Beberapa waktu
terakhir saya sering menemukan diri saya lama diam di depan layar sambil
berpikir keras: hayo gimana cara nulisnya?!
Rupanya
produktivitas menulis saya sangat jauh merosot dibanding jaman SMP. Saya belum
membicarakan soal kualitas, karena saya menyadari saya memang belum ada
apa-apanya, yang saya bicarakan di sini baru sebatas kuantitas. Selama ini saya
menulis sekedar untuk diri saya sendiri, jika anda lalu bertanya mengapa beberapa
tulisan saya bagikan di blog...
entahlah, terkadang mengetahui tulisan yang saya buat untuk diri saya sendiri dapat dibaca orang lain—apalagi diapresiasi, membuat hati saya bermekaran.
entahlah, terkadang mengetahui tulisan yang saya buat untuk diri saya sendiri dapat dibaca orang lain—apalagi diapresiasi, membuat hati saya bermekaran.
Ternyata menulis
tak semudah kelihatannya. Meskipun di otak saya seperti sudah tertempel banyak sticky
notes di sana-sini, ide-ide dan penggalan-penggalan kalimat yang
centang-perenang memenuhi jidat saya, tapi ketika akhirnya menghadap laptop,
jari saya kemudian freeze di atas keyboard. Pikiran-pikiran itu masih
berjejalan disana, tapi saya tak kunjung dapat mengetiknya. Barangkali ini
adalah definisi writer's block, setidaknya bagi diri saya sendiri. Pertanyaannya
adalah kenapa.
Kenapa menyusun kata menjadi kalimat menjadi
sangat sulit?
Kenapa merangkai kalimat menjadi paragraf terasa
begitu rumit?
Kenapa?
Ini bukannya ujian nasional, bukannya
tugas menulis essai, bukan pula penyusunan skripsi, bahkan tulisan ini bisa
jadi hanya akan menjadi konsumsi saya sendiri, namun kenapa berat sekali
menulis apa yang saya pikirkan, menuangkannya dalam baret huruf-huruf di layar
laptop?
Sering pada
akhirnya, document saya tinggalkan dengan beberapa baris kalimat abstrak, satu
paragraf belum selesai sudah saya enter, buat paragraf baru dengan pokok
bahasan berbeda. Beberapa kalimat, stuck, saya enter lagi, saya buat
lagi paragraf yang baru. Begitu seterusnya sampai ketika saking mentoknya nggak
ngerti harus ngetik bagaimana lagi, momen-momen freeze itu akan datang.
Saya diam. Lama memandangi barisan-barisan kalimat acak yang entah kenapa
membuat saya jengkel, kemudian mules. Ini kemudian menjadi lingkaran setan:
semakin saya berpikir, perut saya akan terasa semakin melilit dan bergejolak,
yang mana dengan begitu otak saya akan semakin mampet.
Kalau sudah
begini, yang terjadi adalah: save document dengan judul ngawur, tidak di-close
(dengan harapan: barangkali nanti-nanti dapet ilham buat nerusin),
sok sibuk dengan hal lain (nonton film, baca novel, sok-sok ngerjain desain,
dsbg), besok hari dapat ide lain, buka new document, berbaris-baris kalimat
acak, stuck lagi di tengah jalan, mules, lalu ulangi siklus ini dari awal.
There is no barangkali-nanti-nanti-dapat-ilham-buat-nerusin.
Lingkaran
kemampetan ini telah melanda beberapa tahun terakhir, agaknya sejak SMA, dan
semakin parah ketika saya kuliah. I’ve been asking myself why, hingga
kemudian saya menemukan sesuatu: my ancient diaries.
