Pernahkah kita menyadari bahwa ada seorang manusia yang
benar-benar memikirkan dan mencintai kita, dimana orang tersebut bahkan
meninggal ribuan tahun sebelum kita dilahirkan? Pernahkah kita berpikir bahwa
di hari akhir kelak, ketika ayah, ibu, saudara, suami atau istri, dan anak-anak
kita sibuk dengan dirinya masing-masing, tak ada yang mengingat dan peduli apa
yang terjadi dengan diri kita,
ternyata terdapat satu orang yang sibuk memanggil-manggil kita, menaungi dan menyelamatkan kita dari panasnya matahari di padang mahsyar, serta memohon-mohon pada Sang Pencipta untuk menyelamatkan kita dari panasnya api neraka meskipun keimanan dalam hati kita hanya sebesar biji sawi? Ketahuilah, orang itu benar-benar ada. Ialah Sayyidina Maulana Habibana Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, manusia terbaik sekaligus penutup para anbiya’.
ternyata terdapat satu orang yang sibuk memanggil-manggil kita, menaungi dan menyelamatkan kita dari panasnya matahari di padang mahsyar, serta memohon-mohon pada Sang Pencipta untuk menyelamatkan kita dari panasnya api neraka meskipun keimanan dalam hati kita hanya sebesar biji sawi? Ketahuilah, orang itu benar-benar ada. Ialah Sayyidina Maulana Habibana Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, manusia terbaik sekaligus penutup para anbiya’.
Seperti yang telah kita dengar dan baca dari berbagai riwayat
mengenai detik-detik terakhir hidup Rasulullah, bagaimana beliau masih sempat
memikirkan ummatnya ketimbang dirinya sendiri, bagaimana beliau cemas ketika hendak dicabut
nyawanya sehingga lega ketika mendapatkan jaminan bahwa ummatnya akan mendapatkan surga,
bagaimana di tengah sakitnya sakaratul maut yang mendera, seakan dikuliti
hidup-hidup, beliau masih sempat meminta kepada malaikat Izroil agar sakitnya
sakaratul maut seluruh ummatnya ditimpakan seluruhnya kepada beliau, bahkan
ketika di hari akhir nanti, Rasulullah adalah satu-satunya orang yang sibuk mondar-mandir
memohon kepada Allah untuk menyelamatkan ummatnya bahkan yang memiliki keimanan
sebesar biji sawi. Begitu besar cinta yang Rasulullah curahkan kepada kita,
ummatnya, dan benar-benar tulus, tanpa pamrih.
Rasulullah tak pernah benar-benar meninggalkan dunia dan
ummatnya. Sunnah, kesempurnaan akhlak, dan suri tauladan, beliau sejatinya
selalu membersamai kita. Sebagai ummat Rasulullah yang telah dihujani cinta,
bahkan lebih dari yang pantas kita dapatkan, kita pun mencoba mencintai
Rasulullah kembali dengan menjalankan sunnahnya, mengikuti teladannya, dan
melantunkan sholawat untuknya.
Gabriel
Marcel
Seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Marcel, seorang filsuf fenomenologi dan ekstensialis asal Prancis, hidup di dunia
adalah hidup bersama, dengan dua ciri: eksistensi dan cinta. Kita sebagai
manusia menyadari seutuhnya bahwa kita bereksistensi, kita bertubuh, corporeite. Namun hakikat eksistensi
lebih dari sekedar bertubuh saja, eksistensi merupakan suatu bentuk keadaan
berdiri sendiri, dan memungkinkan adanya hubungan. Bereksistensi adalah
bereksistensi dengan yang lain. Bereksistensi dengan yang lain dalam pembahasan
ini kiranya menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam daripada hanya bersama secara
harfiah dan badaniah belaka. Lebih dari itu. Maka dari itu harus ada suatu
dasar yang lebih dalam, dan dasar itu adalah cinta. Cinta mengkonstitusikan
hubungan sejati antara dua pribadi, dan mengarahkannya. Namun tidak hanya itu
saja, pelaksanaan cinta bahkan merupakan eksistensi manusia itu sendiri.
Artinya, eksistensi manusia mencapai perwujudannya yang paling tinggi dalam
cinta kasih. Karena itu, hubungan antarmanusia juga mencapai kesempurnaannya
jika hubungan tersebut ditandai dengan cinta kasih. Apabila manusia sampai pada
cinta itu, maka eksistensinya pun mencapai puncaknya.
Namun hubungan antarmanusia yang sempurna semacam itu sulit
ditemukan dalam kehidupan nyata. Tidak jarang hubungan antarmanusia hanya
dilandasi suatu tujuan tertentu, sehingga hubungan menjadi sesuatu yang
fungsional saja. Karena itu diperlukan suatu kesadaran akan keduaan dalam
hubungan antarmanusia serta akan hubungan antarmanusia yang lebih menyeluruh
yang mendasarinya.
