gilirannya setor bacaan, segera saja saat ia membaca ta’awudz, semua orang
akan diam, terpesona, menghentikan aktivitas masing-masing. Terpukau oleh
bacaan Sholeh yang begitu lantang, fashih, dan menyejukkan hati. Meski kerjanya
saban siang meneriaki dan mengejar layangan putus seperti bocah lain, Sholeh
adalah muqorri’ hebat kebanggaan desa kami.
Inilah
mengapa aku selalu bahagia ketika sore tiba. Bacaan al-Qur’an di udara.
Halimah. Sholeh. Aih.
***
Enam tahun
Halimah dan Sholeh bersama menempuh masa-masa MI dengan lugu, kudengar kedua
sahabat itu akan melanjutkan sekolah di luar desa. Halimah akan pergi ke suatu
tempat nun jauh di sana, pesantren salaf, kata orang. Hanya bisa pulang saat
lebaran. Entahlah. Sedangkan Sholeh, disekolahkan ke SMP Negeri di kota
kabupaten oleh kedua orang tuanya. Karena jaraknya jauh dari rumah, maka Sholeh
harus indekos di kota kabupaten sana. Hanya bisa
pulang akhir pekan. Entahlah.
Aku
merasakan sesuatu yang janggal ketika melihat Halimah diantar Abahnya naik
mobil pick up menuju terminal bis antarkota, membawa tas besar
dan kardus mi goreng. Juga ketika Sholeh menyalami Ayah dan Ibunya, lalu masuk
ke mobil Mas Jatmiko, menumpang hingga kota kabupaten. Ah, dua kebahagiaanku
direnggut waktu. Sedih melihat mobil masing-masing menderu pergi, aku hanya
bisa meratapi kesendirianku bersama asap hitam knalpot yang mengepul di udara.
Menyesakkan.
***
“MasyaAllah,
Halimah?”
Gadis
berkerudung merah jambu itu mengangguk ramah dengan senyum lebar. Haji Maimun
menggeleng tak percaya.
“Tiga tahun
kau tak pernah pulang, aku ingin tahu pesantren seperti apa tempat kau mengaji
itu, hingga kau kerasan sekali sampai lupa kampung sendiri,” Haji Maimun
terkekeh, diakhiri batuk kecil. “Ayo duduk.”
Halimah
mengikuti Haji Maimun duduk di kursi kayu depan rumah guru tuanya itu. Halimah
baru saja pulang, ia rindu sekali pada desa kecilnya yang tenang beserta
masjidnya yang sederhana, ia rindu kawan-kawannya, ia rindu Sholeh, ia rindu
Haji Maimun. Maka berangkatlah ia ke rumah Haji Maimun yang berada tepat di
sebelah masjid membawa serantang makanan.
“Alhamdulillah..
Aku masih cukup kuat untuk menyimak bacaan anak-anak TPQ. Lagipula kesehatan
macam apa yang kau harapkan dari seorang kakek berkepala tujuh?” jawab Haji
Maimun ketika Halimah bertanya bagaimana kabarnya. Haji Maimun terkekeh lagi.
Terbatuk lagi. “Bagaimana pesantrenmu? Apa saja ilmu yang kau dapat?”
Halimah
tersenyum, “Ah, masih sedikit sekali, masih belum ada apa-apanya dengan Haji
Maimun. Halimah masih harus banyak belajar lagi.”
Haji Maimun
tersenyum lebar. Halimah tak lagi melihat guru ngajinya yang galak, yang jika
salah makhraj bisa-bisa kena sabet rotan. Di depan matanya sekarang hanya ada
sesosok kakek ramah yang dari matanya terpancar keteduhan. Mereka lalu
mengobrol ngalor-ngidul[1],
tentang TPQ yang semakin ramai, tentang sawah Lek Mu yang baru saja dijual
untuk dibangun ruko, tentang Mas Jatmiko yang sebentar lagi menikah, tentang
Sholeh.
“Anak itu,”
Haji Maimun menghela nafas, “tak tahulah aku, Halimah.”
Halimah
mengernyit. Ada apa?
