Langsung ke konten utama

Hujan Tidak Jahat


Koridor mulai sepi, tinggal satu-dua anak saja yang masih berlalu-lalang, sebagian tergopoh ----termasuk aku. Ck, berkas-berkas ini merepotkan sekali. Selepas rapat pasti aku menjadi manusia-yang-paling-terlihat-repot-dengan-berbagai-macam-buku-dan-kertas-bertebaran. Yah, apa sih yang bisa kau harapkan dari menjadi seorang sekretaris?


 Aku melirik jam tanganku. Masih pukul 15.40, tapi awan hitam yang menggantung di langit sore ini membuat semua orang merasa ini sudah cukup larut dan kau harus segera pulang atau kau akan diculik wewe gombel di tengah jalan. Apalagi ditambah angin yang tak bisa santai ini. Usil sekali meniup kertas-kertas dalam pelukanku dan membuat mereka berterbangan melarikan diri.


Aku melirik lapangan bola. Itu dia.


Anak-anak lain mulai meninggalkan lapangan basket (yang dimultifungsikan menjadi lapangan futsal karena lahan sekolah yang amat-sangat-luas), namun ia masih asyik dengan bola sepaknya. Menyundul-nyundul, menendang-nendang, entahlah.


 “Hoi, Key! Duluan, ya!” seseorang menepuk keras pundakku.


Aku terlonjak, “Ah, iya, hati-hati di jalan,” kataku sembarangan.


Anak itu mengacungkan jempolnya lalu berlari kecil menyusul kedua temannya. Seragam mereka semua basah oleh keringat. Iuh.


Ngg, itu tadi siapa, ya?


“Hoi,” tepukan lain. Aku terlonjak. Lagi. Oh, ayolah, apakah orang-orang tidak bisa berhenti membuatku terlonjak?


 “Ayo pulang,” katanya sambil menenteng tas sekolahnya.


“Ah, kukira kau masih akan menyundul-nyundul bolamu itu sampai besok pagi,” kataku sambil membereskan kertas yang mulai berantakan lagi.


“Ah ya, kukira kau juga akan mengurung diri di ruang OSIS sampai besok lusa,” ujarnya cuek sembari berjalan mendahuluiku. Bocah tengil ini Bintang, bocah yang setiap pulang sekolah selalu bau keringat dan (entah kenapa) selalu menjadi teman sekelasku sejak aku masih ingusan. Ralat, sejak dia masih ingusan. Kami (hampir) selalu pulang bersama. Karena rumah kami berdekatan, oke, karena itu saja.


“Aku kan nggak memintamu menunggu,” sergahku.


Dia diam saja.


Gawat. Mendung mulai berubah menjadi gerimis. “Bintaaang, hujaan!”


“Cerewet. Hujan air saja, kan?”


Mulutku mengerucut, mempercepat langkah. “Ayo cepat pulaaang!”


“Apa sih yang kau takutkan dari hujan? Mereka nggak akan membunuhmu, Key.”


Aku tertegun.


Bintang terdiam.


***


Hujan. Lagi. Minggu-minggu terakhir ini langit sedang hobi sekali menumpahkan berliter-liter air ke bumi. Mungkin ini menjadi berkah besar bagi para petani karena sawah mereka akan tumpah ruah dengan air gratis dari Tuhan, tapi bagi kami, para pelajar –atau khususnya aku, hujan menjadi masalah tersendiri.


Tas basah, sepatu basah, seragam basah. Belum lagi kalau jalanan becek dan lumpurnya muncrat kemana-mana. Di saat-saat seperti ini, payung selalu jadi sahabat sejati.


Tapi nampaknya, bagi Alysa, hujan tak hanya sebagai pengganggu kecil yang membuat basah apapun yang kau bawa dan kau kenakan. Nampaknya ia punya masalah pribadi dengan hujan yang tak bisa ia bagi pada kami.


“Al, kita sudah berdiri setidaknya satu jam disini, memandangi lapangan basah, dan aku lelah mendengar suara hujan mengujam atap seng ini. Kamu nggak berniat untuk pulang?” tanyaku lesu.  


Ya, Alysa tak pernah mau bersentuhan dengan hujan. Tak pernah. Ia lebih memilih menunggu hujan reda meskipun harus memakan waktu berjam-jam dari pada harus menerobos hujan. Meskipun menggunakan payung. Kenapa, sih? Jangan-jangan Alysa phobia hujan.


