Langsung ke konten utama

album foto lawas dan kita yang bertumbuh

 kemaren saya pulang, dan menemukan tumpukan album foto lawas di musholla rumah --belum sempet ditata lagi sama Ibuk. sesorean kemaren saya, dek Ela, dan Ibuk pun kembali melihat-lihat isinya dan yang terjadi kemudian adalah: kami ngakak-ngakak heboh. adik saya menemukan fakta dia dulu sangat jamet dan preman, sedangkan saya adalah bocah uendel, kemayu luar biasa sejak balita udah suka foto miring-miring dengan gaya cherrybelle. dan kami juga takjub, foto-foto Ibuk waktu bayi ternyata mirip banget dengan foto bayi saya (dimana selama ini saya sering dibilang dan merasa nggak mirip sendiri sekeluarga). terkonfirmasi: saya bukan anak nemu di jalan.

menemukan album foto lama selalu menyenangkan. dalam setiap lembar foto itu, entah udah seberapa rusaknya, kita bisa menemukan macam-macam hal tersimpan: kasih sayang, kebahagiaan yg membuncah, rasa bangga, atau mungkin juga kesedihan.
سعادة الأسرة مفتاح سعادة الحياة
kebahagiaan keluarga kunci kebahagiaan hidup 



dan yang paling magical dari itu semua adalah: kita jadi sadar kita telah tumbuh.

foto-foto pernikahan abi dan ibuk, misal. seperti pernikahan kebanyakan orang, abi ibuk pun baru benar-benar membuka lembaran hidup baru: kerjaan belum nggenah, rumah belum ada, ya bener-bener baru mau ditata semuanya. terus tiba-tiba sekarang anaknya udah lima, semuanya bisa sekolah, semuanya bisa makan dan tumbuh dengan baik, kalau dilihat secara instan --membandingkan antara foto nikah dan kondisi sekarang, rasanya kayak, lha iya ya, kok bisa yah, siapa yang nyangka jalannya bakal kayak gini.

sama halnya ketika melihat album foto saya sendiri. si bayi yg di halaman pertama baru dipotong rambutnya saat walimatul tasmiyah itu, di halaman berikutnya udah jadi seorang bayi gendut imut yang ketiwi-ketiwi waktu difoto. di halaman berikutnya dia udah mulai bisa jalan, endel berpose waktu mainan bareng kakak dan adeknya. halaman sebaliknya dia merayakan ulang tahun ke-5-nya di TK dengan tumpeng nasi kuning besar dan balon warna-warni, kemudian dia jadi anak SD yang suka photobox bareng teman-temannya dan tentu saja, makin endel berpose macam-macam. nggak ada foto setelah itu karena ketika bocah itu SMP semua foto udah bisa diarsip secara digital dengan baik. dan tiba-tiba sekarang, bocah endel itu udah sebesar ini, udah melewati dan mencapai macam-macam hal dalam hidup, makan dan tumbuh dengan baik.

tapi sebenernya semua itu kan nggak ada yang tiba-tiba, mak bedundhuk. di dalam prosesnya ya buanyak hal terjadi.
ya pasti ada konflik yang nggak terhindarkan, ada saat-saat nangis sendirian di kamar, ada tawa yang meledak di tengah kerumun,
ada rasa putus asa dan ingin berhenti, ada juga peluk haru setelah satu pencapaian,
ada rasa sayang yang dititipkan lewat doa yang mengudara, ada juga rasa kesal yang hanya didengar tembok kamar,
ada harapan-harapan yang tergantung di langit-langit rumah, ada air mata yang teresap di bantal kamar,
semua itu nggak seluruhnya terdokumentasi, tapi mereka jadi saksi bahwa kita telah tumbuh dengan baik, lahir dan batin.

pada akhirnya, setelah melihat beberapa album foto lawas itu, setidaknya saya dapat dua hal: rasa syukur dan harapan.

nggak ada satu hal pun yang patut nggak saya syukuri dari pertumbuhan diri. dalam setiap lembar foto, ada rasa sayang abi dan ibuk yang ikut terjepret, ada rasa bahagia dan bangga bahwa anak mereka lucu dan bisa melakukan ini-itu (iya pokoknya saya lucu). dalam setiap jepret foto saya dengan orang-orang lain pun, membuat saya bersyukur bahwa Tuhan Yang Maha Baik telah memposisikan saya di tengah orang-orang baik. keluarga, teman-teman, kenalan-kenalan yang lain, semuanya datang dan pergi, saling memberi warna di hidup masing-masing, entah memori itu menyenangkan atau nyebelin, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. saya, begitu juga orang lain yang hadir di setiap lembar foto itu, telah bertumbuh sebagai manusia yang utuh. ya dhohir ya bathin. ya secara fisik maupun kognitif dan emosional.