“Awal dia
SMP, akhir pekan selalu pulang. Masih suka ikut maulidan malam
Sabtu. Lalu kudengar ia ikut jamaah mengaji di masjid dekat kos-kosannya tiap
akhir pekan di kota kabupaten sana. Sejak itu aku tak pernah lihat batang
hidungnya lagi.”
“Tak pernah
pulang?” Halimah bertanya.
“Jarang.
Sekali pulang, seperti terkunci di dalam rumah. Diajak maulidan lagi,
tak mau. Diajak bantu-bantu haulnya Haji Musyafa’, tak mau. Diajak main bola
pun tak mau. Capek hati para pemuda mengajaknya.”
Halimah
mengernyit lagi. Kok begitu?
Haji Maimun
mengangkat bahu. Aku pun tak tahu, Halimah.
***
“Wa’alaikum
salam..” Bu Heni, ibu Sholeh, membuka pintu rumahnya, sedikit terkejut melihat
siapa yang berdiri tepat di depan pintu, “Halimah?”
Halimah
tersenyum, mengecup punggung tangan Bu Heni, lalu bertanya sopan, “Sholeh ada,
Bu?”
“Oh, ada,
ada. Sebentar ya, ibu panggilkan dulu.” Bu Heni melesat masuk lagi. Halimah
mengerling kerudung Bu Heni yang berkibar saat beliau sedikit tergesa kembali
ke dalam rumah. Sepertinya dulu belum selebar ini.
Tak lama
kemudian, keluarlah sesosok lelaki jangkung, mengenakan jubah putih selutut dan
celana kedodoran di atas mata kaki. Halimah tertegun, namun segera mengucap
salam sopan, “Assalamu’alaikum, Sholeh.”
“Wa’alaikum
salam, Halimah. Maaf agak lama tadi, baru shalat ashar. Ada perlu apa?” tanya
Sholeh dengan suara semi-berat masa pubertasnya.
“Ini, ada
titipan berkat dari Lek Jah, tujuh hari meninggalnya Lek Dar.” Halimah
meletakkan bungkusan berisi nasi lengkap dengan lauk-pauk, plus gula,
teh, dan mie. “Nanti malam ada tahlilan di rumah Lek Jah. Datang, ya.”
Sholeh diam
sebentar, mengernyit. “Kok Halimah yang mengantarkan?”
“Soalnya...
Anu, ya Halimah pingin jalan-jalan saja. Sekalian ingin menyapa Bu Heni,
lama tak ketemu,” jawab Halimah cepat-cepat. Terngiang kata Haji Maimun
kemarin, “Cobalah, Halimah, bujuk Sholeh untuk ikut bergabung dengan
warga lagi. Ajak dia tahlilan atau maulidan. Kan kau sahabat kecilnya dulu.” Halimah
menelan ludah.
Sholeh
manggut-manggut, lalu tiba-tiba berdiri. Halimah refleks ikut berdiri juga.
Kaget.
“Masih ada
yang mau dibicarakan lagi?”
Halimah
menggeleng.
“Kalau
begitu, aku masuk dulu, ya. Ada yang perlu aku lakukan.”
Halimah
mengangguk.
“Assalamu’alaikum,
Halimah.”
Halimah
mengangguk lagi, menatap Sholeh yang masuk ke ruang tengah, sedangkan ia
berjalan pelan keluar dari ruang tamu, menutup pintu rumah Sholeh dari luar.
Masih
memegang kenop, Halimah menatap sendu pintu rumah sahabat kecilnya, menghela
nafas panjang. “Wa’alaikum salam...”
***
Aku selalu
bahagia ketika sore datang. Menunggu bocah-bocah berlarian gaduh menuju masjid
kecil desa kami, berdebat tentang siapa yang pertama kali menyentuh cagak
masjid. Kali ini tak ada lagi hardikan Haji Maimun, ia sudah terlalu tua untuk
melakukannya. Sekarang tugas Halimah lah untuk menenangkan bocah-bocah itu. Ya,
Halimah telah mendedikasikan dirinya selama libur pesantren ini untuk membantu
Haji Maimun mengajar di TPQ. Siapa pula yang tak senang diajar gadis cantik
berperangai tak kalah cantik? Aku yang hanya melihat dari kejauhan saja
senang bukan kepalang.
