Langsung ke konten utama

Menjadi Kakak


Bagian terbaik dari menjadi seorang kakak adalah melihat adik kecilnya tumbuh dengan baik. Lihat dia, dia bukan lagi adik kecil yang dulu bisa kugendong dengan mudah di pundakku saat menonton pertunjukan topeng ireng di lapangan desa. Dia telah tumbuh menjadi gadis cantik yang cemerlang. Lihat? Bahkan dia sudah pintar berdandan. Bibir dan pipinya bersemu merah muda. Tapi kau tahu apa yang paling membuatnya terlihat begitu manis? Gigi kelinci dan lesung pipi yang muncul saat ia tersenyum dan tertawa. Persis seperti punyaku. Aih, sudah kubilang kan, dia benar-benar adik perempuanku.

Aku tak bisa berhenti tersenyum lebar setiap melihatnya melintas. Jas putihnya melambai tertiup angin karena biasanya ia berjalan agak tergesa. Kacamatanya melorot karena hidungnya pesek, sama seperti hidungku. Kadang-kadang keningnya berkerut. Hmm, praktik kerja langsung di rumah sakit sungguhan agaknya cukup membuatnya pusing dan lelah, eh? Itulah kenapa aku selalu menunggunya disini. Tak ada yang bisa kulakukan untuk memberikan hiburan di tengah harinya yang melelahkan kecuali selalu menyapa dan memberinya semangat setiap dia melewati bangsalku. Dia akan menoleh ketika kupanggil namanya, membalas tersenyum lebar dan segera berlalu. Hatiku mengembang beberapa kali lebih besar ketika melihat gigi kelinci dan lesung pipinya. Tak apa. Hanya bisa melihatnya beberapa detik dalam sehari pun tak apa. Itu saja sudah cukup menjadi alasanku untuk tetap bertahan.

Rumah sakit ini begitu besar. Adikku yang manis dan sibuk harus berkeliling sedangkan aku tak bisa kemana-mana. Maka kami membuat kesepakatan: dia akan menyempatkan diri melewati bangsalku setiap pagi dan sebelum jam istirahat siang, sedangkan aku akan selalu menunggunya di jendela sehingga ia tak perlu repot-repot masuk. Begitulah kami saling mendukung sebagai sepasang kakak beradik. 

***

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun aku menyapa penuh semangat ketika adikku melintas di depan bangsalku. Dia menoleh, begitu juga kedua teman yang berjalan di sampingnya. Ia membalas dengan senyum lebar sambil mengangguk, sedangkan kedua temannya menyusul. Lihat, meskipun di depan kedua temannya dia tetap membalas sapaanku tanpa keraguan. Dia sama sekali tidak malu dengan kondisi kakaknya, dan itu selalu membuatku terharu. Cepat-cepat kuusap air mataku sebelum ia melihatnya. Aku harus terlihat kuat sehingga adikku juga bisa lebih kuat. Kulihat ujung jas putihnya menghilang dari pandangan, kurasa mereka buru-buru pergi ke kantin rumah sakit sebelum semakin ramai dan kehabisan waktu istirahat. Ah, kuharap adikku bisa makan dengan baik.

Kalau aku tidak salah ingat, sudah berlalu tiga pekan dia praktik disini. Itu artinya tersisa satu pekan lagi kesempatanku bisa melihatnya setiap hari dari jendela ini. 

Aku menoleh ketika perawat menepuk tangannya beberapa kali. Oh, ini juga waktunya kami makan siang. Baiklah, aku juga harus makan dan minum obat dengan baik sehingga bisa segera menyusul adikku pulang ke rumah. Bersama tiga orang pasien lain, aku bergegas ke depan bangsal mengangkut nasi, sayur, lauk, dan buah, sedangkan pasien lain mulai menata kursi-kursi plastik di sekitar meja ruang tengah. Perawat mulai membagikan makanan, dan oh, hari ini buah yang mereka berikan adalah pisang. Kesukaan adik kecilku. Dari kecil dia suka sekali makan pisang, saking sukanya sampai kupanggil dia monyet cantik. Jika sudah begitu dia akan memonyongkan bibirnya dan memukul lenganku sampai aku berhenti mengejeknya. Tapi bagaimana bisa? Wajahnya justru semakin menggemaskan saat marah dan itu membuatku tak bisa berhenti mengejeknya. Akhirnya dia akan mengadu pada ibu dan aku segera kabur sambil terkikik.

