Langsung ke konten utama

Catatan Magang Hari #14


Ini sudah keempat kalinya saya wawancara dengan subjek saya, Pak S, dan mungkin akan jadi wawancara terakhir, tinggal menanyakan beberapa hal lagi untuk melengkapi laporan. kasus selama magang saya di RSJS. 

Sebenarnya jujur saja saya cukup menyukai beliau. Saya takut pada pertemuan pertama, sih. Beliau lebih banyak diam, tatapan matanya sangat mudah beralih, matanya merah dan sayu. Tapi hei, setelah beberapa menit mengobrol, saya jadi tahu kalau ternyata beliau cukup menyenangkan. Beliau tersenyum setiap menjawab pertanyaan saya, beliau menutup mulut dengan tangannya ketika malu bercerita soal mantan pacarnya, beliau juga bercerita soal keponakannya yang sangat beliau sayang, yang sekarang sudah tumbuh dewasa dan cantik seperti saya (beneran ini beliau bilang begitu hahaha) tapi setelah mereka besar, mereka tak mau lagi bermain dengan beliau, yang tentu saja membuat beliau sedih. Dan beliau berkali-kali bilang bahwa beliau sangat menyayangi ibunya. Beliau masih ingat, sebelum dibawa ke RSJS beliau sempat marah-marah, membentak ibunya yang sudah sepuh, dan menendang pintu kamar ibunya sampai rusak. Tapi sekarang, beliau sangat menyesalinya, bertanya pada saya apakah kira-kira ibunya mau memaafkan atau tidak.

Tentu saja saya bilang iya.

Ada satu hal yang saya ingin ceritakan disini, yang cukup saya sesali sampai sekarang.

Jadi, di akhir wawancara tadi saya mengatakan pada Pak S bahwa kata perawat, beliau sudah sangat membaik, tinggal menunggu hasil tes neurofeedback lalu beliau sudah diijinkan pulang.

“Kata pak perawat, Bapak sudah baik, sudah sip! Sebentar lagi sudah boleh pulang, Pak, tinggal nunggu hasil tesnya aja..” kata saya sambil sumringah.

Tapi reaksi beliau malah kaget. Beliau membelalak, menegakkan badan, seperti ketakutan, dan nggak menjawab saya.

“Lho kenapa, Pak? Katanya Bapak ingin cepat-cepat pulang ke rumah? Pengen ketemu sama Bapak sama Ibu?”

Wajah beliau langsung mengendur, tapi masih tersisa ketegangan disana, “Oalah, pulang ke rumah to, Mbak. Saya kira pulang ke rahmatullah. Kalau itu saya belum siap.”

Saya refleks ngakak, dong.

Beberapa detik kemudian saya menyesal.

“Ya pulang ke rumah, Pak. Kalau pulang ke rahmatullah saya juga belum siap.” Saya paksa diri sendiri buat berhenti ketawa, “Kalau pulang ke rumah Bapak seneng, kan?”

“Iya, seneng, Mbak. Udah kangen e sama Ibuk Bapak.”

Alhamdulillah beliau udah senyum lagi.

Kemudian saya bilang makasih banyak karena sudah mau ngobrol banyak sama saya. Beliau lalu berdoa agar kuliah saya lancar, selalu sehat, dan semoga kita berdua dimudahkan hidupnya.

Saya pun pamit. Beliau melambai saat saya pergi, dengan mata sayu dan senyum di wajahnya.

 ***

Saya masih menyesal kenapa tadi saya bisa-bisanya ketawa. Beliau beneran kaget, beneran takut. Delusi beliau tentang kematian masih dirasakan sampai saat ini. Beliau masih sering ketakutan kalau bangun sendirian sementara teman-teman sebangsalnya masih banyak yang tidur, kemudian beliau akan paksakan tidur lagi. Beliau takut ikut jalan-jalan pagi keliling RSJ, khawatir kalau-kalau ada orang yang mencelakainya di jalan. Saking takutnya, beliau beberapa kali merasa pusing di pagi hari, sampai tidak kuat ikut kegiatan jalan-jalan. Pusingnya baru akan sembuh ketika teman-teman sebangsalnya sudah pulang. Beliau benar-benar kaget dan takut saat mengira saya bilang beliau akan pulang ke rahmatullah, dan saya, yang (seharusnya) sudah mengerti bagaimana kondisi beliau, bisa-bisanya ketawa dan menganggap itu lucu.

Astaghfirullah. Saya malu sebagai mahasiswi psikologi, dan sebagai manusia.

Mungkin terlihat sepele, tapi bukankah itu menunjukkan betapa lemahnya empati saya?

Sejak saya magang di RSJ, saya benar-benar belajar banyak. Baik dari para psikolog, para perawat yang sabar, dan yang pasti dari para pasien, para ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Teori di kelas ternyata sama sekali tidak cukup. Barangkali ini adalah pertama kalinya saya berhadapan dan berkomunikasi langsung dengan ODGJ yang gejala psikosisnya masih aktif.