Aku bahagia
melihat Halimah bahagia. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, aku ikut
bingung melihat Halimah bolak-balik rumah Sholeh untuk mengajaknya ikut acara
warga desa. Tanggapan lelaki itu selalu sama, manggut-manggut, lalu segera
masuk rumah. Namun sampai berlumut Halimah menunggunya, sekalipun ia tak pernah
datang.
Selesai TPQ
hari ini, kulihat Halimah menyandarkan kepalanya di meja kayu panjang tempat
bocah-bocah mengaji Qur’an. Ia menghela nafas panjang. Aku tahu ini adalah hari
libur terakhirnya, besok pagi ia akan diantar Abahnya lagi ke terminal bis
antarkota untuk kembali ke pesantren. Aku tahu ia sedih karena sampai hari ini,
ia masih belum berhasil membujuk Sholeh. Malahan Sholeh sudah lebih dulu
kembali ke kota kabupaten 2 hari silam. Juga karena ia harus meninggalkan TPQ
menyenangkan ini.
Haji Maimun
mengetuk-ngetuk papan tulis, membuyarkan lamunan Halimah. Gadis itu menatap
gurunya lama, lalu seakan membaca pikiran Halimah, Haji Maimun berkata, “Tak
apa, Halimah. Menuntut ilmu itu kewajiban. Kembalilah ke pesantrenmu, tuntaskan
apa yang telah kau mulai. Jangan pikirkan TPQ ini, aku bisa mengurusnya
sendiri. Kalau perihal Sholeh itu, sudahlah, yang penting kau nyantri saja
yang rajin. Tak perlulah kau pusingkan.”
Halimah
mengangguk lemah.
***
Aku masih
selalu bahagia ketika sore datang. Namun tiga tahun terakhir, kebahagiaanku
sedikit banyak berkurang. Halimah melanjutkan aliyah di pesantren yang sama
dengan tsanawiyahnya. Sholeh pun melanjutkan SMA Negeri lagi di kota kabupaten,
masih indekos, dan masih ikut jamaah pengajian di masjid dekat kosannya.
Entahlah jamaah apa itu.
Namun malam
ini, bintang-gemintang menyampaikan kabar baik. Halimah akan pulang,
datang esok pagi-pagi benar.
***
Halimah tertegun.
Tiga tahun melanjutkan studi di pesantren, tak pernah terbayang momen ini akan
datang juga. Sekuat tenaga ia tahan air matanya agar tidak membanjiri gundukan
tanah merah di depannya. Abah mengelus lembut punggung Halimah, menenangkan
putri semata wayangnya. Abah tahu benar gadis itu mati-matian menahan diri agar
tidak menangis.
“Nanti
malam peringatan tiga harinya. Kamu ikutlah bantu-bantu di rumah Bu Hajah
Maimun, Halimah.” Ujar Abah lembut. Setelah menatap Abahnya lama, Halimah
mengangguk samar.
Malamnya,
lantunan Surat Yasin memenuhi langit-langit halaman rumah Alm. Haji Maimun yang
juga halaman masjid desa. Haji Maimun sudah mengajar sejak setengah abad lalu,
hampir seisi desa pernah berguru padanya. Tak heran malam ini banyak sekali
warga datang, hampir seluruhnya malah.
Ah ya,
memang tidak seluruh warga desa datang. Lihatlah, lampu rumah Sholeh masih
menyala. Penghuninya sama sekali tak peduli dengan hiruk pikuk masjid. Asyik
dengan dunianya sendiri.
Aku
menghela nafas panjang. Jika ini masih Sholeh yang dulu, ia pasti akan memegang
mikrofon, memimpin tahlil, memperdengarkan bacaan fashihnya yang menggetarkan
hati. Tapi itu jika Sholeh yang benar-benar dulu.
***
Tiga hari
setelah peringatan tujuh hari wafatnya Haji Maimun, TPQ di masjid aktif kembali.
Ustadzah Halimah, begitu para murid TPQ memanggil guru baru mereka. Awalnya tak
banyak yang datang, mengira kegiatan TPQ ikut terkubur dalam liang lahat guru
besar mereka. Tapi lama-kelamaan, masjid kembali gaduh seperti sedia kala.