Aih, kangennya. Cepat-cepat kumasukkan pisang itu ke saku, nanti atau besok akan kuberikan pada adikku yang lucu. Membayangkan ekspresi kegirangannya saat menerima pisang ini saja sudah cukup membuatku senang seharian.

“Waduh, kayaknya lagi bahagia banget hari ini, Mas Pur?” perawat bangsal menggodaku sambil terus membagikan jatah makan siang, “Ada apa lagi, hari ini?”

Senyumku semakin lebar, tak perlu repot-repot menjelaskan soal pisang padanya, salah-salah nanti dia malah melapor pada adikku dan kejutanku gagal. Tanpa banyak bicara, segera kuselesaikan makan siangku dan pergi kembali ke ruang tidur. Aku kembali duduk di atas ranjang menghadap ke jendela, siapa tahu adikku kembali lagi. Aku terus menunggu hingga tiba-tiba datang rasa kantuk luar biasa. Mataku sangat berat, kepalaku juga. Rupanya sudah waktunya. Obat-obat itu mulai menjalankan tugasnya. Kucoba menahannya sebentar dengan menyandarkan kepala ke tangan, namun kemudian aku menyerah dan mulai memposisikan diri dengan benar di atas ranjang. 

***

Hampir-hampir aku berteriak saking girangnya ketika melihat adik kecilku berdiri di depan pintu bangsal sedang menekan botol hand sanitizer, lalu mulai menggosok-gosok kedua tangannya. Itu artinya dia mau masuk! Benar saja. Bersama seorang temannya, ia mengekor psikolog masuk dan menutup kembali pintu bangsal. Aku segera turun dari ranjang, hampir terjengkang saking gugupnya, buru-buru menuju cermin di dekat pintu masuk ruang tidur untuk menyisir rambutku. Ah, andai aku tahu hari ini jadwal kunjungannya ke bangsalku, tadi pagi seharusnya aku keramas dengan sampo banyak-banyak. Di kota ini air begitu dingin apalagi saat pagi hari, membuatku tak sanggup mandi keramas setiap hari. Untuk mengakali perawat, pura-pura saja kubasahi kepalaku dengan mencipratinya. Aku lebih bisa menahan gatal di kepala daripada harus berhadapan dengan air dingin yang rasanya bisa-bisa membuat otakku beku. Biasanya gigiku sampai bergemeletukan setiap selesai keramas, tapi tentu saja bisa kutahan jika untuk menemui adikku. Bagaimana bisa aku menemuinya dengan rambut berantakan dan bau begini?

Kudengar suara girangnya menyapa perawat. Aku segera kembali ke ruang tidur dan mengintip dari pinggir pintu. Adikku yang manis bersama temannya mengangkat setumpuk buku biru dari meja perawat dan mengikuti psikolog duduk di kursi plastik di meja ruang tengah. Dari tempatku berdiri, kini aku hanya bisa memperhatikan punggung dan rambut buntut kuda adikku yang bergoyang-goyang tiap ia bergerak. Hari ini adikku menggunakan pita warna kuning, warna kesukaannya dari dulu.

Pita rambut kuningnya mengingatkanku pada liburan pertamaku saat masih di akademi militer. Sebelum sampai rumah, aku sempatkan mampir sebentar ke toko aksesoris di pinggir jalan. Mbak-mbak yang duduk di belakang meja kasir menahan tawanya saat melihatku menyodorkan jepit rambut warna kuning padanya.

“Pasti buat pacarnya Mas Tentara, ya?”

Aku hanya tersenyum simpul dan segera membayar.

Sesampainya di rumah, Ibu dan Ayah menyambutku dengan gembira dan segera mengarahkanku ke meja makan. Ibu telah memasak besar demi merayakan kepulangan pertamaku. Tapi tentu saja aku tak bisa langsung makan, di mana monyet kecilku?

“Ah iya, ini sudah waktunya Adek pulang. Ayah akan menjemputnya, Mas makan saja dulu. Ayah akan cepat sehingga kami bisa sampai sebelum makanmu selesai,” kata Ayah sambil beranjak mengambil helmnya di atas lemari.