lalu rasa syukur itu membawa sebuah harapan: saya dulu pernah melewatinya, sekarang pun juga pasti bisa.
langkah pertama saya pasti nggak mudah, ya pasti jatuh dulu, tapi toh waktu itu saya berhasil melewatinya dan sekarang udah pandai berlari --dari kenyataan terutama.
saya baru bisa naik sepeda di kelas 4 atau 5, seberapa malu dan putus asanya saya waktu itu, ketika pertama kali belajar pun pasti ada acara jatuh dan nyungsep, tapi toh saya berhasil melewatinya. jangan tanya sekarang, saya bahkan udah berhasil motoran pp solo-jombang-surabaya-solo lagi dalam waktu 2 hari 2 malam.
ini berlaku juga untuk hal-hal lain: pertama kali ke dokter gigi, pertama kali lomba pidato, pertama kali tampil di depan orang banyak, pertama kali ujian nasional, pertama kali patah hati. untuk abi dan ibuk mungkin ada pertama kali dapat kerja, pertama kali tinggal terpisah dari orang tua, pertama kali punya anak, pertama kali mengantar anak ke sekolah, dan seterusnya.
selalu ada pertama kali untuk segala hal. nggak selalu mudah, nggak selalu berhasil, sering-seringnya malah diwarnai rasa ragu, takut, dan khawatir tentang apa aku bisa? apakah ini akan berjalan dengan baik?

tapi toh pada akhirnya, saat kita melihatnya lagi saat ini, semua pertama itu selalu berhasil terlewati. seberapa sulit dan gelapnya, entah berhasil atau enggak, entah berjalan baik atau enggak, tapi semua itu udah kelewat, kan?
nggak masalah apapun itu hasilnya. kita kan nggak pernah punya kendali atas apa yang kita dapatkan.
yang bisa kita kendalikan adalah apa yang kita berikan, apa yang kita lakukan, apa yang kita usahakan. ya selama kita udah memberikan apa yang kita mampu, itu aja udah cukup. sadar nggak sadar, dalam prosesnya kita telah bertumbuh. berhasil atau nggak, setelah proses itu terlewati setidaknya kita menemukan diri kita belajar.

waktu saya pertama kali belajar berdiri, saya cukup yakin waktu itu saya nggak pernah berpikir akan bisa berlari dan melompat. dan itu nggak perlu. saya, dan setiap bayi lain di seluruh dunia yang sedang belajar berdiri, ya hanya mencoba untuk berdiri. gimana caranya agar tetap tegak berdiri tanpa dipegangi ibuk atau berpegang pada pinggiran meja, saya cukup hanya belajar berdiri.
ketika sudah berhasil, saya pun mencoba langkah pertama. saya nggak perlu berpikir soal berlari dan melompat, saya hanya perlu mencoba melangkah satu langkah pertama.

yang coba saya sampaikan disini adalah, setelah dewasa, rupanya saya sering menahan langkah karena ragu dan cemas: bisa nggak ya. saya ragu daftar lomba karena juara nggak ya. saya takut mau sidang karena lulus nggak ya, ngulang nggak ya. saya galau dan cemas dengan hafalan saya karena bisa selesai nggak ya. saya khawatir dengan gangguan tidur saya karena bisa sembuh nggak ya.
wah, ternyata saya sering mikir kejauhan.

padahal saya hanya perlu melakukannya langkah demi langkah. untuk ikut lomba, saya hanya perlu mendaftar dan mengirim karya. untuk sidang skripsi, saya hanya perlu mendaftar sidang, menyiapkan presentasi, dan berlatih menjawab. untuk hafalan, saya hanya perlu menghafal dan menyetorkannya lembar demi lembar per hari. untuk gangguan tidur, saya hanya perlu minum obat dengan rutin, tidur siang, dan nggak begadang setiap hari.
semua bisa nggak ya itu nggak ada gunanya, ya karena nggak ngaruh juga sih. pertanyaan tentang hasil akhir itu hanya membuat buram pandang saya, membuat berat langkah. pada akhirnya, banyak kesempatan terbuang karena terlalu khawatir atas hasil.
padahal saya hanya perlu melakukannya selangkah demi selangkah. ketika saya berpikir tentang apa yang bisa dan mampu aku lakukan sekarang, langkah jadi lebih ringan, pandangan jadi terang.

