Langsung ke konten utama

Dia

Ada yang hilang dari perasaanku yang terlanjur sudah kuberikan padamu
Ternyata aku tak berarti tanpamu, berharap kau tetap disini
-Ipang-
 

Semilir angin meniup lembut ujung-ujung rambutku. Memainkan poni yang kubiarkan menutupi dahiku. Meski sayup, kudengar teriakan heboh anak laki-laki yang masih asyik bermain sepak bola di lapangan mungil kami.

Aku melirik jam tanganku. Pukul 16.12.



Daripada bermain bola, aku lebih suka menyendiri di tempat ini sepulang sekolah (catatan: lagipula aku kan perempuan). Tempat ini selalu bisa membawa pergi sebagian penatku setelah lelah memeras otak seharian (belum lagi tambahan pelajaran khusus murid kelas 3, jadi kami mendapat 'kehormatan' untuk memeras otak lebih keras lagi hingga sore menjemput). Ditemani suara gemericik air dari air mancur mungil dan para ikan mas koi yang hobi sekali berenang berputar-putar mengelilingi kolam tanpa aku tahu apa yang sebenarnya mereka cari dengan terus berenang kesana-kemari, aku melepas kejenuhanku.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang membuatku betah berlama-lama disini. Itu karena...

"Keyza!"

Aku terlonjak.

"Sudah kuduga, kamu pasti disini. Ditinggal sebentar saja ke kelas sebelah buat ambil buku, pas balik ke kelas tahu-tahu kamu sudah hilang. Kukira kamu sudah pulang tadi. Kan aku bingung, aku harus pulang sama siapa. Masa berduaan sama Bintang, kan aku malu." perempuan berambut pendek di depanku itu sibuk mengomel sambil merapikan tumpukan buku di tangannya.

"Kamu kelamaan, sih," ujarku sambil mengendikkan bahu.

"Nah, daripada kamu melamun disini, bagaimana kalau kita segera pulang sebelum mendung berubah menjadi hujan?" tanya Alysa setelah tumpukan buku di tangannya sudah rapi.

"Uh-oh, oke," aku berdiri, mengeluarkan kaleng kecil dari sakuku, makanan ikan, atau kerennya kita sebut saja pelet. Setelah menebar beberapa ke kolam, aku segera memasukkan kaleng itu kembali ke sakuku, lalu berlari kecil menyusul Alysa yang ternyata sudah cukup jauh meninggalkan kolam.

"Key," panggil Alysa begitu aku menyejajari langkahnya.

"Hm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Hm?"

"Kenapa kamu suka sekali melamun di pinggir kolam?"

Aku menatap Alysa sebentar, lalu kembali menatap ke depan, "Aku tidak melamun."

"Maksudku, kenapa kamu suka sekali duduk disana sepulang sekolah?"

"Istirahat juga aku suka kesana."

"Yah, terserah kau saja lah, Key."

"Panjang ceritanya," jawabku setelah hening beberapa saat.

Dan kenangan itu pun datang kembali...

***

Semua itu dimulai pada hari Minggu yang cerah, saatnya jalan-jalan keluarga. Sayangnya suasana hatiku tak secerah langit hari ini. Moodku hancur berantakan sejak pagi, gara-gara sayur buncis kesukaanku habis sebelum aku sempat menyendoknya. Aku tahu ini kekanakan sekali, tapi aku sedang sangat sensitif. Jadi diamlah, atau aku akan menjadi semakin marah.

Taman kota penuh oleh berbagai macam manusia. Mulai dari para keluarga bahagia seperti kami, muda-mudi yang asyik berpacaran (menjijikkan sekali!), para penjual mulai dari penjual balon, sabun gelembung, es buah, es krim, es dawet, bakso, soto, mainan, sampai penjual ikan hias pun ada. Abah, ummah, dan kedua adikku sedang asyik dengan abang penjual es krim. Biasanya aku yang paling doyan es krim. Tapi tidak hari ini, tidak dengan hati yang mendung. Maka kuputuskan untuk melihat-lihat penjual ikan hias. Melihat hewan-hewan kecil itu berenang kesana-kemari membuat hatiku sedikit terhibur.

Saat itulah.

Saat itulah aku bertemu dengannya.