“Ah, biar Mas saja, Yah,” aku segera beranjak dan meraih helm di tangan Ayah, “Adek pasti kaget lihat Mas yang datang.”

Ayah tersenyum lalu menyerahkan kunci motor. Benar saja, adikku terbelalak dan segera meloncat girang ke boncengan begitu melihatku datang. Dia terlihat berbeda dengan seragam putih biru, juga karena ia mulai mengikat rambutnya dan menggunakan pita warna-warni. Rupanya adik kecilku mulai tumbuh dewasa. Dia bukan lagi anak SD yang rambutnya berantakan. Sepanjang jalan pulang dia mengoceh tentang betapa dia telah menungguku pulang untuk menceritakan hari-harinya di sekolah baru yang mengasyikkan. Kemudian dia mulai menyalahkanku karena saking lamanya dia menunggu, cerita-cerita itu sekarang sudah tidak asyik lagi. Namun begitu kuberikan jepit kuning itu, dia berhenti marah dan kembali mencerocos senang. Aku tertawa, memang selalu semudah itu mengembalikan suasana hatinya

Sejak itu, akulah yang bertugas menjemputnya pulang sekolah setiap aku libur dari akademi. Dia tak berhenti mengoceh sejak pertama meletakkan pantatnya di boncengan sampai tiba di rumah, bahkan di hari-hari terlelahnya ketika aku menjemputnya menjelang maghrib karena dia harus mengerjakan ini-itu sebagai pengurus OSIS. Kurasa kemampuan bicaranya yang menakjubkan itu pula yang membuatnya cukup berhasil di bangku kuliah. Itu membuatku lega dan tenang, karena meskipun ia mengambil jurusan itu demi aku, tapi nyatanya ia bisa menjalaninya dengan baik. 

Lihatlah dia sekarang, mulai mewawancarai pasien satu per satu dengan lancar. Tak ada lagi gurat ketakutan seperti pertama kali aku melihatnya di pekan pertama. Waktu itu gerakannya masih kaku dan bicaranya masih terbata-bata. Mungkin karena baru pertama, dan mungkin juga karena dia kaget ketika menemukanku di antara nama-nama pasien yang lain. Sebenarnya waktu itu aku juga sama kagetnya. Aku tahu adikku yang manis kuliah di suatu tempat tapi tak kusangka dia akan praktik disini. Sebelum ini, beberapa kali sekelompok mahasiswa datang dan pergi untuk praktik, selalu kuperhatikan wajah mereka satu per satu siapa tahu adikku ada di antaranya. Tak pernah kutemukan, hingga akhirnya datang juga hari ini. Meskipun kurasa dia sengaja memilih rumah sakit ini, tapi sekuat tenaga kutahan untuk tak langsung menyapa begitu melihatnya masuk. Aku ragu dia akan menjawabku di depan kawan-kawannya. Siapa tahu dia akan malu? Siapa tahu dia merahasiakan kenyataan bahwa kakaknya dirawat disini dan menghindari berkontak denganku? Jadi meskipun kerinduanku padanya sudah meluap-luap karena setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihat wajahnya lagi, kutahan air mataku dan memilih bersembunyi di belakang pintu ruang tidur. Memperhatikannya mewawancarai pasien lain dari jauh saja sudah cukup bagiku.

Namun kemudian, kudengar suara renyahnya memanggil namaku.

Aku diam. Ia kembali memanggil namaku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. 

Aku masih diam. Sungguhkah dia memanggilku? Ah, saking senangnya, waktu itu aku sampai tidak berani beranjak.

Adikku lalu menghampiri meja perawat dan menanyakan namaku sekali lagi. Sebelum perawat sempat menjawab, takut-takut aku berjalan mendekatinya.

“Nah, itu dia,” ujar perawat menunjukku, lalu kembali duduk.

Adikku menoleh dan tersenyum, ia berjalan kembali ke meja tengah, sedangkan aku mengekor di belakangnya. Dia kembali tersenyum lebar saat mempersilakan aku duduk karena aku masih berdiri canggung di depannya. Ternyata begini rasanya melihat adik kecilku tumbuh dewasa. Ia pun memulai wawancara, dan melakukannya persis seperti arahan psikolog. Satu dua kali ia tergagap, bulir keringat berkejaran di dahinya. Apakah kamu segugup itu mewawancarai kakakmu sendiri, Dek?

