Jika Tuhan memberimu kesempatan
untuk bisa memilih bagaimana
kau terlahir di dunia, apa yang akan kau minta?
Aku tak akan meminta apa-apa lagi
pada Tuhan. Tak ada yang akan kukatakan padaNya selain bahwa Dia telah
memberikanku hidup paling sempurna yang bisa kubayangkan. Tak akan ada yang
kuubah, cukup seperti sebagaimana seharusnya.
Menikmati sore yang semilir,
ditemani langit jingga yang mulai menggelap, lengkap dengan sayup-sayup suara
anak-anak mengaji di surau kampung, apalagi yang bisa kulakukan selain mensyukurinya?
Kulihat dari kejauhan Pak Ngadimin
menggiring rombongan bebeknya yang riuh kembali ke kandang, membalas sapaan Mas
Jatmiko yang berjalan berlainan arah, pasti baru pulang dari kerja di tempat
servis komputer di kecamatan. Kudengar tadi pagi saat Bapak dan Lek Wo datang untuk
memastikan tak ada gangguan tikus, wereng, burung, atau hama lain, sebentar
lagi Mas Jatmiko akan menikah dengan Dek Siti dari desa sebelah. Pantas saja
mukanya selalu berbinar akhir-akhir ini, Dek Siti itu kan anak Pak Kadus yang
kembang desa itu.
Ah, tunggu. Ada sesuatu di sana. Rupanya
selain mengecek hama, Bapak juga datang untuk meletakkan sebuah besek[1]
berisi kembang warna-warni yang wangi. Tak hanya satu, tapi empat.
Diletakkan di setiap pojok sawah. Itu artinya hari yang kutunggu-tunggu sejak
lama sekali akan segera tiba: hari panen.
***
Waktu yang sama, tempat yang
berbeda.
Jika aku memiliki kesempatan untuk
memilih, sepertinya bukan ini yang akan kuminta pada Tuhan.
Memang, awalnya kukira hidupku
adalah yang terbaik. Aku menyukai kemilau lampu yang selalu dinyalakan bahkan
sejak hari masih pagi, orang-orang dengan berbagai warna dan gaya lalu-lalang
tak ada habisnya setiap hari, riuh rendah celoteh mereka bercampur dengan musik
yang tak pernah berhenti mengalun. Semua orang terlihat bergembira dan
menikmati hidup mereka di sini. Namun ternyata semua itu memang hanya kelihatannya
saja.
“Caramel machiato satu, hot
americano satu, satu cheese cake dan tiramisu. Ada tambahan lagi, kak?”
Seperti biasa di hari Sabtu, gadis
itu akan melayani orang-orang yang datang di depan kasir, tersenyum setiap
menanyakan tambahan dan memberikan kembalian. Namanya May, sesuai dengan pin
nama yang tersemat di dadanya, dan dia memiliki senyum yang dapat membuat semua
orang ikut tersenyum juga, termasuk aku.
Setelah menyelesaikan pesanan,
sepasang anak berseragam SMA itu mencari meja, lalu—seperti kebanyakan pengunjung
lainnya, mengeluarkan ponsel mereka dan mulai mengambil gambar kue dan swafoto dari
berbagai sudut.
“Ya ampun, aku kok gendut banget.
Ulang lagi, ulang lagi!”
Aku hafal teriakan manja itu, belum
akan berhenti hingga belasan jepretan berikutnya. Aku tidak mengerti apa yang
begitu menarik dari ponsel mereka, sampai-sampai kerap kali kulihat orang-orang
duduk bersama namun sibuk menunduk sambil memainkan jempol mereka di atas
ponsel, layaknya sepasang anak SMA itu. Kue mereka teronggok diam, disendok
sesekali sambil membalas chat.
***
Ah, hari Minggu memang selalu
menyenangkan! Pagi-pagi begini Dimas dan kroco-kroconya sudah saling berkejaran
naik sepeda, lalu makan bubur pincuk bersama di Mbokdhe Endah. Sementara itu Laila
dan para gadis cilik lain yang sudah cantik dan wangi masih berjalan santai
sambil mengobrol di sepanjang jalan.