Hari ini,
kulihat Halimah melamun lagi seusai semua bocah berlarian pulang. Sejak
peringatan tujuh hari Haji Maimun, beberapa kali kudapati Halimah bengong,
memandang entah apa dan pikirannya entah kemana.
Pasti
karena malam itu, malam peringatan tujuh hari wafatnya Haji Maimun. Halimah
bermaksud mengajak Sholeh ikut tahlilan, namun lelaki itu justru menjawab
dengan keras, “MasyaAllah, Halimah. Setelah anti nyantri enam
tahun lamanya, ana kira anti sudah mengerti.
Tahlilan itu bid’ah! Tak ada di zaman Rasulullah! Apalagi sampai
dibikinkan peringatan tiga hari, tujuh hari, 40 hari, anti pikir
itu niru siapa? Tak ada ajarannya dalam Al-Qur’an! Musyrik!”
Siapa pula
gadis yang tak bergidik dihardik begitu? Tanpa berkata apa-apa lagi, Halimah
meninggalkan rumah Sholeh dan bergegas menuju masjid. Baru saja bacaan Yasin
berkumandang beberapa ayat, Sholeh datang menyusul, jubah dan calananya
berkibar-kibar. Ia berteriak-teriak tentang bid’ah, musyrik, dan
sesat. Kurang lebih sama dengan teriakannya pada Halimah. Emosi, beberapa pemuda
segera berdiri menghampiri Sholeh. Aku tak berani melakukan apapun selain
menonton dalam diam dari kejauhan.
Para pemuda
itu menyeret Sholeh menjauh, entah dibawa kemana. Kulihat Halimah mengintip
dari balik punggung ibunya, tak kuasa menahan air mata. Tak ada lagi lantunan
merdu ayat Al-Qur’an yang menggetarkan hati keluar dari lisan Sholeh,
digantikan seruan dan makian ini bid’ah itu musyrik.
Tiga hari
kemudian, bersamaan dengan kembali aktifnya TPQ, aku mendengar kabar bahwa Bu
Heni pingsan di rumahnya. Halimah tergopoh-gopoh berlari ke rumah Bu Heni
seusai mengajar TPQ. Didapatinya ibu dari mantan sahabat kecilnya itu sedang
menangis di kursi rotan panjang, dikipasi Lek Jah. Terdapat surat lecek dalam
genggamannya, diremas-remas hingga bulat. Halimah mengambilnya perlahan.
Dari
Sholeh.
***
Halimah
menatapku sendu. Ah ya, dia memang menatapku, namun pikirannya entah berlarian
kemana. Barangkali Halimah sedang mengingat isi surat Sholeh untuk ibundanya.
Ah ya,
surat. Sholeh bilang, dalam surat itu, tak ada artinya lagi ia hidup di
lingkaran masyarakat musyrik yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan
budaya dan mengamalkan berbagai bid’ah. Daripada menjadi
tak berguna, ia memutuskan ikut imam dari jamaah mengaji di masjid dekat
kosannya untuk berjihad melawan kekafiran di tempat yang amat jauh. Mati syahid
adalah tujuannya, maka ia bilang pada ibunya untuk tidak menunggu
kepulangannya.
Gadis itu
menghela nafas panjang. Menatapku lebih dalam. Ingin sekali kuhibur dia,
menenangkannya, atau melakukan apapun yang dapat membuatnya merasa lebih baik.
Namun
apalah daya, aku hanya sebatang pohon mangga tua di halaman masjid yang tak
pernah bisa berbuah.
Baguss kok perspektifnya di luar dugaan hahaha
BalasHapuslebih seru lagi kalau ada kenangan yg menghubungkan antara "si aku" dengan 2 tokoh yang lain
tapi ini aku bacanya sudah terasa seru, memang isinya agak berat dan sensitif ya, jadi memang tidak menjamin semua paham pesan yang disampaikan. Tapi aku ngerti dan suka. Semangat terus berkarya!
waa terima kasih banyak! 😆 makasih banyak juga atas sarannya, noted!
Hapus