Aku menjawab tepat seperti yang ia tanyakan, tak ada basa-basi atau kelakar selayaknya dulu jika kami bertemu setelah sekian lama. Aku berusaha sebisa mungkin membuatnya menjalankan tugas dengan baik. Jika aku berkelakar dan dia kebingungan menjawabnya di depan psikolog pembimbing dan kawan-kawan kuliahnya, bukankah itu akan membuatnya dalam masalah?  

Namun di akhir wawancara hari itu, kuberanikan diri untuk bertanya padanya, akan berapa lama dia praktik disini.

Keempat jarinya teracung, “Empat minggu,” katanya.

Aku diam, sementara dia melanjutkan mencatat sesuatu. Takut-takut aku lanjutkan, “Mas tunggu Adek di jendela setiap hari, ya.”

Dia berhenti mencatat. Kepalanya menengadah. Di balik kacamatanya, kulihat alisnya bertaut. O-oh, apakah aku membuatnya tidak nyaman?

Tapi dia lalu segera tersenyum, “Tidak perlu repot-repot, lho, Mas.”

Aku ikut tersenyum. Sejak hari itu aku tak pernah absen menunggunya di jendela dan dia selalu menyempatkan diri lewat depan bangsalku. Ya, seperti itu saja sudah cukup. 

Hari ini, untuk kedua kalinya ia kembali mengunjungi bangsalku. Aku masih mengintip takut-takut dari balik pintu ruang tidur. Satu, dua, tiga pasien, ia melakukan wawancara dengan baik dan lancar. Kawannya di meja yang lain juga begitu. Sedangkan psikolog sedang berbincang di meja perawat. Dadaku berdebar menunggu giliran, akankah namaku dipanggil adikku? Atau oleh kawannya?

“Mas Purwanto?”

Aku tersentak saking kagetnya. Syukurlah. Kulihat mata adikku mengerjap-ngerjap mengikuti gerak tubuhku mendekatinya. Begitu aku duduk di depannya, ia segera menyapaku riang. Menanyakan bagaimana perasaanku hari ini. Membaca catatan, membalik-baliknya. Menanyakan ini dan itu. Memujiku karena sudah pintar membantu perawat menyiapkan makan. Lalu mengatakan bahwa perkembanganku sudah cukup baik sehingga jika aku meneruskan minum obat dengan rajin seperti hari-hari sebelumnya, aku bisa pulang dalam waktu dekat.

“Senang ya Mas, sebentar lagi sudah bisa ketemu dengan keluarga lagi?” ujarnya sambil menengadahkan pandangan dari catatan di buku biru, menatapku sambil tersenyum lebar.

Tentu saja. Mas sudah kangen luar biasa padamu, Dek.

Ia menutup buku, mempersilakanku untuk kembali beristirahat. Aku beranjak, namun segera kembali lagi padanya setelah mengambil sesuatu dari lokerku. Kuletakkan empat buah pisang di depannya sebelum ia sempat memanggil pasien lain. Kedua alisnya terangkat melihat pisang-pisang itu.

“Ini pisang buat Adek,” kataku lirih, “Mas tak sanggup makan karena ingat Adek paling suka makan pisang.”

Alisnya terangkat semakin tinggi. Dia tersenyum lalu menyorongkan pisang-pisang itu padaku, “Tak perlu, Mas. Silakan dinikmati sendiri,”

Aku menggeleng tegas. Dia benar-benar sudah dewasa rupanya, sudah bisa menolak makanan kesukaannya. Kusorongkan kembali padanya, “Pokoknya buat Adek. Dan tolong sampaikan salam Mas buat Ibu dan Ayah, ya. Katakan jika sudah waktunya Mas pulang, tolong jemput dengan mobil biar Adek bisa ikut pulang juga.”

Aku ingin mengelus kepalanya. Sebelum tanganku sempat menyentuh kepalanya, ia menengadah dan kembali mempersilakanku beristirahat. Kutarik tanganku kembali.