Lantas pertanyaannya
sekarang adalah, bagaimana dengan hubungan kita dan Rasulullah?
Rasulullah,
Sholawat, dan Bereksistensi
Menjalankan sunnah-sunnah Rasul: berpuasa sunnah, mendirikan
sholat rawatib, sholat tahajjud, sholat dhuha, serta shalat-shalat sunnah
lainnya, makan dengan tangan kanan, berdoa sebelum memulai aktivitas, menjenguk orang sakit, dan segala
sunnah-sunnah lain, apa yang kita harapkan dengan melakukan amalan-amalan
tersebut? Melantunkan sholawat tentang kecintaan, tentang pengagungan, tentang
kerinduan yang mendalam akan sebuah pertemuan, bahkan dalam beberapa kesempatan
hingga berkumpul dalam sebuah majelis, diiringi dengan serangkaian alat musik, hanya
untuk melantunkannya bersama, apakah kita benar-benar melakukannya atas dasar
cinta dan rindu?
Mari kita berefleksi pelan-pelan.
“Barangsiapa
bersholawat padaku satu kali, maka Allah akan memberi rahmat kepadanya sepuluh
kali.” (HR Muslim).
“Suatu
ketika Ubay bin Ka’ab menghadap Baginda Rasulullah lalu bertanya, “Wahai
Rasulullah, aku banyak bersholawat untukmu, sebaiknya berapa kali aku
bersholawat untukmu?”. Rasulullah pun menjawab, “Terserah padamu.”. Ubay bin
Ka’ab bertanya kembali, “Bagaimana kalau seperempat?” “Terserah padamu. Jika
kau tambah tentu lebih baik.” “Bagaimana kalau setengah?” “Terserah padamu.
Andai kamu lebihkan akan jadi lebih baik.” “Bagaimana kalau dua per tiga?”
“Terserah padamu. Jika kamu tambahkan lagi tentu lebih baik.” “Bagaimana kalau
sholawatku untukmu semuanya?” Rasulullah pun menjawab, “Kalau kamu lakukan itu,
segala kesedihanmu akan dihilangkan dan dosamu akan terampuni.”.” (HR Imam
Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, At-Thabrani)
Sungguh benar, jika kita bersholawat satu kali saja, Allah
akan membalasnya dengan sepuluh rahmat. Sungguh benar, jika kita bersholawat,
kesedihan kita akan diangkat dan dosa kita akan diampuni. Dengan selalu
menjalankan segala sunnah dan mengudarakan sholawat untuk Baginda Rasulullah,
kelak di hari akhir, dengan seizin Allah, beliau akan memberikan syafa’atnya sehingga dapat menaungi
kita dari panasnya matahari yang tingginya hanya satu jengkal di atas ubun-ubun
kita, dan menyelamatkan kita dari panasnya api neraka meskipun keimanan dalam
hati kita hanya sebesar biji sawi. Mencintai kekasih Allah tak akan pernah
rugi.
Pertanyaannya adalah, dalam lubuk hati yang paling dalam dan
gelap, apa tujuan sebenarnya kita melakukan segala tetek bengek soal sunnah dan
sholawat itu? Apakah semata-mata karena kita membutuhkan pertolongannya di hari
akhir kelak? Apakah karena diri kita yang lemah dan egois ini membutuhkan
tempat bernaung di padang mahsyar yang luar biasa panas? Atau karena kita yang
berlumuran dosa ini begitu ingin pergi dari neraka yang jauh lebih panas lagi,
dan dengan tanpa-malunya minta diselamatkan ke surga yang serba enak? Apakah
cinta kita pada Rasulullah hanya sebatas syafa’atnya? Jika saja (benar-benar
hanya jika), Rasulullah sama seperti nabi-nabi lain yang tak diberi Allah keistimewaan untuk memberi syafa’at, akankah kita tetap melantunkan lagu-lagu kecintaan dan
kerinduan untuknya? Akankah kita tetap jungkir balik menjalankan sunnahnya?
Akankah kita tetap memanggilnya kekasih? Akankah?
Padahal Rasulullah mencintai kita tanpa syarat. Rasulullah
tak pernah mengharapkan apapun dari kita. Jangankan kenal, Rasulullah bahkan
wafat ribuan tahun sebelum kita diciptakan. Apa yang beliau dapatkan dari kita
dengan memohon pada Allah hingga bersujud dan menangis di hadapanNya untuk
menyelamatkan kita dari api neraka? Apa yang Rasulullah dapatkan dari kita dengan
beliau meminta agar pedihnya sakaratul maut seluruh ummatnya, dibebankan saja
pada beliau sehingga kita tak perlu merasakan pedihnya yang luar biasa? Apa
yang beliau dapatkan dari kita? Atas dasar apa Rasulullah melakukan hal-hal
yang merepotkan dan menyusahkan semacam itu?
