Langsung ke konten utama

Dia dan Empat Tahun Perjuangan

Puisi pilu para pujangga tentang patah hati ternyata tak pernah berbohong. Tentang langit yang tiba-tiba menjadi selalu kelabu, mereka benar. Tentang hujan yang tiba-tiba melantunkan lagu kesedihan, mereka juga benar. Pun tentang semburat merah senja yang menceritakan kehilangan, mereka sepenuhnya benar.

Sebelum anda baca lebih lanjut, karena di postingan kali ini saya mau curhat ---dan curhatnya panjang sekali, monggo di-close tab dulu jika anda tidak sedang ingin membaca tulisan absurd manusia yg sedang patah hati :)

Baik, mari kita mulai.



Bagi saya, jatuh cinta adalah sesederhana dari mata turun ke hati. Empat tahun silam, saya jatuh hati pada sepasang mata tepat di sepersekian detik pertama tatapan kami bertemu. Dan saya jatuh semakin dalam seiring pertemuan-pertemuan kami selanjutnya. Jatuh cinta memang selalu tidak masuk akal. Semakin dalam saya terperangkap, justru terasa semakin tinggi tubuh saya melambung, hingga saya merasa dapat berlompatan di antara awan-awan bersama para burung yang lucu. Perasaan bahagia itu memenuhi dada hingga meluber kemana-mana. Sungguh tak tertahankan.

Singkatnya, saya dimabuk cinta. Tiga bulan, dan kesadaran saya menipis dari hari ke hari seiring bertambah besarnya cinta saya yang tak terbendung. Bukan main. Tanpa ia melakukan apapun, perasaan saya sudah tumbuh dengan sendirinya. Otomatis. Segala beban hidup yang memberatkan pundak sirna seketika begitu saya bertemu dengannya. Dalam diam, saya menyelami kedalaman matanya yang sejuk dan tenang, membuat saya merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia selain ia seorang. Ya, cinta pernah membuat saya segila itu, kawan.

Namun kenyataan itu datang tanpa ampun seperti petir di siang bolong, tiga bulan yang indah lalu seenak jidat ia pergi bahkan tanpa berkata apa-apa. Ia pergi terlampau jauh, sehingga saya tak dapat menyusulnya. Masih belum cukup, ternyata ia pergi tanpa bisa kembali. Saya terhempas dari awan-awan, burung-burung lucu meninggalkan saya, dan kesadaran itu datang: sejatinya saya sedang terperosok, terlalu jauh dan dalam.

Saya berusaha memanjat dan menyelamatkan diri, namun ternyata itu tak sesederhana dan semudah kedengarannya. Hingga berdarah-darah saya berusaha, akhirnya saya sampai di permukaan, berhasil keluar dari lubang dalam dan gelap. Namun saya mendapati bahwa empat tahun telah berlalu. Empat tahun, lho. Hebat juga dia, membuat saya jatuh hati dalam sepersekian detik, bahagia hingga gila tiga bulan, dan kemudian berusaha mati-matian melupakannya membutuhkan waktu empat tahun.

Beberapa bulan terakhir saya sibuk berkonsolidasi dengan logika dan perasaan saya, bahwa kami baik-baik saja dan kami siap untuk awal yang baru. Konsolidasi berjalan cukup alot karena perasaan saya masih menutup diri, ia tidak yakin karena awal yang baru terdengar sangat beresiko dan ia belum siap untuk hancur (lagi). Namun logika saya mencari berbagai cara untuk meyakinkan perasaan saya yang penuh keraguan, bahwa kita bisa asal kita saling menjaga dan menguatkan. Konsolidasi berhasil beberapa hari lalu, dan kami telah benar-benar siap untuk awal yang baru.

Tepat dua hari sebelum tulisan ini saya buat, saya bertemu dengan sepasang mata yang, ya Tuhan, sama persis dengan mata yang menyita hati saya empat tahun lalu.

Sungguh beruntung kami ---saya, logika, dan perasaan saya--- telah siap untuk skenario ini, jadi kami tidak perlu repot-repot menyangkalnya. Saya jatuh hati untuk yang kedua kalinya. Karena bagi saya, jatuh hati memang sesederhana dari mata turun ke hati.