“Kan aku sudah bilang, pulang duluan saja, Key. Kamu nggak perlu menungguku.” Ujar Alysa santai.


“Kamu bilang begitu, aku malah semakin nggak bisa meninggalkanmu disini,” aku melengos, bersandar pada dinding koridor, “aku bawa payung, lho, kamu bisa memakainya.”


“Kamu seperti nggak mengenalku, deh, Key. Pulang sana. Ajak Bintang. Aku masih betah disini.” Ujarnya sambil terus menatap hujan.


“Bintang kenapa?” tiba-tiba muncul makhluk bau ini entah dari mana.


“Keyza kebelet pulang, tuh. Sana bawa pulang.” Ujar Alysa sambil tertawa.


“Alysa nggak mau pulang, Bin. Sana bawa pulang.” Aku mengadu balik.


“Kok aku terdengar kayak bapak kalian, ya.” Bintang menggaruk kepalanya, “kamu kenapa nggak mau pulang? Jangan bilang gara-gara hujan.”


“Kau kayak nggak kenal Alysa, deh,” aku memutar bola mata.


“Apa sih yang kau takutkan dari hujan? Mereka nggak akan membunuhmu, Al,” ujar Bintang sambil memainkan bola kasti yang entah ia dapat dari mana.


Alysa terdiam lama. Ia terlihat memikirkan sesuatu dengan keras. Aku diam saja, memberikan kebebasan berpikir. Dan Bintang? Ia lebih peduli pada bola kasti di tangannya.


“Bintang benar..” ujar Alysa lirih pada akhirnya, “Ayo pulang, Key!”


“Hah? Serius? Tadi kamu bilang masih betah disini?”


Alysa tersenyum.


“Masih hujan, lho. Kau nggak apa-apa?” tanyaku memastikan.


“Nggak, tenang saja, mereka nggak akan membunuhku, kok,” ujar Alysa sambil tersenyum. Bintang di belakang kami berdeham menyebalkan.


Dan jadilah kami pulang bertiga berlarian menerobos hujan deras. Payungku jadi tak berguna, karena tak akan cukup menaungi kami bertiga, lebih baik tak usah dipakai sekalian.


Alysa si-anti-hujan pun basah kuyup kehujanan.


***


“Sepertinya aku harus berhenti mengucapkan kalimat itu, ya.”


Aku menoleh. Sepertinya Bintang juga terbawa suara gerimis yang sudah bertransformasi menjadi hujan deras ini. Suara hujan selalu mengembalikan sepotong kenangan itu bagi kami.


“Ya,” kataku, “atau jangan-jangan berikutnya aku yang pergi.”


Air muka Bintang berubah cepat. Alisnya bertemu. Ini bukan ekspresi marah. Ini kesedihan. Atau mungkin... penyesalan?


***


“Keyza?” Bintang menatapku heran sambil membukakan pintu rumahnya yang besar, “Ngapain kau kesini? Kau nggak tau ini sudah jam berapa? Hujan-hujanan lagi, kamu kayak orang nggak waras.”


Aku mematung di depan pintu. Aku tahu ini sudah jam delapan malam. Tapi harusnya Bintang tahu apa yang terjadi hanya dengan melihat penampilan luarku saja. Aku basah kuyup. Aku berantakan. Aku pakai piyama. Bahkan aku masih pakai sandal rumah. Mataku membengkak. Ah, bekas air mataku mungkin sudah terhapus hujan saat aku berlari kesini.

 
“Kenapa, sih? Kau mabuk, ya?” Bintang menatapku dari atas sampai bawah, “Apa yang terjadi?”


Aku tidak tahan lagi. Aku menangis meraung-raung di depan pintu rumah Bintang. Bintang gelagapan membawaku masuk ke ruang tamunya, mendudukkanku di sofa, dan kesulitan menangkap informasi yang kusampaikan sambil menangis seperti orang cegukan.


“Alysa?” kedua alisnya bertemu, “Kenapa katamu?”


Susah payah aku mengambil nafas panjang untuk bicara, “Meninggal, Alysa meninggal, Bin! Ya Tuhan, sungguhan meninggal!” lalu aku menangis lagi seperti orang kesetanan.