Kamu tau betapa gugup dan takutnya saya di hari pertama praktik wawancara dengan salah satu pasien? Waktu itu pertama kali kami masuk bangsal dan bertemu langsung dengan para pasien. Setelah diberikan contoh oleh psikolog, kami dipersilakan mencoba. Rasa penasaran saya sudah meluap-luap, tapi saya bohong kalau saya bilang nggak takut. Giliran saya mencoba, ternyata bapak yang saya wawancara diam dan belum mau menjawab pertanyaan saya. Tangan kaki saya dingin, saya ndredeg, saya lirik-lirik bu psikolog kami mohon bantuan. Ternyata memang bapak itu masih belum berkenan diwawancarai.  Tentu saja kami tidak boleh memaksa. Psikolog kami mengambil alih wawancara, dan dengan teknik dan pengalamannya, Bapak itu akhirnya berkenan menjawab meskipun tidak banyak.

Setelah beberapa kali wawancara, saya mulai menangkap satu pelajaran. Beliau-beliau ini sama saja dengan kita. Kata Bu Made, psikolog pembimbing kami, mereka mungkin dua kali lebih sensitif perasaannya dari kita. Makanya kita harus hati-hati dalam bertanya. Mereka juga bisa senang dan tertawa, mereka bisa sedih dan menangis, mereka benar-benar tak ubahnya diri saya sendiri.

Salah satu gangguan jiwa yang banyak saya temui di RSJ adalah skizofrenia. Terdapat beberapa simtom yang muncul, namun yang paling jelas adalah delusi dan halusinasi. Delusi dan halusinasi ini bisa macam-macam bentuknya. Bisa delusi kebesaran, delusi magis, ide kejar dan curiga. Halusinasi juga bisa macam-macam, mulai dari yang auditori, visual, hingga taktil dan somatik Gejala lainnya antara lain arus pikiran yang terputus sehingga menyebabkan pembicaraan yang inkoheren (alias nggak nyambung, nggak jelas), perilaku katatonik (mencakup excitement, posturing, negativisme, mutisme, stupor), hingga gejala-gejala negatif (seperti sangat apatis, respons emosional tidak wajar, social withdrawal). Penjelasan lengkap soal skizofrenia akan jadi catatan sendiri lain waktu.

Orang-orang dengan skizofrenia sudah cukup kesulitan dengan gejala-gejala yang mereka alami, masih ditambah lagi  berbagai macam perlakuan sosial yang membuat mereka mendapatkan stigma “gila”, “edan”, “gemblung”, dan macam-macam lagi. Skizofrenia disebabkan karena adanya perbedaan pada neurotransmitter di otak. Singkatnya, skizofrenia ini gangguan biologis. Skizofrenia itu nyata. Namun, berbeda dengan sakit fisik seperti flu dan demam yang gejalanya terlihat jelas: pilek, batuk, suhu tubuh tinggi, atau wajah pucat, gejala skizofrenia terlihat pada perubahan perilaku.

Kenapa mereka menangis sendiri? Coba bayangkan, kamu terus-terusan mendengar suara orang berbisik di telingamu, mengatakan kamu tidak berguna. Atau kamu merasa sangat takut karena kamu tahu akan ada hal buruk terjadi sebentar lagi, mencelakaimu dan keluargamu. Setelah semua kesedihan dan ketakutanmu, masih ditambah lagi orang-orang terdekatmu membentakmu untuk berhenti menangis karena kamu berisik. Tak jarang ada yang memukul, mengurungmu, atau –parahnya, mencekikmu.

Kenapa mereka tertawa dan bicara sendiri? Coba bayangkan ketika hidupmu tak berjalan seperti yang kamu harapkan, kamu sedih dan merasa kesepian. Lalu kamu mendengar dengan jelas suara kawan-kawan lama jaman SMP atau SMAmu, mengajakmu jalan-jalan ke kebun teh atau ke pantai. Bukankah menyenangkan merasa ditemani dan dihibur ketika kamu sedih dan kesepian?

Kenapa mereka merusak barang-barang? Marah-marah dan gaduh gelisah? Coba bayangkan, kamu tidak bisa membuat suara-suara dalam kepalamu untuk berhenti mengomentarimu. Mereka terus-menerus mengoceh dan membuatmu pusing. Bukankah rasanya menjengkelkan? Atau bagaimana jika kamu merasa seseorang sedang berencana untuk membunuhmu? Atau bagaimana jika kamu diolok orang-orang, dilirik melalui ujung mata, orang-orang berbisik di belakang punggungmu, bahkan beberapa di antara mereka dengan jelas meneriakimu “gila”? Bukankah kamu akan marah?

Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran dan perasaan mereka, kita tidak tahu dengan jelas apa yang mereka pikirkan dan rasakan, apa yang telah mereka lalui sepanjang hidupnya. Everybody has their own fight we know nothing about.

Jika belum bisa berbuat baik, setidaknya jangan menyakiti mereka. Tidak hanya untuk para ODGJ, ini berlaku untuk semua orang. Ingat baik-baik, yas.

Saya benar-benar harus banyak belajar lagi rupanya.

***

*ps. karena saya masih belajar, jika kalian menemukan ada kesalahan dalam tulisan saya, sila sampaikan pada saya agar saya bisa berbenah.

Komentar