Langsung ke konten utama

a Little Thing Called Kindness


Siapa bilang berbuat baik itu sulit?

Apa susahnya berhenti menyapu sebentar untuk membiarkan beberapa semut melintas, sehingga mereka tidak mati tersapu?
Apa susahnya mengapresiasi seorang bapak pengamen di terminal yang telah menyanyikan sebuah lagu Ebiet G. Ade dengan merdu dan penuh penghayatan di tengah hiruk pikuk penjual lumpia dan bakpao?


Apakah berat membayar dua ribu rupiah untuk sebungkus kacang rebus yang dijual nenek-nenek di lampu merah?
Apa susahnya mengklik tombol like untuk mengapresiasi content creator yang membuat video remix lagu kebangsaan dengan instrumen musik tradisional?
Apa susahnya bilang terima kasih pada sopir angkot saat kita membayar ongkos, pada pramusaji saat mengantarkan makanan pesanan, pada pak parkir setelah kita dibantu mengeluarkan sepeda motor, pada bapak penjaga boarding setelah mengecek tiket kita, pada mbak-mbak kasir indomaret saat menyerahkan uang kembalian, pada mas-mas SPBU setelah dibantu mengisikan bensin motor, bahkan pada orang yang menggeser pantatnya sehingga kita bisa duduk di halte bus, apa susahnya?
Apa susahnya mengatakan maaf dan permisi pada petugas cleaning service yang baru selesai menyapu di mall dan kita mau lewat, pada bapak gojek saat kita akan naik ke boncengannya atau mengembalikan helmnya, atau pada bapak penjual mie ayam saat kita menyerahkan mangkok kotor?
Apa susahnya membayar 5000 untuk satu edisi koran seharga 3500 dari bapak penjual koran di lampu merah saat siang hari yang menyengat?
Apa susahnya menahan sebentar pintu dorong indomaret untuk orang lain yang masuk setelah kita?

Apa susahnya?

Pas setengah dipaksa bapak penjual bakpia di terminal buat beli tapi kita nggak suka bakpia, atau pas lihat bapak penjual koran di lampu merah dan kita kasian tapi nggak butuh koran, kita pikir, “Rejeki kan udah diatur sama Yang Di Atas, nanti juga kalau rejekinya pasti orang lain ada yang beli. Nggak harus aku.”
Ketika menonton video musik di youtube, kita pikir, “Bagus tapi biasa aja, sih. Lagian satu like dari aku nggak ngaruh-ngaruh banget di hidup dia.”
Setelah dilayani mbak-mbak kasir indomaret, diantarkan oleh pak gojek, dipersilakan masuk boarding setelah dicek tiketnya oleh pak petugas stasiun, kita pikir, “Kenapa harus bilang makasih? Itu kan emang pekerjaan mereka, mereka dibayar untuk melakukannya.”
Begitu juga ketika melihat petugas cleaning service mengepel lantai mall, kita pikir, “Kenapa harus bilang maaf dan permisi? Mereka memang dibayar untuk bersih-bersih.”

Kita seringkali lupa bahwa kebaikan sedang bertebaran dari orang lain di sekitar kita, dan seharusnya kita menebarkan kebaikan yang sama. Sebelum bicara muluk-muluk, mari kita mulai dengan kebaikan-kebaikan kecil yang (seharusnya) dapat dengan mudah kita lakukan.

Seseorang pernah berkata pada saya, untuk bisa memperlakukan orang lain dengan baik, kesadaran pertama yang harus ditumbuhkan adalah bahwa mereka selalu punya cerita sendiri. Mungkin selama ini kita melihat kehadiran mereka seperti figuran, mereka datang dan pergi setiap hari, beberapa hanya kita temui sekali, beberapa yang lain akan kita temui lagi di waktu lain. Tapi tetap saja, di kehidupan kita, mereka terlihat hanya seperti figuran.

Tapi pernahkah kita berpikir bahwa kita juga hanya figuran di hidup mereka? Merekalah pemeran utamanya, mereka juga menjalani hari demi hari dari pagi hingga pagi lagi, mereka juga punya keluarga, mereka juga punya catatan perjuangan yang kita tidak tau seberat apa.

Nah, daripada berpikir bahwa kita dan orang lain sama-sama menjadi figuran di hidup satu sama lain, kenapa tidak dibalik saja, bahwa kita dan orang lain sama-sama menjadi pemeran utama di hidup masing-masing? Daripada berpikir bahwa kita dan orang lain sama-sama tidak penting di hidup satu sama lain, kenapa tidak kita balik bahwa semua orang sama pentingnya di hidup masing-masing? Dengan begitu, kita nggak akan meremehkan orang lain.

