Langsung ke konten utama

Berbagai Apakah Tentang Rumput Liar

Bakda subuh tadi ngaji Romoyai libur, santri-santri diinstruksikan untuk kerja bakti. Santri putra ke wilayah lingkar luar pondok, sedangkan santri putri di lingkar dalam. Waktu saya dengar pengumumannya dengan sisa-sisa belek masih menempel di mata, dalam sepersekian detik terbersit, "Duh mendingan ngaji daripada kerja bakti, males." dan segera digantikan perasaan bersalah, "Ya Allah yasmin males banget tolong."

Banyak yang harus dilakukan di dalam pondok: menyapu kamar-kamar, menyapu plus mengepel gedung sholawat, membersihkan daerah sekitar ndalem para yai, termasuk mencabuti rumput liar, dan saya menjadi salah satu dari sekian orang yang melakukannya. Selain karena rumput-rumput itu memang harus dibersihkan, juga karena nggak ada kerjaan lain yang tersisa.

Sekitar ndalem para yai ada banyak pohon dan tanaman: mangga, jambu, semak perdu, dan banyak tanaman hias dalam pot entahlah apa nama-nama mereka. Di antara mereka semua, tentu saja nggak terelakkan tumbuh rumput-rumput liar. 

Ketika saya mulai ndodok-ndodok cantik mencabuti mereka satu per satu, menjadi perantara mereka menuju kematian, kepala saya mendadak dihujani pertanyaan-pertanyaan.

Kenapa mereka harus dicabuti?
Sakit nggak ya?
Apa sekarang Malaikat Izrail ada di dekat saya sedang mencabut nyawa rumput-rumput liar itu bersamaan dengan saya menarik mereka tercerabut dari tanah?
Apakah mencabuti mereka benar-benar perlu atau ini sebenernya cuma arogansi manusia aja? Padahal mereka cuma pengen hidup dan tumbuh, nggak pernah memilih terlahir sebagai rumput liar yang kebetulan tumbuh di sekitar rumah dan di antara tanaman hias, harus dicabuti karena dianggap merusak estetika dan mengganggu tumbuhnya tanaman hias yang lain.
Kalau rumput liar bisa berpikir, apa mereka akan membanding-bandingkan hidupnya dengan hidup tanaman hias di pot? Padahal tanaman hias dan rumput liar kan sama-sama nggak diberi pilihan sama Allah mau diciptakan sebagai apa. Tapi begitu lahir di dunia, yang satu disayang-sayang, dihargai mahal, ditempatkan di pot, disiram tiap hari, dipupuk, dirawat baik-baik, dan yang satunya dibabat habis, dicabuti, nggak diinginkan, dibuang. Kalau diberi kesempatan, apa mereka nggak akan protes?

Coba bayangkan. Titik-titik biji mikroskopis berterbangan di udara, ada yang nggak sengaja menempel di bulu-bulu hewan, pakaian, terhembus angin, terbawa air, dan di satu titik ketika akhirnya mereka jatuh di tanah, lalu tersiram hujan, tersinari cahaya matahari, mereka mulai tumbuh. Apakah menjadi salah mereka kalau angin membawa mereka kesini, ke pot-pot tanaman hias, atau ke halaman belakang rumahmu, ke sawah, ke kebun tomat, ke kuburan, atau ke pinggir-pinggir lapangan bola? Bisakah mereka minta dijatuhkan ke hutan saja, misalnya? Sehingga tak jadi masalah dan membuat pusing para manusia?

Tapi nyatanya mereka nggak bisa memilih. Di titik ini, apakah mereka akan mempertanyakan keadilan Tuhan? 

Then I realized. It wasn't them asking. It was me.

Jawaban demi jawaban saling berkelindan di kepala saya, berebut untuk didengarkan. Dan kaki saya mulai kesemutan karena kelamaan ndodok, mencabuti rumput-rumput liar, menjadi perantara Allah untuk menuntaskan takdir mereka menjemput kematian.

Komentar