Kulihat Mas Jatmiko melenggang naik
motor bebek yang sepertinya ia pinjam dari Lek Wo. Hari ini ia libur kerja,
tapi kurasa bukan itu yang membuatnya tampak sumringah dan berdandan rapi
dengan rambut diminyaki pagi-pagi begini. Ia menyapa setiap orang yang ia
temui, namun kemudian berhenti ketika Laila berteriak memanggilnya.
“Mas, ini jatuh,” Laila berlari
kecil menyusul Mas Jatmiko dengan selembar kertas merah muda dalam plastik
bening di tangannya. Saat hendak memberikannya, mata gadis kecil itu membulat
lalu ia bersorak girang, “Waah undangan, tho, Mas? Cantiik!”
Mas Jatmiko meringis malu lalu
buru-buru menarik undangannya dan memasukkannya kembali ke tas selempang, “Nanti
juga kamu dapat satu di rumah, La. Wis, wis[2],
sana main lagi!”
Aku menahan senyumku. Rupanya ia
akan menyebarkan undangannya hari ini. Setelah Mas Jatmiko melenggang pergi,
datanglah Bapak dan Lek Wo dengan berjalan kaki.
“Tujuh orang cukup, tho?” tanya
Lek Wo sambil menyapukan pandangannya ke sawah.
“Cukup, cukup,” Bapak mengangguk
tipis sambil mengembuskan kepulan putih dari mulut dan hidungnya, “Sudah kau
bilang pada mereka?”
“Sudah. Rabu jam 9, Kangmas?”
Bapak mengangguk lagi, lalu mengisap
kreteknya dalam-dalam.
“Aku juga sudah bilang pada Sri,
sedekah buminya lusa saja. Malam ini ada kendurian di Jatmiko,” tambah Lek Wo.
Aku bersorak girang dalam hati. Kenduri
nanti malam, lusa sedekah bumi, lalu sehari berikutnya adalah hari panen!
***
Hari libur akan menjadi hari yang
sibuk, karena tempat ini akan menjadi dua kali lipat lebih ramai dari biasanya.
Pukul sebelas lewat sedikit, namun tempat ini sudah hampir penuh. Selain beberapa
meja berisi remaja-remaja tanggung yang riuh, terdapat dua bapak-bapak bersepatu
kets yang memesan kopi pahit sedang membaca koran, lalu ada dua lelaki yang
hanya beli satu capuchino lalu menongkrong berjam-jam di pojok. Aku bertaruh
mereka sebenarnya hanya menumpang wi-fi untuk main game.
May menatap dua ibu muda yang baru
saja membayar dan mencari meja untuk menikmati susu dan teh mereka. Keduanya
menenteng kantong dengan merk salah satu skin care, sepertinya mereka
baru
saja facial di lantai dua, terlihat dari wajah mereka yang segar
dan kinclong. Kulihat May menyentuh pipinya. Tidak, tidak, jangan berpikir
untuk melakukan apapun dengan wajahmu, May. Segalanya yang ada disana sudah
sempurna. Sekali bahan-bahan kimia itu datang kau tak akan bisa berhenti dan
semua keindahan alami itu akan lenyap. Oh, tunggu! Kenapa aku baru menyadari
bahwa ada kemilau di jari manis kananmu? Itukah alasanmu berpikir untuk
mempercantik wajahmu? Kau akan menikah?
Tiba-tiba May tersentak ketika salah
satu dari ibu itu berteriak sambil mengangkat tangannya, “Mbak, mbak kasir!
Tolong fotoin kita, dong!”
May menoleh kanan kiri untuk mencari
kawannya, tak mungkin ia meninggalkan kasir begitu saja. Untunglah kemudian
kulihat si anak baru yang bertugas membersihkan meja datang menerima uluran
ponsel dari ibu itu. Mereka mulai bergaya macam-macam: menyilangkan kaki,
pura-pura menyedot minuman mereka, pura-pura menyendok kue, pura-pura tertawa...
pura-pura bahagia.
Puas, mereka melihat-lihat hasilnya
sambil menimbang mana foto yang akan mendatangkan paling banyak likes
jika diunggah.