“Baiklah, jaga kesehatan ya, Dek. Mas akan selalu mendukungmu apapun yang terjadi. Mas janji akan segera sembuh.”

Aku segera kembali ke ruang tidur. Dari jauh kulihat dia memasukkan pisang-pisang itu ke sakunya, lalu memanggil nama pasien lain. Bagus, adikku harus makan pisang yang banyak. Karena, apalagi yang bisa kuberikan padanya? Sejak aku jadi sakit sepulang dari penugasan di daerah konflik, aku tak bisa lagi bekerja dan diberhentikan. Kerjaanku hanya merepotkan keluarga dengan keluar masuk rumah sakit jiwa. Adikku yang baik itu pun memutuskan kuliah di jurusan psikologi demi kakaknya yang tak berguna ini. Ia telah memberikan semuanya, dan aku hanya bisa memberinya empat buah pisang.

Tunggulah sampai kakakmu ini sembuh, Dek.

***

Aku menutup kembali pintu bangsal. Psikolog pembimbing kami sudah lebih dulu pergi, sehingga aku berjalan kembali ke gedung diklat berdua saja dengan kawanku. Aah, lelah juga hari ini. Kawanku memutar-mutar kepalanya dan aku mencoba memijat pundakku sendiri.

“Adeek!”

Aku menoleh dan kutemukan ia sedang melambai riang dari jendela. Aku membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk. Kurasa aku sudah terbiasa. Satu pekan pertama aku selalu terlonjak kaget setiap mendengar panggilannya. Haruskah aku jawab? Atau lebih baik pura-pura tidak dengar saja? Tapi karena kurasa terlalu jahat untuk tak menghiraukannya, jadi kuputuskan tersenyum saja dan mempercepat langkah. Dan ia selalu begitu setiap aku melewati bangsalnya, yang berarti adalah setiap hari, karena bangsalnya berada tepat di samping jalan utama.

Aku melirik kawanku yang masih saja tersenyum-senyum kecil.

“Gimana?” tanyanya.

Aku menggeleng, melepas pita kuningku dan mengikatnya kembali karena sepertinya rambutku sudah mulai berantakan, “Kukira sudah lebih baik karena dari rekam medis dia sudah banyak melakukan kemajuan. Lebih dari tiga minggu dia disini, tapi wahamnya seperti belum ada perkembangan,” Aku memasukkan tanganku ke saku jas dan menemukan pisang-pisang itu disana. Tiga di antaranya sudah mulai membusuk. Aku tersenyum kecut.

Temanku menghela nafas panjang, “Yah, setidaknya kata perawat dia jadi sangat tenang dan kooperatif sejak ada kamu. Kasihan dia, sebelum ini sudah berapa kali mendapatkan ECT? Dua? Eh, atau tiga?”

Aku menoleh ke belakang, menatap bangsal itu dari kejauhan, “Empat.”

***

Ah, datang lagi. Sesak ini datang lagi. Aku kesulitan bernafas karena jantungku berdebar terlalu kencang. Rasanya seperti aku tidak bisa mendengar hal lain selain detak jantungku. Kalau sudah begini, kurasa aku harus melewatkan obat lagi. Satu kali saja dan tidak akan jadi masalah, kan?

Waktunya minum obat, kusembunyikan mereka di bawah lidahku. Setelah menunjukkan mulut kosongku pada perawat, aku bergegas kembali ke ruang tidur dan kumuntahkan kembali mereka lalu kusembunyikan di dalam sarung bantal. Ah, disana masih ada obat kemarin dan kemarinnya lagi. Aku lupa rupanya aku telah melewatkan beberapa kali obat siang. Tapi seharusnya tidak apa-apa, kan? Aku masih meminumnya di pagi dan malam hari. Ya. Kurasa tidak akan jadi masalah.

Aku kembali duduk di ranjang menghadap jendela. Dimana adik kecilku? Aku sudah merindukannya sejak terakhir kali menyapanya pagi tadi.

Berhentilah menyapanya. Ia membencimu.”

Aku melirik ke kanan dan ke kiri dengan marah. Siapa itu? Berani-beraninya mencoba membohongiku?

“Kamu tidak berguna. Adikmu sudah mati. Kamu juga akan mati.”

Aku mencoba diam kali ini. Pergilah. Aku tidak mau mendengarmu.

