Ini sudah keempat kalinya saya wawancara dengan subjek saya, Pak S, dan mungkin akan jadi wawancara terakhir, tinggal menanyakan beberapa hal lagi untuk
melengkapi laporan. kasus selama magang saya di RSJS.
Sebenarnya jujur saja saya cukup menyukai beliau. Saya
takut pada pertemuan pertama, sih. Beliau lebih banyak diam, tatapan matanya
sangat mudah beralih, matanya merah dan sayu. Tapi hei, setelah beberapa menit
mengobrol, saya jadi tahu kalau ternyata beliau cukup menyenangkan. Beliau
tersenyum setiap menjawab pertanyaan saya, beliau menutup mulut dengan
tangannya ketika malu bercerita soal mantan pacarnya, beliau juga bercerita
soal keponakannya yang sangat beliau sayang, yang sekarang sudah tumbuh dewasa dan
cantik seperti saya (beneran ini beliau bilang begitu hahaha) tapi setelah
mereka besar, mereka tak mau lagi bermain dengan beliau, yang tentu saja
membuat beliau sedih. Dan beliau berkali-kali bilang bahwa beliau sangat
menyayangi ibunya. Beliau masih ingat, sebelum dibawa ke RSJS beliau sempat
marah-marah, membentak ibunya yang sudah sepuh, dan menendang pintu kamar
ibunya sampai rusak. Tapi sekarang, beliau sangat menyesalinya, bertanya pada
saya apakah kira-kira ibunya mau memaafkan atau tidak.
Tentu saja saya bilang iya.
Ada satu hal yang saya ingin ceritakan disini, yang cukup
saya sesali sampai sekarang.
Jadi, di akhir wawancara tadi saya mengatakan pada Pak S
bahwa kata perawat, beliau sudah sangat membaik, tinggal menunggu hasil tes
neurofeedback lalu beliau sudah diijinkan pulang.
“Kata pak perawat, Bapak sudah baik, sudah sip! Sebentar
lagi sudah boleh pulang, Pak, tinggal nunggu hasil tesnya aja..” kata saya
sambil sumringah.
Tapi reaksi beliau malah kaget. Beliau membelalak,
menegakkan badan, seperti ketakutan, dan nggak menjawab saya.
“Lho kenapa, Pak? Katanya Bapak ingin cepat-cepat pulang ke
rumah? Pengen ketemu sama Bapak sama Ibu?”
Wajah beliau langsung mengendur, tapi masih tersisa
ketegangan disana, “Oalah, pulang ke rumah to, Mbak. Saya kira pulang ke
rahmatullah. Kalau itu saya belum siap.”
Saya refleks ngakak, dong.
Beberapa detik kemudian saya menyesal.
“Ya pulang ke rumah, Pak. Kalau pulang ke rahmatullah saya
juga belum siap.” Saya paksa diri sendiri buat berhenti ketawa, “Kalau pulang
ke rumah Bapak seneng, kan?”
“Iya, seneng, Mbak. Udah kangen e sama Ibuk Bapak.”
Alhamdulillah beliau udah senyum lagi.
Kemudian saya bilang makasih banyak karena sudah mau ngobrol
banyak sama saya. Beliau lalu berdoa agar kuliah saya lancar, selalu sehat, dan
semoga kita berdua dimudahkan hidupnya.
Saya pun pamit. Beliau melambai saat saya pergi, dengan mata
sayu dan senyum di wajahnya.
***
Saya masih menyesal kenapa tadi saya bisa-bisanya ketawa.
Beliau beneran kaget, beneran takut. Delusi beliau tentang kematian masih
dirasakan sampai saat ini. Beliau masih sering ketakutan kalau bangun sendirian
sementara teman-teman sebangsalnya masih banyak yang tidur, kemudian beliau
akan paksakan tidur lagi. Beliau takut ikut jalan-jalan pagi keliling RSJ, khawatir
kalau-kalau ada orang yang mencelakainya di jalan. Saking takutnya, beliau
beberapa kali merasa pusing di pagi hari, sampai tidak kuat ikut kegiatan
jalan-jalan. Pusingnya baru akan sembuh ketika teman-teman sebangsalnya sudah
pulang. Beliau benar-benar kaget dan takut saat mengira saya bilang beliau akan
pulang ke rahmatullah, dan saya, yang (seharusnya) sudah mengerti bagaimana
kondisi beliau, bisa-bisanya ketawa dan menganggap itu lucu.
Astaghfirullah. Saya malu sebagai mahasiswi psikologi, dan
sebagai manusia.
Mungkin terlihat sepele, tapi bukankah itu menunjukkan
betapa lemahnya empati saya?
Sejak saya magang di RSJ, saya benar-benar belajar banyak.
Baik dari para psikolog, para perawat yang sabar, dan yang pasti dari para
pasien, para ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Teori di kelas ternyata sama
sekali tidak cukup. Barangkali ini adalah pertama kalinya saya berhadapan dan
berkomunikasi langsung dengan ODGJ yang gejala psikosisnya masih aktif.