Seperti misalnya, bisa jadi bapak penjual koran di lampu merah adalah seorang ayah dan salah satu anaknya akan segera lulus SMP. Beliau telah berjualan dari pagi hingga sore di lampu merah, panas-panasan sambil menahan boyoknya yang sakit tak tertahankan, sementara koran yang terjual baru dua buah. Ia akan pulang dengan terbatuk-batuk mengayuh sepeda karena beberapa tahun terakhir setiap hari selalu menghirup polusi, sambil memikirkan juragannya akan marah-marah karena korannya tak kunjung habis juga.
Membayar 5000 untuk koran seharga 3500 darinya nggak akan membuat kita jatuh miskin, tapi mungkin saja akan menjadi hiburan kecil untuk harinya yang berat.

Bisa jadi mbak-mbak kasir indomaret adalah seorang fresh graduate SMA negeri yang bekerja guna menabung untuk biaya kuliahnya. Ayahnya buruh tani dan ibunya penjual tahu di pasar, sedangkan si mbak punya cita-cita kuliah di jurusan kebidanan dan pulang menjadi bidan di desanya, menggantikan bu bidan yang sudah tua. Adik si mbak ada tiga, satu masih SMP dan dua lainnya masih SD. Sekolah ketiganya memang gratis, tapi tidak dengan LKS dan seragamnya. Maka si mbak menyadari ia tak mungkin menuntut apa-apa, berangkatlah ia ke indomaret melamar kerja. Ia harus berdandan lalu tersenyum dan menyapa setiap orang yang masuk, menawari setiap orang yang akan membayar dengan pulsa atau produk-produk diskon, setiap hari.
Mengucapkan terima kasih sambil tersenyum pada si mbak sama sekali nggak membuat kita rugi, tapi mungkin saja akan menjadi hiburan kecil untuk harinya yang berat.

Bisa jadi mas-mas content creator dulunya adalah anak yatim yang selalu sedih. Setelah berbulan-bulan (bisa jadi bertahun-tahun) tenggelam mengasihani diri sendiri, baru akhirnya ia menyadari bahwa ia seharusnya kembali bermain musik seperti yang ayahnya dulu ajarkan. Tentu saja semuanya nggak datang mak bedunduk. Si mas mulai membuat channel youtube, dimulai dengan video-video sederhana, baru setelah si mas belajar, ia sudah mulai bisa me-remix lagu-lagu dengan gayanya sendiri. Si mas mengingat betul apa kata ayah dan pelatih musiknya, bahwa bermain musik memang mudah, namun yang sulit tapi penting adalah membuat orang lain mendapatkan dan mengerti pesan yang ingin disampaikan melalui musik. Kemudian si mas mulai membuat video-video lagu kebangsaan, dia remix dengan EDM dan musik tradisional. Satu video berdurasi 4 menit darinya adalah hasil dari berhari-hari pusing menyusun konsep, kemudian berhari-hari rekaman, dilanjutkan seharian penuh shooting, dan diakhiri dengan berhati-hari editing video. Si mas menguploadnya dengan harapan ia dapat mengajak remaja-remaja jaman now untuk menghargai budaya lokal dan menghidupkan kembali lagu-lagu nasional.
Kita hanya butuh satu detik untuk menyentuk icon like di videonya sebagai apresiasi untuk berminggu-minggu kerja kerasnya, dan terutama untuk mimpi-mimpinya.

Bisa jadi petugas cleaning service di mall sudah berkali-kali menyapu dan mengepel, tapi musim hujan yang becek membuat sepatu semua orang selalu meninggalkan kotoran di lantai. Orang-orang selalu santai berjalan melewati lantai yang baru ia pel, sedangkan ia harus menahan sakit pinggangnya dan kembali mengepel.
Mengucapkan permisi dan maaf ketika akan lewat akan sedikit menjaga perasaannya, dan mengucapkannya nggak akan menjatuhkan harga diri kita.

Kan? Menjadi baik nggak susah, kan?

Bayangkan ketika semua orang berpikir bahwa berbuat baik bukan kewajiban mereka.
Bayangkan ketika semua orang berpikir biar orang lain yang melakukannya.
Bayangkan ketika semua orang berpikir bahwa menjadi baik adalah kewajiban orang lain, dan lupa bahwa orang lain juga memiliki hak untuk menerima kebaikan.

Will world be a nice place to live in?

Komentar