Langsung ke konten utama

Rasulullah, Gabriel Marcel, dan Eksistensi Kita


Pernahkah kita menyadari bahwa ada seorang manusia yang benar-benar memikirkan dan mencintai kita, dimana orang tersebut bahkan meninggal ribuan tahun sebelum kita dilahirkan? Pernahkah kita berpikir bahwa di hari akhir kelak, ketika ayah, ibu, saudara, suami atau istri, dan anak-anak kita sibuk dengan dirinya masing-masing, tak ada yang mengingat dan peduli apa yang terjadi dengan diri kita,
ternyata terdapat satu orang yang sibuk memanggil-manggil kita, menaungi dan menyelamatkan kita dari panasnya matahari di padang mahsyar, serta memohon-mohon pada Sang Pencipta untuk menyelamatkan kita dari panasnya api neraka meskipun keimanan dalam hati kita hanya sebesar biji sawi? Ketahuilah, orang itu benar-benar ada. Ialah Sayyidina Maulana Habibana Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, manusia terbaik sekaligus penutup para anbiya’.

Seperti yang telah kita dengar dan baca dari berbagai riwayat mengenai detik-detik terakhir hidup Rasulullah, bagaimana beliau masih sempat memikirkan ummatnya ketimbang dirinya sendiri, bagaimana beliau cemas ketika hendak dicabut nyawanya sehingga lega ketika mendapatkan jaminan bahwa ummatnya akan mendapatkan surga, bagaimana di tengah sakitnya sakaratul maut yang mendera, seakan dikuliti hidup-hidup, beliau masih sempat meminta kepada malaikat Izroil agar sakitnya sakaratul maut seluruh ummatnya ditimpakan seluruhnya kepada beliau, bahkan ketika di hari akhir nanti, Rasulullah adalah satu-satunya orang yang sibuk mondar-mandir memohon kepada Allah untuk menyelamatkan ummatnya bahkan yang memiliki keimanan sebesar biji sawi. Begitu besar cinta yang Rasulullah curahkan kepada kita, ummatnya, dan benar-benar tulus, tanpa pamrih.

Rasulullah tak pernah benar-benar meninggalkan dunia dan ummatnya. Sunnah, kesempurnaan akhlak, dan suri tauladan, beliau sejatinya selalu membersamai kita. Sebagai ummat Rasulullah yang telah dihujani cinta, bahkan lebih dari yang pantas kita dapatkan, kita pun mencoba mencintai Rasulullah kembali dengan menjalankan sunnahnya, mengikuti teladannya, dan melantunkan sholawat untuknya.

Gabriel Marcel  
Seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Marcel, seorang filsuf fenomenologi dan ekstensialis asal Prancis, hidup di dunia adalah hidup bersama, dengan dua ciri: eksistensi dan cinta. Kita sebagai manusia menyadari seutuhnya bahwa kita bereksistensi, kita bertubuh, corporeite. Namun hakikat eksistensi lebih dari sekedar bertubuh saja, eksistensi merupakan suatu bentuk keadaan berdiri sendiri, dan memungkinkan adanya hubungan. Bereksistensi adalah bereksistensi dengan yang lain. Bereksistensi dengan yang lain dalam pembahasan ini kiranya menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam daripada hanya bersama secara harfiah dan badaniah belaka. Lebih dari itu. Maka dari itu harus ada suatu dasar yang lebih dalam, dan dasar itu adalah cinta. Cinta mengkonstitusikan hubungan sejati antara dua pribadi, dan mengarahkannya. Namun tidak hanya itu saja, pelaksanaan cinta bahkan merupakan eksistensi manusia itu sendiri. Artinya, eksistensi manusia mencapai perwujudannya yang paling tinggi dalam cinta kasih. Karena itu, hubungan antarmanusia juga mencapai kesempurnaannya jika hubungan tersebut ditandai dengan cinta kasih. Apabila manusia sampai pada cinta itu, maka eksistensinya pun mencapai puncaknya.

Namun hubungan antarmanusia yang sempurna semacam itu sulit ditemukan dalam kehidupan nyata. Tidak jarang hubungan antarmanusia hanya dilandasi suatu tujuan tertentu, sehingga hubungan menjadi sesuatu yang fungsional saja. Karena itu diperlukan suatu kesadaran akan keduaan dalam hubungan antarmanusia serta akan hubungan antarmanusia yang lebih menyeluruh yang mendasarinya.

Lantas pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan hubungan kita dan Rasulullah?