Pada detik pertama kami bertemu, saya tahu dia telah berhasil menyita keseluruhan hati dan pikiran saya. Secara misterius, sinar mentari terasa lebih hangat dan lembut, bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, angin berhembus manja membawa kabar bahwa semua akan menjadi lebih baik mulai sekarang. Dan saya percaya. Ya, semua akan menjadi lebih baik dari sekarang.

Setidaknya hingga tengah malam. Saya sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Belum genap dua belas jam kami bersama, ia memilih pergi. Tak ada salam perpisahan, tak ada penjelasan, ia pergi begitu saja. Tengah malam saya terbangun, menemukan kesendirian, dan merasakan kekosongan yang luar biasa dalam dan menyakitkan. Siapapun, tolong katakan apa salah saya. Siapapun, tolong katakan mengapa saya merasa kehilangan seluruh dunia. Siapapun, tolong katakan apa yang harus saya lakukan :’(((

Saya ditinggalkan untuk yang kedua kalinya, kali ini bahkan sebelum genap dua belas jam. Dulu Totong, sekarang Haikal. Mereka adalah dua kura-kura terganteng yang pernah saya miliki, dan saya benar-benar tidak mengerti mengapa Haikal juga harus pergi :’(((

Begitulah. Tengah malam di sebuah pesantren mahasiswi di daerah kota Solo, seorang remaja putri meneriakkan sebuah nama lelaki sambil mondar-mandir tak keruan, teriakannya membangunkan seisi pesantren, dan membuat orang-orang ikut mondar-mandir pula. Dan remaja putri itu adalah saya. Seperti orang bodoh saya mencari Haikal di setiap lekukan dan slempitan ruangan sambil terus meneriaki namanya, setelah dengan amat terkejut menemukan akuarium jadi-jadian Haikal sudah kosong. Kosong, seperti hati saya.

Padahal sebelum memantapkan diri membawa pulang Haikal, saya menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk belajar bagaimana merawat kura-kura red-eared slider (RES) dengan benar. Googling sana sini untuk memastikan bagaimana seharusnya kita memberi makan mereka, tempat seperti apa yang dapat membuat mereka hidup senyaman mungkin, penyakit apa saja yang dapat menyerang mereka dan bagaimana penanganannya, hingga mencari dokter hewan daerah Solo dan bertanya pada mereka apakah mereka telah berlisensi menangani reptil (meskipun tak ada yang memberikan jawaban). Bahkan saya juga mencari estimasi biaya perawatan jika mereka sakit dan harus disuntik obat atau dioperasi, sebagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Saya juga mengunjungi web-web internasional yang fokus membahas RES, mempelajari bagaimana cara membuat mereka merasakan hidup senyaman mungkin. Saya menemukan satu website, dimana penulis menceritakan bahwa ia telah berhasil mendidik kura-kuranya sedemikian rupa hingga dapat bertingkah seperti anjing dan kucing: datang ketika dipanggil namanya, mengikuti langkah pemiliknya, bermanja-manja di kaki pemiliknya, hingga tidur di ranjang pemilik dan bangun bersamaan dengan pemiliknya. Lucunyaaa:(

Sepeninggal Totong, saya selalu tersiksa setiap melihat kura-kura. Setiap berkunjung ke salah satu pusat perbelanjaan, saya selalu menyempatkan diri mengunjungi petshop kecil di pojokan, menghabiskan waktu memandangi kura-kura dan menggerutu mengapa mereka bisa begitu imut dan menggemaskan, sekaligus bersyukur Tuhan telah menciptakan makhluk luar biasa lucu seperti mereka, kemudian dengan berat hati mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan datang lagi lain waktu. Ternyata saya suka menyiksa diri saya sendiri.

Sejak kali pertama tinggal indekos di Solo, saya selalu memikirkan betapa menyenangkannya jika ada makhluk imut menemani saya di kamar kosan. Menemani saya belajar, menemani saya nderes, saya ajak ngobrol dan main-main, namun semua keinginan itu selalu sirna ketika bayangan Totong datang, dan saya diliputi perasaan bersalah serta kehilangan yang mengungkung begitu sesaknya. Saya belum siap untuk kehilangan, lagi. Setiap kali melihat kura-kura dan keinginan membawa pulang mereka begitu besar, bayangan Totong selalu datang dan menguasai seluruh hati dan pikiran saya, meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya belum siap untuk kehilangan, lagi. Sadar maupun tidak, Totong membuat saya trauma.