Dengan segala daya upayaku aku ceritakan pada Bintang (yang entah ia menangkap seberapa banyak informasi yang aku berikan), sepulang sekolah tadi, Alysa yang basah kuyup menggigil hebat di rumah. Alysa mengejang, dan hebohlah seisi rumah. Di tengah kehebohan itu, Alysa berhenti mengejang lalu tertidur. Ayah bundanya menghela napas lega. Namun tak lama kemudian, Alysa kembali mengejang, lebih hebat dari sebelumnya. Seisi rumah kembali heboh, Ayah Alysa sudah menyiapkan mobil untuk membawa Alysa secepatnya ke UGD, dan ketika mereka siap menggotong Alysa keluar, Alysa berhenti mengejang. Ia tertidur. Urunglah Ayah Alysa membawa putrinya ke UGD. Beliau menganggap tidur Alysa sebagai kondisi stabil dimana itu artinya Alysa sudah tidak apa-apa. Lamaaa Alysa tertidur hingga Bunda Alysa menyadari ada yang aneh dengan putrinya. Wajahnya memucat, kaki dan tangannya dingin. Bunda Alysa pingsan di tempat ketika mengecek nafas putrinya, yang ternyata tak berhembus lagi. Alysa pergi. Dan tak akan kembali.


“Bagaimana kau tau selengkap ini?” selidik Bintang antara percaya dan tidak.


“Bi Jumi meneleponku barusan, sambil menangis-nangis ia menceritakan kronologis lengkapnya,” jawabku masih sesegukan, “Begitu telepon ditutup entah kenapa aku langsung lari kesini.”


“Kau meniru Bi Jumi dengan baik,” Bintang menyodorkan segelas air putih padaku.


Hening.


“Kurasa aku harus segera ke rumah Alysa. Ini semua salahku. Aku harus meminta maaf pada ayah bundanya.” Ujar Bintang lirih.


“Jangan curang! Aku juga harus segera kesana. Ini salahku, aku yang membuat Alysa hujan-hujanan. Mana aku tahu kalau Alysa ternyata punya penyakit semacam itu. Aku juga harus minta maaf pada keluarganya.”


Setelah perdebatan aku-yang-salah-dan-bukan-kamu yang cukup sengit, kami akhirnya berangkat bersama ke rumah Alysa. Setelah Bintang mengantarkanku pulang untuk berganti baju terlebih dahulu, tentunya. Dengan sepeda motor Bintang, kami menerobos hujan melesat menuju rumah Alysa.


Setelah semua yang terjadi, hujan masih dengan santainya mengguyur kami sekali lagi.


***


“Mau menorobos hujan sekali lagi?” aku menoleh pada Bintang yang termenung lama dengan alis bertaut. Hari sudah sore. Tak mungkin kami menginap disini untuk mengenang Alysa sekali lagi.


“Jangan. Tunggu dulu. Sebentar saja.”


Ah, dua tahun berlalu dan Bintang masih belum bisa mengenyahkan traumanya.


***


Kami bersujud sambil menangis di hadapan ayah bunda Alysa. Ya, Bintang menangis. Dan ia tidak repot-repot menyembunyikannya.


Tentu saja mereka kaget dan heran. Setelah kami menceritakan apa yang terjadi beberapa jam sebelum kepergian Alysa, mereka akhirnya mengerti. Tanpa marah, tanpa kalimat-kalimat menyalahkan, kami dibawa ke pusara Alysa yang masih merah dan basah.


Di bawah guyuran hujan, kami menangis minta maaf pada nisan Alysa.


Jahat sekali. Setelah Alysa pergi karenanya, hujan masih juga enggan berhenti. Tidakkah kau menggigil disana, Alysa?


***


Terdengar hembusan nafas panjang. Milik Bintang.


“Sebenarnya hujan memang bukan pembunuh, kok. Kurasa kita memang tak perlu takut dengan kedatangannya. Hanya saja.. Alysa.. saat itu.. sedang kurang.. ngg.. beruntung?”


Bintang masih menatap sendu hujan.


“Mungkin itu benar,” Bintang tertunduk, lalu menoleh padaku, “Kurasa sekarang kita harus menerobos hujan sekali lagi. Kau keberatan?”


Aku mengendikkan bahu. Tidak sama sekali.


Bintang menatap hujan dengan mantap.


Lalu kami mulai berlari.

------
Sebenernya ini cerpen yang mau saya ikutin lomba (lomba ecek-ecek aja sih, nggak keren, sungguh), tapi batal. Soalnya kepanjangan. Maksimal 800 kata, dan setelah cerpen ini selesai lalu saya cek ternyata udah 1400 kata. 

Ah, sudahlah. 

Komentar