small wins matter. entah pada akhirnya menang lomba atau enggak, seenggaknya saya udah menang melawan rasa malas saya dan menyelesaikan sebuah karya. entah akhirnya saya lulus sidang atau enggak, seenggaknya saya udah menang melawan serangkaian mumet saya dan berhasil menyelesaikan skripsi, membuat ppt, melakukan presentasi sebaik yg mampu saya lalukan. entah akhirnya saya khatam atau enggak, seenggaknya saya berhasil melawan malas dan putus asa hari demi hari, lembar demi lembarnya. dan entah saya akhirnya sembuh atau enggak, seenggaknya saya berhasil melawan denial atas gangguan saya dengan minum obat tiap hari, saya berhasil mentreatmen tubuh saya dengan tidur siang dan nggak begadang kemaleman tiap hari.
dan semua itu udah cukup.

entah hal-hal aneh apa lagi yang saya akan temui di hari besok, seharusnya nggak terlihat begitu menyeramkan. ya emang sulit tapi lalu kenapa? toh saya, dan kita semua, pernah melewati hal-hal aneh dan sulit juga di masa lalu. nggak masalah, kita hadapi lagi sekarang, selangkah demi selangkah.

tapi masalahku ini kan lebih sulit dari masalah-masalah di masa lalu?
ya iya emang. soalnya kamu juga udah lebih pinter, lebih dewasa, dan lebih kuat dari dirimu di masa lalu. orangnya naik kelas ya ujiannya lebih susah.
belajar jalan buat anak setahun tuh nggak gampang, lho. belajar naik sepeda buat anak yang sama sekali belum bisa juga nggak gampang. ujian nasional SD buat anak SD ya nggak gampang.
intinya sama aja, kan?

jadi yasmin,
dan siapapun yang sedang membaca tulisan ini,
terima kasih ya, telah tumbuh dengan baik.
terima kasih karena telah melewati masa-masa tersulit dan terberatmu di masa lalu.
terima kasih karena telah tertawa atas hal-hal lucu dan menangis atas hal-hal menyedihkan.
terima kasih karena selalu menjalani hidupmu secara utuh.
terima kasih karena selalu bersama dengan dirimu sendiri.

apapun yang sedang atau akan kamu temui, percaya deh, kamu tuh pasti bisa.
kamu nggak perlu mikir gimana hasilnya karena itu kan urusannya Allah.
hadapi aja,
selangkah demi selangkah.
berat, ya?
gapapa.
lakukan aja selangkah hari ini.
cukup satu langkah pun nggak apa-apa.
selangkah lagi besok.
selangkah besoknya lagi.
kalau kamu tersandung dan jatuh? ya gapapa.
istirahat dulu.
terus berdiri pelan-pelan.
ambil selangkah lagi kalau kamu udah baikan.
lalu lanjutkan.

suatu saat nanti, kamu akan ada di titik dimana ketika kamu noleh ke belakang, kamu akan takjub sama dirimu sendiri karena garis startmu ternyata udah terlewati sebegitu jauhnya.
tuh, nyatanya bisa, kan?

nggak usah muluk-muluk mau jadi apa atau siapa atau bagaimana.
jadi dirimu yang melangkah satu langkah setiap hari aja udah sangat cukup.

saya yang sekarang udah segede ini ya dulu pernah jadi buah hati Abi dan Ibuk




Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Hi Yas,

    ini tulisan bagus, dalam, dan hangat. Ini tulisan yang punya kehangatan yang sama (meski tidak persis) saat aku baca tulisanmu yg berjudul "bye, 2021. hello, 2022!". Aku baca pada Februari 2022 (kalau tidak salah)

    Karena tidak banyak orang yang masih menulis, maka aku menyimak tulisan-tulisanmu lagi. Tidak banyak yang menulis di blogspot, ini mengingatkanku saat bermain platform itu waktu SMP, sekarang kan udah pada pindah ke medium.com km tidak berminat pindah di situ? hahahah ya bebas ajasih

    TUlisanmu yang ini sedikit banyak menguatkanku, aku membaca ini tepat saat lagi di bawah, 2 hari lalu aku diputus pacarku, hari yang sulit. DIputus lewat chat dengan sakpenake dewe membuatku nangis sak nggon-nggon : di motor, di tempat tidur, waktu denger khotbah jum'at, di pom bensin waktu antri ngisi pertalite, ah banyak, padahal masih 2 hari.

    Tentu, seperti pesan di tulisanmu yang ini, memang ini patah hati pertamaku, dan yang pertama memang selalu berat.

    Terus menulis Yas, ak bakal Baca.

    Regards,

    Conan Edogawa

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah lewat 2 bulan sejak komentar ini dikirim, aku yakin sekarang kamu udah jwauh lebih baik. entah kamu akan baca balasan ini atau engga, makasih banyak yaa bertahan sampe disini! pasti berat, tp kamu pasti bisa bertahan! ✨

      aih, komentarmu jg sangat hangat dan dalam, makasih banyak yaa:')

      Hapus

Posting Komentar