Jawabannya adalah cinta.
Cinta yang sesungguhnya tak pernah disertai dengan harapan
akan sebuah balasan. Cinta Rasulullah begitu murni. Cinta yang begitu murni dan
besar, untuk seluruh ummatnya di dunia, dari zaman Rasulullah hingga akhir
zaman. Beliau membangun hubungan dengan seluruh ummatnya dengan cintanya yang
tak terbatas dan tak mengharap balasan. Rasulullah telah mencapai puncak dari
perwujudan eksistensinya, dengan cinta kasihnya yang begitu besar. Sungguh
indah, bukan?
Namun apa yang kita lakukan untuk Rasulullah? Beliau telah
menggunakan seluruh umurnya untuk menyampaikan kebenaran. Tanpa kehadirannya,
dunia adalah sebuah ruang dan waktu yang gelap dan kelam. Perjuangannya,
masa-masa sulitnya, ancaman dan halangan yang datang bertubi-tubi dan silih
berganti, sama sekali tak menyurutkan langkahnya untuk terus membawa kebenaran,
menyelamatkan kita dari zaman yang gelap menuju zaman yang terang benderang,
Ad-din Al-Islam.
Setelah diselamatkan Rasulullah sebegitu banyaknya, apakah
kita masih cukup tidak tahu malu untuk menjalankan sunnahnya dan melantunkan
sholawat untuknya, hanya demi syafa’at dan penyelamatan di hari akhir? Bukankah
itu berarti kita hanya mengambil keuntungan, tidak tulus, pragmatis, dan
fungsional? Bagaimana dengan cinta Rasulullah yang begitu besar dan tulus untuk
kita? Bagaimana dengan hubungan yang telah beliau bangun dengan cinta kasihnya?
Hubungan itu tak akan mencapai kesempurnaan tanpa kita membalasnya dengan cinta
kasih juga. Kita menodai hubungan yang telah Rasulullah bangun, kita
mengotorinya dengan keserakahan kita. Sudah diselamatkan di masa lalu, masih
minta diselamatkan lagi di masa depan. Bukankah kita begitu serakah?
Eksistensi kita akan mencapai puncak perwujudannya yang
paling tinggi dengan menjalin hubungan dalam cinta kasih. Hal itu tak akan
terjadi selama kita belum tulus mencintai Rasulullah selayaknya Rasulullah
mencintai kita. Ketika hubungan yang telah Rasulullah bangun dengan cinta
kasihnya yang begitu besar dan tulus, kita balas dengan cinta kasih yang tulus juga,
bukan hanya karena embel-embel pengharapan syafa’at dan pertolongan di hari
akhir, hubungan tersebut akan sempurna, dan akhirnya kita mencapai puncak
perwujudan eksistensi kita.
Ya, kita adalah manusia biasa yang penuh dosa. Benar, dengan
syafa’at Rasulullah kita akan diselamatkan Allah di hari akhir kelak. Sama
sekali tidak salah, jika kita menjalankan sunnah-sunnahnya dan bersholawat
untuknya dengan pengharapan syafa’at di hari akhir. Namun jika kita renungkan
dalam-dalam, bukankah benar-benar tidak adil jika kita membalas cita Rasulullah
yang begitu besar dengan sifat keserakahan kita akan syafa’atnya?
Lalu hakikatnya, apa tujuan kita bersholawat? Apa tujuan kita
menjalankan sunnah-sunnah Rasul? Apakah didasari cinta kasih atau hanya
fungsional saja? Hanya karena kita mengharapkan syafa’at? Agar kelak di hari
akhir kita mendapat lindungan Rasulullah karena kita ingin dianggap ummatnya?
Agar kelak masuk surga? Lalu bagaimana dengan hakikat cinta kasih?
Sungguh, kita harus mempertanyakan eksistensi diri kita
sekali lagi.
---
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Filsafat Manusia, dan dalam prosesnya saya berhasil dibuat bingung dan galau oleh pikiran saya sendiri yang muyer kemana-mana. Filsafat terlalu berat untuk akal saya yang cethek.
Ah ya, tulisan ini tak akan selesai tanpa diskusi panjang dan mbulet bersama Mbak Akhy, Imas, Alfi, dan Fatim pada tengah malam di aula pondok, disertai garukan dan tamparan keras ke kepala saya sendiri, dan penjelasan panjang dari Mbak Ninda yang sabar di pagi hari yang lapar.
Dengan bantuan sebanyak itu, dan pada akhirnya tulisan saya tetap jauh juga dari sempurna, atau bahkan malah ndak cetho apa maksudnya, sungguh itu karena ketidakberdayaan saya.
Komentar
Posting Komentar