“Adikmu mati karena kamu tidak berguna. Kakak payah. Matilah dan pergilah ke dasar neraka.”

Tahan. Apa yang perawat katakan soal orang-orang jahat yang suka berbisik padamu? Usir mereka. Mereka tidak nyata.

Tapi mereka mulai tertawa kencang seakan ingin memecahkan gendang telingaku.

“Hahaha.. Bodoh sekali.. Orang bodoh seharusnya mati saja. Sana susul adik monyetmu dan membusuklah di neraka bersamanya.”

Aku sudah tidak sabar lagi. Kuusir mereka dengan membuat suara lain yang lebih keras. Aku berteriak. Mereka semakin ramai. Aku memukul-mukul ranjang. Tawa mereka semakin kencang. Aku butuh membuat suara yang lebih keras. Kupukul-pukulkan kepalaku ke teralis jendela. Pergilah! Jangan ganggu aku dan adikku! Kami sudah bertemu lagi setelah sekian lama, kumohon pergilah dan berhenti ganggu hidupku!

Sesuatu menahan kedua lenganku, perawat mulai berdatangan. Setelah itu segalanya berjalan dengan cepat dan membingungkan. Mereka semakin riuh bahkan meneriakkan  berbagai makian di telingaku. Aku berusaha sekuat tenaga mengusir mereka namun para perawat sialan itu mulai mengikat tangan dan kakiku.

Aduh. Mereka menusukkan sesuatu di lenganku. Suara-suara itu mulai sayup. Mataku memberat. Tenagaku untuk memberontak seperti sudah disedot hilang.

Tiba-tiba badanku mengejang, mataku silau, dan datanglah hening yang panjang. Suara itu seketika hilang. Aku tak bisa berpikir. Namun kemudian kelebatan-kelebatan memori menghantam berkilatan. Cepat sekali seperti film yang diputar dengan kecepatan penuh. Pemandangan jalan di sore hari. Depan sekolah adikku yang kosong. Rasa takut yang memuncak. Angkot kosong yang berhenti di samping kebun tebu. Sepatu hitam dengan aksen kuning yang tergeletak di depan pintu angkot. Lelaki gendut dengan celana melorot di tengah rimbunan tebu. Gadis remaja terkapar di bawahnya. Rambut yang masih setengah terikat dengan pita kuning. Seragam SMP compang-camping. Suara tangis memilukan. Gelap. Perkelahian. Batu. Darah yang mengucur deras. Tangis lagi. Lalu suara sirine yang memekakkan.

Badanku mengejang untuk yang kedua. Silau lagi. Kilat-kilat dan suara jepretan kamera berkejaran. Hakim mengetuk palu. Jepretan kamera lagi. Jeruji besi. Dingin.

Kejang ketiga. Mataku kembali silau. Kali ini pintu rumah yang terbuka. Ayah menangis. Ibu tergeletak di sofa ruang tamu. Orang-orang berkerumun di kamar. Kantong plastik berisi pisang yang jatuh dari tanganku. Kaki mungil yang pucat menggantung dari langit-langit.

Kejang keempat. Semuanya silau.

***

Aku mencuri-curi pandang penasaran karena tak terdengar lagi suaranya memanggilku sejak beberapa hari lalu.

“Mungkin sudah pulang?” tanya kawanku yang ikut menengok ke jendela bangsal.

Aku mengangkat bahu, “Mungkin.”

Kami meneruskan langkah kembali ke gedung diklat. Aku tak tahu bahwa ia masih duduk di atas ranjang dan menghadap jendela, namun kali ini ia menatap kosong jalan yang berbeda.


Magelang, 15 Mei 2020

Komentar

  1. " Menjadi Kakak " adalah cerpen agak membingungkan, karena penulis bertutur sbg tokohnya, tetapi perpindahan dari satu tokoh ke tokoh yg lain tak cukup berindikasi.
    Ceritanya bagus, hanya sedikit mbulet.
    Akan lebih bagus bila penulis bertutur utk satu tokoh saja, sehingga konfliknya menjadi lebih dramatis

    BalasHapus
    Balasan
    1. matur nuwun, Abi 😂💜 mpun kiki catet saran2 Abi, hehew

      Hapus

Posting Komentar