Begitu saya pindah ke pesantren mahasiswi, keinginan membawa pulang kawan kura-kura ternyata tak surut juga. Saya mencoba berdamai dengan masa lalu, menjelaskan pada diri sendiri bahwa justru ini akan menjadi jalan saya untuk memperbaiki kesalahan saya pada Totong. Setelah pergulatan batin yang cukup lama, akhirnya keyakinan itu datang juga. Saya menguatkan diri untuk membawa pulang kura-kura, merawatnya sebagai jalan memperbaiki kesalahan saya pada Totong. Beberapa minggu lalu, saya (akhirnya) mendapatkan keberanian untuk mengunjungi pasar hewan. Namun dengan bodohnya saya menemukan diri saya tersesat ke pasar hewan khusus unggas, dan dimarahi bapak-bapak penjual ayam lehor karena menanyakan kura-kura di pasar ayam:(

Setelah kembali menata hati dan mengumpulkan keberanian, saya menuju Pasar Depok, pasar hewan yang (sudah saya pastikan) juga menjual ikan hias dan kura-kura. Sesampainya di sana, saya membuat ibu penjual kura-kura kaget karena refleks berteriak melihat para baby RES yang dengan lucunya berlarian dalam aquarium. Saya akhirnya membawa pulang satu yang paling sehat, usil berjoget dan berlarian kesana kemari.

Dada saya penuh kebahagiaan dalam perjalanan pulang. Saya mengemudi sehalus mungkin, menghindari kawan saya mabuk dan pusing terombang-ambing dalam wadahnya. Sesampainya di pondok, saya memamerkan kawan kecil saya pada seluruh penghuni pondok, lalu berdebat soal nama. Haikal, begitulah akhirnya ia dipanggil.

Semuanya terasa baik-baik saja hingga malam tiba, setelah sesorean menemani saya nderes dan main-main, malamnya saya mengerjakan tugas di sampingnya. Selama saya mengerjakan tugas, Haikal terus menerus mengetuk aquariumnya, caper. Itu adalah hal terakhir yang saya ingat, sebelum kemudian saya dibangunkan salah seorang kawan saya untuk pindah tidur di dalam kamar ---ternyata saya ketiduran di koridor. Hal pertama yang saya sadari adalah raibnya Haikal. Aquairum ada, air  ada, namun Haikal menghilang. Saya kalap meneriaki namanya, membuat beberapa teman sepondok saya terbangun, mencari ke setiap pojok dan slempitan, namun Haikal tidak ada dimana-mana. Pertama, Haikal tak mungkin keluar sendiri kecuali ia punya bakat terpendam untuk terbang. Kedua, jika kucing mengambilnya, kemungkinan aquarium tidak tumplek sangat kecil karena aquariumnya tinggi namun cukup sempit, kecuali si kucing cukup pintar. Lagipula menurut kesaksian salah seorang teman sepondok yang terjaga, tak terlihat ada kucing lewat. Ketiga, kemungkinan salah seorang teman sepondok saya menculik Haikal hampir nol persen. Nonsense. Ketiga alasan di atas membawa kami pada kesimpulan bahwa Haikal digondol tuyul. Atau kemungkinan lain, saya ngelindur melemparkan Haikal lewat balkon, namun saya rasa saya tidak seanarkis itu.

Perjuangan empat tahun hancur dalam waktu kurang dari dua belas jam. Bayangkan. Mental dan keberanian yang saya siapkan mati-matian, pergulatan batin panjang, dan i’tikad kuat untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu, semuanya menjadi tidak ada artinya. Beberapa orang bilang, beli saja yang baru. Tapi kalian tahu ini tidak semudah dan sesederhana itu :’(

Sepertinya saya butuh waktu untuk membangun benteng pertahanan saya kembali.

Untuk Haikal,
Untuk Totong,
Dan untuk seluruh RES di seluruh dunia,
Sungguh saya minta maaf dengan setulus dan sepenuh hati :’’’(((

Haikal yang lucu dan menggemaskan:(
***
Siapa Totong ? Cek di sini.

Komentar