Beberapa hari
lalu saya membuka kerdus ajaib: a box full of Me. Dalam kerdus berlapis
kertas kado warna-warni (yang sudah compang-camping) dimana saya menyimpan
segala hal yang saya anggap berharga dan penuh kenangan, seperti
ID card peserta lomba, buku tahunan SD sampai SMA, kartu-kartu ucapan ulang
tahun sejak SMP, bendera regu pramuka saat SD sampai bendera PMR Madya, stiker
souvenir acara-acara, hingga jam tangan warna biru muda yang sudah patah dengan
jarum penunjuk waktu lepas semua dan warna kalepnya sudah berubah menjadi
abu-abu, bungkus kartu perdana jaman SMP, duit seribuan dan limaribuan yang
udah lecek ampun-ampunan, sampai beberapa refill isi polpen hi-tec yang sudah
habis—saya nggak ngerti kenapa saya menyimpan mereka, saya menemukan
buku-buku diary.
Setidaknya ada 11
diary yang saya temukan, bertanggalkan mulai 2007 hingga 2013. Membaca
diary-diary itu campur aduk rasanya: geli, malu, dan takjub. Cara saya menulis curhat ternyata cukup detail
baik dari segi kronologi waktu maupun apa yang saya rasakan dan pikirkan.
Cerita dua hari kemah pramuka Sabtu-Minggu bisa jadi belasan halaman yang menceritakan
dengan detail mulai persiapan sampai kepulangan, disertai keterangan waktu dan
apa saja yang saya rasakan. Disindir teman di tempat wudhu saat hendak sholat
dhuhur pun menjadi 5 lembar full berisi pelaku penyindiran, siapa saja yang ada
di TKP, apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya, lengkap dengan rekam jejak si
pelaku yang ternyata memang sudah menyebalkan dari dulu, dan deretan hujatan
pedas untuknya. Yes, I blame myself for
the fact that I used to be a drama quenn, marah-marah nggak jelas dengan
huruf-huruf capslock, jelek-jelekin orang lain for some little unecessary stuffs,
galau-galau melow, tapi kemudian saya pikir sah-sah aja untuk menulis apapun
yang saya pikirkan dan rasakan, toh itu diary juga diary saya.
At this point,
saya sadar bahwa itulah yang saya lupakan, yang sepertinya membuat saya sulit sekali
menulis beberapa tahun terakhir. Berhentinya kebiasaan saya menulis diary
rupanya juga menghentikan keberanian saya. Saya terlalu banyak khawatir dan
takut, bahkan takut pada anggapan saya sendiri. Gimana kalau cerpen saya
ternyata nggak sebagus yang saya kira, gimana kalau tulisan saya jadinya
jelek dan nggak ada faedahnya buat orang lain, gimana kalau opini saya
ternyata cuma curhat nggak jelas, gimana kalau tulisan saya yang sudah
semakin besar ternyata semakin nggak bermutu, gimana kalau ternyata saya
nggak sehebat yang saya pikirkan, dan sederetan gimana kalau yang
mengendap sebagai ketakutan dalam alam bawah sadar saya, lalu muncul dalam
wujud ketidakmampuan saya menuangkan ide menjadi serangkaian kalimat. Ketakutan
akan ketidakmampuan yang justru menimbulkan ketidakmampuan itu sendiri. Saya
tidak sadar bahwa saya selama ini takut.
Saya tidak bisa
sejujur dulu ketika menulis diary. Seharusnya seperti itulah menulis. Saya
harus kembali menulis untuk diri saya sendiri. Saya memang sama sekali bukan
seorang profesional, sama sekali belum pernah dimuat ke media cetak atau
memenangkan lomba mengarang, tapi toh memangnya kenapa?
Blog seharusnya
menjadi platform kebebasan saya. Mau saya menulis cerita, menulis opini,
catatan perjalanan, atau bahkan curhat, tentu saja suka-suka saya toh ini blog
juga blog saya. Kenapa membuka blog harus menjadi beban, ketika seharusnya saya
menemukan kebebasan?
Ah, kemana saja
sih kamu selama ini, Yas?
Komentar
Posting Komentar