Mata kami bertemu. Dan aku mematung. Matanya. Menyorot tajam dan menatapku dalam sekali. Rasanya seperti tersihir. Seluruh awan mendung yang menyelimuti hatiku sirna seketika. Kami terus berpandangan hingga...

"Neng?" abang penjual ikan hias melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

Dasar perusak suasana.

"Eh-eh, kenapa, Bang?"

"Neng nggak apa-apa?" tanya abang penjual ikan polos.

"Hah?" sepertinya si abang belum pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Masih pakai tanya, lagi.

Ng? Tunggu. Siapa yang jatuh cinta?

"Neng nggak apa-apa?" ulang abang penjual ikan, "Dari tadi saya lihat neng melongo terus."

"Eh-oh, nggak apa-apa kok, Bang. Ya udah, mari, Bang," aku cepat-cepat pergi. Selintas aku lihat dia sudah berpaling. Ah, sudahlah.

Tapi ternyata tak bisa.

Aku selalu mencoba katakan "ah, sudahlah" pada diriku sendiri, namun bayangan mata itu selalu hadir kembali. Sudah seminggu berlalu, namun semakin kuat aku mencoba melupakan, semakin kuat pula bayangan mata itu hadir kembali. Aaargh! Kalau begini kan aku jadi sulit konsentrasi belajar. Padahal try out UN sudah siap menyerbu.

Minggu datang sekali lagi, dan aku tak kuasa menahan diri untuk tidak datang lagi ke taman kota. Entahlah, padahal ia tidak pasti datang lagi kesana. Tapi aku merasa aku harus, ya, aku harus datang lagi ke taman kota.

Maka disinilah aku, taman kota. Lebih tepatnya di Gerai Ikan Hias Bang Rusdi. Mataku jelalatan mencari sosoknya.

Itu dia!

Ya ampun, itu benar-benar dia!

Sekali lagi, dengan menatap matanya saja, aku kembali tersihir. Aku terdiam, mematung, tak sanggup berkata-kata.

***

"Hoi!"

Aku terlonjak. Lagi.

"Dari tadi jalan sambil melamun, mikir apa, sih?" tanya Bintang, teman sekelasku yang kalau pulang sekolah pasti bau keringat karena hobinya bermain sepak bola. Entahlah, bermain bola sebelum pulang sekolah menjadi semacam ritual wajib baginya.

"Bukan apa-apa," jawabku sambil mengendikkan bahu.

"Tidak, ini bukan bukan apa-apa, pasti kamu memikirkan alasanmu suka menyendiri di kolam, kan?" selidik Alysa sambil merapikan tumpukan bukunya yang lagi-lagi berantakan.

"Jangan-jangan ini soal..."

"Ssstt!!" dengan sigap aku membekap mulut Bintang, "Di-la-rang!"

Bintang mencibir. Kami bertiga berjalan beriringan keluar sekolah, menyeberang jalan, lalu menunggu angkot menuju rumah kami. Kami memang (hampir) selalu pulang bersama. Alasannya? Pertama, rumah kami sejalan. Kedua, Alysa sahabat karibku dan Bintang (entah kenapa) selalu jadi teman sekelasku sejak SD. Kami (secara tidak sengaja) menjadi akrab. Ketiga, rumahku cukup jauh dari sekolah, dan kalau sudah sore begini aku tidak berani pulang sendiri.

Angkot yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kami segera masuk. Ukh! Karena angkot penuh, Alysa, aku, dan Bintang harus duduk berhimpitan. Masalahnya adalah, Bintang bau sekali!

"Yang lalu biarlah berlalu, Key. Jangan dilamunin terus."

Aku menoleh. Bintang menaikkan alisnya cuek sambil menatap jalanan. Ah ya, hanya Bintang yang tahu kenangan ini...

***

3 bulan berlalu sejak perkenalan itu. Kini kami (cukup) akrab. Sebenarnya ia lebih banyak diam, menjadi pendengar yang baik. Aku akan berkeluh kesah panjang kali lebar, mengomel sepanjang jalan kenangan, bercerita ini-itu, dan ia akan selalu mendengarkan dengan takzim sampai tuntas, hingga aku lega pada akhirnya.

Tapi, sudah beberapa hari ini ia terlihat kehilangan semangat hidupnya. Ia selalu terlihat lesu dan bahkan tak peduli ketika aku membawakan makanan kesukaannya. Apa yang terjadi?