Kamu tau betapa gugup dan takutnya saya di hari pertama
praktik wawancara dengan salah satu pasien? Waktu itu pertama kali kami masuk
bangsal dan bertemu langsung dengan para pasien. Setelah diberikan contoh oleh
psikolog, kami dipersilakan mencoba. Rasa penasaran saya sudah meluap-luap,
tapi saya bohong kalau saya bilang nggak takut. Giliran saya mencoba, ternyata
bapak yang saya wawancara diam dan belum mau menjawab pertanyaan saya. Tangan
kaki saya dingin, saya ndredeg, saya lirik-lirik bu psikolog kami mohon
bantuan. Ternyata memang bapak itu masih belum berkenan diwawancarai. Tentu saja kami tidak boleh memaksa. Psikolog kami mengambil alih wawancara, dan dengan teknik dan pengalamannya, Bapak itu akhirnya berkenan menjawab meskipun tidak banyak.
Setelah beberapa kali wawancara, saya mulai menangkap satu
pelajaran. Beliau-beliau ini sama saja dengan kita. Kata Bu Made, psikolog pembimbing kami, mereka mungkin dua kali
lebih sensitif perasaannya dari kita. Makanya kita harus hati-hati dalam bertanya. Mereka
juga bisa senang dan tertawa, mereka bisa sedih dan menangis, mereka
benar-benar tak ubahnya diri saya sendiri.
Salah satu gangguan jiwa yang banyak saya temui di RSJ adalah skizofrenia. Terdapat beberapa simtom yang muncul, namun yang paling
jelas adalah delusi dan halusinasi. Delusi dan halusinasi ini bisa macam-macam
bentuknya. Bisa delusi kebesaran, delusi magis, ide kejar dan curiga.
Halusinasi juga bisa macam-macam, mulai dari yang auditori, visual, hingga
taktil dan somatik Gejala lainnya antara lain arus pikiran yang terputus sehingga
menyebabkan pembicaraan yang inkoheren (alias nggak nyambung, nggak jelas), perilaku katatonik (mencakup excitement, posturing, negativisme,
mutisme, stupor), hingga gejala-gejala negatif (seperti sangat apatis, respons
emosional tidak wajar, social withdrawal). Penjelasan lengkap soal skizofrenia akan jadi catatan sendiri lain waktu.
Orang-orang dengan skizofrenia sudah cukup kesulitan dengan
gejala-gejala yang mereka alami, masih ditambah lagi berbagai macam perlakuan sosial yang membuat
mereka mendapatkan stigma “gila”, “edan”, “gemblung”, dan macam-macam lagi. Skizofrenia
disebabkan karena adanya perbedaan pada neurotransmitter di otak. Singkatnya,
skizofrenia ini gangguan biologis. Skizofrenia itu nyata. Namun,
berbeda dengan sakit fisik seperti flu dan demam yang gejalanya terlihat jelas:
pilek, batuk, suhu tubuh tinggi, atau wajah pucat, gejala skizofrenia terlihat
pada perubahan perilaku.
Kenapa mereka menangis sendiri? Coba bayangkan, kamu
terus-terusan mendengar suara orang berbisik di telingamu, mengatakan kamu
tidak berguna. Atau kamu merasa sangat takut karena kamu tahu akan ada hal buruk
terjadi sebentar lagi, mencelakaimu dan keluargamu. Setelah semua kesedihan dan
ketakutanmu, masih ditambah lagi orang-orang terdekatmu membentakmu untuk
berhenti menangis karena kamu berisik. Tak jarang ada yang memukul,
mengurungmu, atau –parahnya, mencekikmu.
Kenapa mereka tertawa dan bicara sendiri? Coba bayangkan
ketika hidupmu tak berjalan seperti yang kamu harapkan, kamu sedih dan merasa
kesepian. Lalu kamu mendengar dengan jelas suara kawan-kawan lama jaman SMP
atau SMAmu, mengajakmu jalan-jalan ke kebun teh atau ke pantai. Bukankah
menyenangkan merasa ditemani dan dihibur ketika kamu sedih dan kesepian?
Kenapa mereka merusak barang-barang? Marah-marah dan gaduh
gelisah? Coba bayangkan, kamu tidak bisa membuat suara-suara dalam kepalamu
untuk berhenti mengomentarimu. Mereka terus-menerus mengoceh dan membuatmu
pusing. Bukankah rasanya menjengkelkan? Atau bagaimana jika kamu merasa seseorang
sedang berencana untuk membunuhmu? Atau bagaimana jika kamu diolok orang-orang,
dilirik melalui ujung mata, orang-orang berbisik di belakang punggungmu, bahkan
beberapa di antara mereka dengan jelas meneriakimu “gila”? Bukankah kamu akan
marah?
Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran dan
perasaan mereka, kita tidak tahu dengan jelas apa yang mereka pikirkan dan
rasakan, apa yang telah mereka lalui sepanjang hidupnya. Everybody has their
own fight we know nothing about.
Jika belum bisa berbuat baik, setidaknya jangan menyakiti
mereka. Tidak hanya untuk para ODGJ, ini berlaku untuk semua orang. Ingat
baik-baik, yas.
Saya benar-benar harus banyak belajar lagi rupanya.
***
*ps. karena saya masih belajar, jika kalian menemukan ada
kesalahan dalam tulisan saya, sila sampaikan pada saya agar saya bisa berbenah.
Komentar
Posting Komentar