Rasulullah, Sholawat, dan Bereksistensi
Menjalankan sunnah-sunnah Rasul: berpuasa sunnah, mendirikan sholat rawatib, sholat tahajjud, sholat dhuha, serta shalat-shalat sunnah lainnya, makan dengan tangan kanan, berdoa sebelum memulai aktivitas,  menjenguk orang sakit, dan segala sunnah-sunnah lain, apa yang kita harapkan dengan melakukan amalan-amalan tersebut? Melantunkan sholawat tentang kecintaan, tentang pengagungan, tentang kerinduan yang mendalam akan sebuah pertemuan, bahkan dalam beberapa kesempatan hingga berkumpul dalam sebuah majelis, diiringi dengan serangkaian alat musik, hanya untuk melantunkannya bersama, apakah kita benar-benar melakukannya atas dasar cinta dan rindu?

Mari kita berefleksi pelan-pelan.

“Barangsiapa bersholawat padaku satu kali, maka Allah akan memberi rahmat kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim).

“Suatu ketika Ubay bin Ka’ab menghadap Baginda Rasulullah lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, aku banyak bersholawat untukmu, sebaiknya berapa kali aku bersholawat untukmu?”. Rasulullah pun menjawab, “Terserah padamu.”. Ubay bin Ka’ab bertanya kembali, “Bagaimana kalau seperempat?” “Terserah padamu. Jika kau tambah tentu lebih baik.” “Bagaimana kalau setengah?” “Terserah padamu. Andai kamu lebihkan akan jadi lebih baik.” “Bagaimana kalau dua per tiga?” “Terserah padamu. Jika kamu tambahkan lagi tentu lebih baik.” “Bagaimana kalau sholawatku untukmu semuanya?” Rasulullah pun menjawab, “Kalau kamu lakukan itu, segala kesedihanmu akan dihilangkan dan dosamu akan terampuni.”.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, At-Thabrani)

Sungguh benar, jika kita bersholawat satu kali saja, Allah akan membalasnya dengan sepuluh rahmat. Sungguh benar, jika kita bersholawat, kesedihan kita akan diangkat dan dosa kita akan diampuni. Dengan selalu menjalankan segala sunnah dan mengudarakan sholawat untuk Baginda Rasulullah, kelak di hari akhir, dengan seizin Allah, beliau akan memberikan syafa’atnya sehingga dapat menaungi kita dari panasnya matahari yang tingginya hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kita, dan menyelamatkan kita dari panasnya api neraka meskipun keimanan dalam hati kita hanya sebesar biji sawi. Mencintai kekasih Allah tak akan pernah rugi.

Pertanyaannya adalah, dalam lubuk hati yang paling dalam dan gelap, apa tujuan sebenarnya kita melakukan segala tetek bengek soal sunnah dan sholawat itu? Apakah semata-mata karena kita membutuhkan pertolongannya di hari akhir kelak? Apakah karena diri kita yang lemah dan egois ini membutuhkan tempat bernaung di padang mahsyar yang luar biasa panas? Atau karena kita yang berlumuran dosa ini begitu ingin pergi dari neraka yang jauh lebih panas lagi, dan dengan tanpa-malunya minta diselamatkan ke surga yang serba enak? Apakah cinta kita pada Rasulullah hanya sebatas syafa’atnya? Jika saja (benar-benar hanya jika), Rasulullah sama seperti nabi-nabi lain yang tak diberi Allah keistimewaan untuk memberi syafa’at, akankah kita tetap melantunkan lagu-lagu kecintaan dan kerinduan untuknya? Akankah kita tetap jungkir balik menjalankan sunnahnya? Akankah kita tetap memanggilnya kekasih? Akankah?

Padahal Rasulullah mencintai kita tanpa syarat. Rasulullah tak pernah mengharapkan apapun dari kita. Jangankan kenal, Rasulullah bahkan wafat ribuan tahun sebelum kita diciptakan. Apa yang beliau dapatkan dari kita dengan memohon pada Allah hingga bersujud dan menangis di hadapanNya untuk menyelamatkan kita dari api neraka? Apa yang Rasulullah dapatkan dari kita dengan beliau meminta agar pedihnya sakaratul maut seluruh ummatnya, dibebankan saja pada beliau sehingga kita tak perlu merasakan pedihnya yang luar biasa? Apa yang beliau dapatkan dari kita? Atas dasar apa Rasulullah melakukan hal-hal yang merepotkan dan menyusahkan semacam itu?

Jawabannya adalah cinta.