Aku selalu mencoba menghiburnya, bersenandung di sampingnya, menceritakan hal-hal lucu, tapi ia bergeming. Mata indahnya, yang selalu kukagumi karena ketajaman dan keteduhannya, kini menatap kosong. Redup. Matanya seakan bukan mata yang dulu kukenali. Mata itu telah kehilangan cahayanya.

Segalanya telah kulakukan untuk mengembalikan keceriaannya. Namun semua usahaku seakan percuma saja. Seandainya aku tahu apa yang ia inginkan, tapi ia tak pernah  mau bicara! Tak pernah! Ia memaksaku percaya bahwa ia baik-baik saja. Maka aku berhenti bertanya apa yang terjadi.

Hingga hari itu.

Hari yang seharusnya tak pernah terjadi.

Sore itu, sepulang sekolah, aku sedikit berharap ia akan makan, dengan membawa makanan kesukaannya yang lain. Namun betapa terkejutnya aku menemukan tempat biasanya ia duduk merenung kosong. Aku mencarinya di sekitar sana sambil terus memanggil namanya. Namun ia tak kunjung terlihat batang hidungnya.

Aku mulai panik. Amat panik.

Aku bertanya pada orang-orang di sekitar sana.

"Sabar ya, Kak. Dia meninggal tadi siang." Annisa, 11 tahun, saksi mata.

Dunia rasanya berhenti berputar...

Kelam...

Suram...

Segalanya terasa gelap...

Benar-benar pukulan berat. Amat berat. Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Lidahku kelu.

Saat itu, Bintang datang. Jadilah Bintang yang niat awalnya hendak meminjam catatan sejarah karena besok ulangan harian, kujadikan pelampiasan emosi. Sesorean ia menemaniku menangis, ia rela aku pukul-pukul dan aku bentak-bentak. Padahal Bintang tak tahu apa-apa. Biarlah. Toh dia juga diam saja.

Selepas maghrib, barulah Bintang bisa pulang. Dengan membawa catatan sejarahku, tentunya. Menangis dua jam membuatku cukup lega. Meskipun, yah, kini rasanya ada lubang besar menganga di hatiku. Ya, tertawalah. Aku sedang menjadi sangat melankolis dan menggelikan sekarang, jadi tertawalah sepuasnya. Karena bagaimanalah, memang begitu yang terjadi. 

Sekarang tak ada lagi yang dengan takzim mendengarkan keluh kesahku, tak ada lagi yang menemani soreku, tak ada lagi yang, ah, sudahlah..

***

"Hoi!"

Aku terlonjak. Lagi-lagi. Kenapa aku terlihat hobi sekali terlonjak?

"Sebentar lagi kamu turun," ujar Bintang.

"Hah?" aku menoleh ke kanan-kiri, "Alysa sudah turun?"

"Sudah, lah. Kamu melamun saja dari tadi, mana sadar kalau Alysa sudah turun." Bintang mencibir.

"Siapa yang melamun," aku balas mencibir.

"Kamu. Tuh, rumahmu sudah kelewatan, kan." Bintang mencibir sambil melirik jalanan.

"Hah?" benar-benar sudah terlewat, ya ampun, "Pak, kiri, Pak!"

Angkot mengerem mendadak. Bintang terbentur pintu angkot. Ha-ha!

Aku turun angkot sambil mencibir pada Bintang yang sedang sibuk mengusap keningnya, membayar ongkos pada bapak sopir angkot, lalu berjalan santai ke arah sebaliknya, menuju rumahku.

Ah, sudah tiga bulan berlalu sejak kepergiannya. Aku sudah berdamai dengan kenangan-kenangan itu. Dia tetap menjadi nomer satu di hatiku. Ya, dia adalah Totong, kura-kura terganteng yang pernah kumiliki. Dan tak akan berubah dari dulu, kini, hingga nanti.

 Ah iya, apa aku sudah memberitahumu satu hal yang membuatku betah berlama-lama di kolam sekolah? Itu karena... ada dua ekor kura-kura disana!

Selesai:)

-----

Ini tugas mengarang cerpen bahasa indonesia saya. Teman-teman saya banyak yang bikin tentang cinta-cinta, saya nggak mau kalah, dong. Saya kan juga pernah jatuh cinta *naik-turunkan alis* *meski nggak punya alis*

Komentar