Buka-buka folder lama dan nemuin cerpen-cerpen jaman batu itu... se-su-a-tu! :D Setelah baca-baca cerpen lama, nggak kerasa ternyata dulu aku bikin cerpennya sok banget. Dan lagi, dari sekian banyak cerpen itu, ada cerpen yang pernah dimuat di salah satu majalah desa di sekitar SDku dulu. Itu cerpen aku kelas LIMA ESDE. Demi apa... :D Ini dia cerpennya. Selamat menikmati :3
Aryo menyeka peluh
yang terus mengalir dari keningnya. Di siang yang terik itu, Aryo masih saja
menyusuri gang-gang di desanya untuk mengumpulkan sampah sebanyak mungkin agar
dia bisa makan sesuap nasi hari ini. Dilihatnya bangunan kokoh bercat putih di
sampingnya berdiri tegak dengan bendera merah putih menjulang ke langit.
Bangunan itu tidak terlalu megah, tapi Aryo ingin sekali duduk di dalamnya,
mendapatkan siraman ilmu dari pahlawan-pahlawan tanpa jasa.
Sekolah. Ya, sekolah adalah tempat impian Aryo sejak dulu. Tapi, apa daya? Uang hasil memunguti sampah tiap harinya saja hanya cukup untuk membeli 2 bungkus sego kucing. Untuknya, dan untuk ibunya yang sudah tua renta dan hanya bisa tertidur lemas di atas kasur. Ayahnya sudah meninggal 4 tahun lalu, yang membuat Aryo harus memulung setiap hari.
Sekolah. Ya, sekolah adalah tempat impian Aryo sejak dulu. Tapi, apa daya? Uang hasil memunguti sampah tiap harinya saja hanya cukup untuk membeli 2 bungkus sego kucing. Untuknya, dan untuk ibunya yang sudah tua renta dan hanya bisa tertidur lemas di atas kasur. Ayahnya sudah meninggal 4 tahun lalu, yang membuat Aryo harus memulung setiap hari.
Aryo mendekati pagar
sekolah itu. Dilihatnya sekolah itu dengan tatapan penuh harap.
Kriiing…
Suara bel istirahat
berbunyi nyaring. Anak-anak dengan seragam merah-putih berhamburan keluar
kelas. Mereka berlari-lari riang, mencari kegiatan untuk mengisi waktu
istirahat. Salah seorang anak memandang Aryo heran. Anak itu lalu mengampiri
Aryo yang sedang termenung di depan gerbang sekolah.
“Hai!” sapanya ramah.
Aryo diam tak
menjawab. Dia bingung ada anak yang mendekatinya.
“Kulihat, dari tadi
kamu memandangi sekolah ini. Ada
apa?” tanyanya.
Aryo menghembuskan
nafas panjang. “Aku hanya pemulung.”
“Memangnya kenapa,
kalau kamu pemulung?” tanya anak itu lagi.
“Aku ingin sekolah.
Tapi aku tidak punya uang.” Jawab Aryo lalu menunduk lesu.
Anak itu tersenyum
mengerti. Ia lalu berlari ke kelasnya meninggalkan Aryo. Aryo kembali
menghembuskan nafas panjang. Mana ada yang mau berteman denganku?!
Gumamnya. Aryo lalu beranjak hendak pergi memulung lagi. Namun, sebuah suara
membuatnya menghentikan langkah.
“Nak, jangan pergi
dulu.”
Aryo berbalik bingung.
Dilihatnya anak tadi dan 2 orang guru di belakangnya.
“Bapak memanggil
saya?” tanya Aryo.
Bapak itu mengangguk
sambil terus tersenyum. Aryo lalu mendekat ke pagar sekolah.
“Apa benar, kamu ingin
sekolah?” tanya guru itu. Aryo mengangguk.
“Kamu benar-benar
ingin sekolah disini?” tanyanya lagi. Aryo pun kembali mengangguk. Anggukannya
lebih mantap.
Lelaki tua itu lalu
membuka gerbang sekolah, lalu mempersilahkan Aryo masuk. Aryo terdiam bingung.
“Ayo!” ujarnya.
“Tap… Tapi… Tapi… Saya
tidak punya uang untuk membayar biaya sekolah.” Kata Aryo bingung.
Lelaki itu lalu
berjongkok di depan Aryo. Tangannya mengelus rambut Aryo dengan lembut. “Kamu
bisa sekolah, Nak.” Ujarnya.
Aryo sangat terkejut
mendengar perkataan lelaki tua yang sekarang berada di depannya itu. Aryo
menggeleng tak percaya.
“Kamu tidak tahu ya,
ada sekolah gratis dan BOS?” tanya lelaki itu membuat Aryo menitikkan air mata.
Sekolah gratis? BOS? Aryo
baru mengetahuinya sekarang. Menyadari sebuah keajaiban telah terjadi, Aryo
bersujud sembari terus bersyukur. Air matanya mengalir deras. Sekolah,
tempatnya menggantungkan cita-cita yang selama ini selalu mengganggu tidurnya.
Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ia akan menggunakan
kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
Guru itu lalu mengajak
Aryo untuk masuk ke sekolah. Diberikannya seragam dan buku tulis kepada Aryo
dengan cuma-cuma. Aryo semakin bersyukur. Ia lalu diajak memasuki salah satu
kelas. Hari ini juga, Aryo langsung duduk di bangku kelas yang sudah
bertahun-tahun ingin didudukinya.
Sejak hari itu, Aryo
mulai menorehkan prestasi. Ia tak pernah melupakan kejadian hari pertamanya
duduk di bangku kelas yang telah membuatnya menjadi lebih baik.
Ceritanya aneh :D tapi bersyukur lah, paling nggak kelas 5 SD aku udah bisa nulis walaupun jadinya juga acakadut begini :D
Komentar
Posting Komentar