Cinta yang sesungguhnya tak pernah disertai dengan harapan akan sebuah balasan. Cinta Rasulullah begitu murni. Cinta yang begitu murni dan besar, untuk seluruh ummatnya di dunia, dari zaman Rasulullah hingga akhir zaman. Beliau membangun hubungan dengan seluruh ummatnya dengan cintanya yang tak terbatas dan tak mengharap balasan. Rasulullah telah mencapai puncak dari perwujudan eksistensinya, dengan cinta kasihnya yang begitu besar. Sungguh indah, bukan?

Namun apa yang kita lakukan untuk Rasulullah? Beliau telah menggunakan seluruh umurnya untuk menyampaikan kebenaran. Tanpa kehadirannya, dunia adalah sebuah ruang dan waktu yang gelap dan kelam. Perjuangannya, masa-masa sulitnya, ancaman dan halangan yang datang bertubi-tubi dan silih berganti, sama sekali tak menyurutkan langkahnya untuk terus membawa kebenaran, menyelamatkan kita dari zaman yang gelap menuju zaman yang terang benderang, Ad-din Al-Islam.

Setelah diselamatkan Rasulullah sebegitu banyaknya, apakah kita masih cukup tidak tahu malu untuk menjalankan sunnahnya dan melantunkan sholawat untuknya, hanya demi syafa’at dan penyelamatan di hari akhir? Bukankah itu berarti kita hanya mengambil keuntungan, tidak tulus, pragmatis, dan fungsional? Bagaimana dengan cinta Rasulullah yang begitu besar dan tulus untuk kita? Bagaimana dengan hubungan yang telah beliau bangun dengan cinta kasihnya? Hubungan itu tak akan mencapai kesempurnaan tanpa kita membalasnya dengan cinta kasih juga. Kita menodai hubungan yang telah Rasulullah bangun, kita mengotorinya dengan keserakahan kita. Sudah diselamatkan di masa lalu, masih minta diselamatkan lagi di masa depan. Bukankah kita begitu serakah?

Eksistensi kita akan mencapai puncak perwujudannya yang paling tinggi dengan menjalin hubungan dalam cinta kasih. Hal itu tak akan terjadi selama kita belum tulus mencintai Rasulullah selayaknya Rasulullah mencintai kita. Ketika hubungan yang telah Rasulullah bangun dengan cinta kasihnya yang begitu besar dan tulus, kita balas dengan cinta kasih yang tulus juga, bukan hanya karena embel-embel pengharapan syafa’at dan pertolongan di hari akhir, hubungan tersebut akan sempurna, dan akhirnya kita mencapai puncak perwujudan eksistensi kita.

Ya, kita adalah manusia biasa yang penuh dosa. Benar, dengan syafa’at Rasulullah kita akan diselamatkan Allah di hari akhir kelak. Sama sekali tidak salah, jika kita menjalankan sunnah-sunnahnya dan bersholawat untuknya dengan pengharapan syafa’at di hari akhir. Namun jika kita renungkan dalam-dalam, bukankah benar-benar tidak adil jika kita membalas cita Rasulullah yang begitu besar dengan sifat keserakahan kita akan syafa’atnya?

Lalu hakikatnya, apa tujuan kita bersholawat? Apa tujuan kita menjalankan sunnah-sunnah Rasul? Apakah didasari cinta kasih atau hanya fungsional saja? Hanya karena kita mengharapkan syafa’at? Agar kelak di hari akhir kita mendapat lindungan Rasulullah karena kita ingin dianggap ummatnya? Agar kelak masuk surga? Lalu bagaimana dengan hakikat cinta kasih?


Sungguh, kita harus mempertanyakan eksistensi diri kita sekali lagi. 


---
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Filsafat Manusia, dan dalam prosesnya saya berhasil dibuat bingung dan galau oleh pikiran saya sendiri yang muyer kemana-mana. Filsafat terlalu berat untuk akal saya yang cethek.
Ah ya, tulisan ini tak akan selesai tanpa diskusi panjang dan mbulet bersama Mbak Akhy, Imas, Alfi, dan Fatim pada tengah malam di aula pondok, disertai garukan dan tamparan keras ke kepala saya sendiri, dan penjelasan panjang dari Mbak Ninda yang sabar di pagi hari yang lapar.
Dengan bantuan sebanyak itu, dan pada akhirnya tulisan saya tetap jauh juga dari sempurna, atau bahkan malah ndak cetho apa maksudnya, sungguh itu karena ketidakberdayaan saya.

Komentar