Merasa sudah tak dibutuhkan, si anak
baru lalu menuju salah satu meja yang ditinggalkan serombongan gadis, mengelap
dan membawa pergi gelas-gelas plastik dan piring-piring kecil dengan kue yang
masih bersisa setengahnya. Saat hendak berbalik, si anak baru itu terantuk
kursi lalu terjatuh, gelas-gelas berjatuhan dan memuntahkan isinya membanjiri
lantai.
Kulihat May berjengit kaget lalu
segera menghampirinya, membantu anak baru yang gugup itu membereskan kekacauan.
Aku menghela nafas panjang.
***
Sejak lama aku bermimpi untuk bisa
terlibat dalam acara semacam itu. Dimana dalam satu tempat dan waktu,
orang-orang berkumpul untuk berdoa memohon ampunan bagi para leluhur serta
memohon kemakmuran dan keselamatan bersama. Entah itu dalam rangka sedekah
bumi, untuk menyambut hari panen sebagai bentuk syukur, atau kenduri, untuk
mendoakan leluhur calon pengantin, seperti yang sedang dilakukan di rumah Mas
Jatmiko malam ini.
Dari sayup-sayup doa yang kudengar,
kubayangkan sebentar lagi mereka akan segera duduk mengelilingi eblek-eblek[3] berisi
kuluban: sayur-sayuran yang diurap dengan parutan kelapa yang telah dibumbu. Mereka
akan makan bersama sambil bergurau tentang apa saja. Setelah menenggak habis
kopi hitam dalam gelas-gelas mereka dan mengisap berbatang-batang kretek, para
bapak akan pulang sedangkan para pemuda membereskan eblek-eblek kotor.
Sebelum membuangi daun-daun pisang
kotor, pemuda-pemuda tanggung itu akan menyuapkan butir-butir nasi terakhir ke
mulut mereka sambil tertawa-tawa.
Ah, aku benar-benar tak sabar untuk bisa
terlibat!
***
Semakin hari aku semakin lelah
melihat tingkah orang-orang di cafe ini.
Mereka terlalu sibuk menunjukkan
pada dunia bahwa mereka memiliki hidup yang indah dan bahagia, namun lupa untuk
benar-benar merasakan kebahagiaan itu dalam hati mereka.
Mereka terlalu sibuk berlomba-lomba
menunjukkan pada dunia hidangan apa yang mereka punya, hingga lupa untuk
menikmatinya dengan sungguh-sungguh, bahkan lupa berterima kasih pada Tuhan
atas itu semua.
Maka jika diberi kesempatan untuk
memilih, aku ingin menjadi sepotong kue yang dibawa pulang seorang ayah untuk
dinikmati bersama anak-anaknya di rumah dalam balutan cinta dan kasih sayang,
daripada terus teronggok di etalase tanpa seorang pun menginginkanku. Aku
adalah sepotong kue cantik yang sedih. Kumohon bawa saja aku pergi, May.
***
Tujuh orang berjejer di pinggir
sawah sambil membawa ani-ani. Bapak dan Lek Wo juga ada disana, siap beraksi
dengan arit caluk di tangan. Aku memantapkan hati. Hari ini akhirnya tiba, dan
aku akan menyambutnya dengan sukacita. Sekali lagi kulangitkan syukur dan doa
pada Tuhan, semoga Bapak dan orang-orang di desa ini selalu di bawah
lindunganNya, semoga kehadiranku membawa makmur dan sejahtera.
Sudah kubilang, diberi kesempatan
untuk memilih pun aku akan tetap meminta hidup seperti ini, menjadi sebutir
beras yang bahagia. Ditanam dan dirawat dengan pengharapan dan keikhlasan, kuharap
aku dapat berakhir di perut orang-orang yang bersyukur. Kuharap aku dapat
dinikmati bersama tawa, dimanapun. Di pernikahan Mas Jatmiko dan Dek Siti
Maysaroh, mungkin? Siapa tahu.
Baiklah, Bapak, aku sudah siap.
Panenlah aku dan jadikan aku bagian dari kebahagiaan kalian.
Komentar
Posting Komentar